Di tulisan yang lalu kita telah membahas mengenai uang digital yang berjudul “Uang Digital Lebih baik dari Uang Kertas?”. Sebelum kita masuk ke ranah nasional dan pembahasan lebih lanjut terkait Bitcoin secara spesifik, coba ilustrasiin dari lingkup kampus dulu ya. Pernah ga kalian ngebayangin bayar UKT pake Bitcoin? Tinggal buka smartphone, transfer Bitcoin senilai dengan golongan UKT kalian dan selesai! UKT semester ini sudah terbayar. Ga perlu ribet kaya cara tradisional yang dateng ke teller bank untuk pembayaran atau via transfer antar-bank yang lebih simpel.

Coba juga deh banyangin, misal di UNJ udah nyediain mesin semacem ATM ber-taglineBitcoin Accepted here” untuk transaksi pake uang digital yang literally ga cuma Bitcoin aja? hmm seru kali ya #lol. Tapi itu Cuma salah satu fungsi Bitcoin sebagai alat transaksi. For Your Information, selain sebagai alat transaksi, Bitcoin atau cryptocurrency juga bisa loh dijadiin alat investasi. Semacam saham dan lainnya. Ok, back to the first topic. Tapi tunggu dulu. Kalo Bitcoin ga diterima di Indonesia kan gaakan masuk ke UNJ. Nah maka dari itu, kita coba bahas bagaimana respon negara kita tercinta terhadap mata uang digital atau cryptocurrency. Kuy langsung aja!

Beberapa tahun belakangan, mata uang digital lagi nge-hits pake banget untuk jadi pembahasan. Entah di kalangan akademisi atau praktisi. Bagaimana tidak, sifatnya yang kontroversial sepertinya menjadi daya tarik utama dari mata uang digital ini. Pasalnya, keberadaaan dan nilai uang digital tidak dapat dikontrol oleh bank sentral layaknya mata uang biasa. Jadi kalau lagi naik, ya bisa tinggi banget konversiannya dan singkatnya mungkin bisa bikin orang kaya mendadak. Tapi berlaku sebaliknya. Kalo nilainya turun seturun-turunnya ya bisa bikin si pemilik jadi rugi serugi-ruginya juga.

Meski kerahasiaan kekayaan pemilik uang digital bisa aman dan dari segi pencatatan katanya lebih sistematis plus transparan daripada pencatatan di bank, di mana semua user bisa tau bagaimana aliran transaksi yang telah dilakukan. Tapi sayangnya, pihak atau orang yang bisa bertanggung jawab ketika terjadi system error atau pencurian mata uang digital ini masih belum jelas. Kondisi-kondisi tersebut yang akhirnya menjadikan si mata uang digital ini sangat kontroversial.

Dilansir oleh tirto.id, Wimboh Santoso selaku Ketua Dewan Komisioner OJK (Otoritas Jasa Keuangan) menegaskan bahwa “Lembaga keuangan tidak boleh memperdagangkan komoditi. Bukan hanya mata uang digital, komoditi pun tidak boleh”. Sehingga dengan pernyataan tersebut, jelas bahwa industri keuangan tidak diperkenankan melakukan transaksi yang berkaitan dengan mata uang digital (cryptocurrency).

Melalui CNN Indonesia, Satgas Waspada Investasi OJK yang diwakili oleh Tongam L. Tobing mengatakan bahwa OJK sudah menghentikan 19 bisnis mata uang digital di Indonesia (20/04). Hal demikian dikarenakan perdagangan uang digital bersifat spekulatif. Adapun beberapa entitas yang menawarkan mata uang digital tidak bertindak sebagai marketplace, namun hanya memberikan janji berupa imbal hasil tinggi jika membeli produk mereka. Sampai pada titik ini OJK secara gamblang tidak memberi izin terhadap bisnis mata uang digital di Indonesia. Sebagai penguatan, Undang-undang No. 7 Tahun 2011 menyebutkan pula bahwa alat pembayaran yang sah adalah rupiah.

Dalam tulisannya yang dipublikasi di media cetak harian Tempo, Haryo Kuncoro seorang Dosen di FE UNJ (Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta) yang juga menjabat sebagai Direktur Riset Socio-Economics & Educational Business Institute menyebutkan bahwa uang tunai, uang elektronik dan uang digital rupiah masuk ke ranah subsititusi. Di mana kemampuan tersebut dapat menuntut daya belinya. Sehingga ketika prinsip ekuivalensi tidak terpenuhi, bad money drives out good money. Sebagaimana hukum Grisham akan berlaku. Dampaknya adalah perkembangan uang virtual akan tertekan dan efeknya dapat membuat masyarakat lebih cenderung menggunakan cara tunai pada taraf tertentu.

Masih berpaut pada sumber tersebut, dalam jangka panjang uang digital dapat membuat peran bank sebagai lembaga intermediasi menyusut dan tidak dapat leluasa menciptakan uang sekunder. Dampak yang akan terjadi ketika peran tersebut terbatasi adalah BI (Bank Indonesia) yang memiliki fungsi moneter tidak memiliki agen dalam mengimplementasikan kebijakan moneter dan makroprudensialnya.

Maka dapat disimpulkan bahwa angan kita di awal yang menggambarkan bisa membayar UKT dengan Bitcoin, investasi dengan Bitcoin maupun membeli Bitcoin dan mata uang digital lainnya, untuk saat ini masih tidak dapat dilakukan di Indonesia. Karena secara tegas OJK selaku pengawas jasa keuangan di Indonesia melarang adanya praktik-praktik uang digital di Indonesia. Terlebih BI selaku pemilik fungsi moneter satu-satunya di Indonesia juga menganggap bahwa adanya mata uang digital dapat menghambat peran bank umum yang akan merambat pada kinerja BI itu sendiri. Namun pembahasan dan kajian lebih lanjut mengenai mata uang digital ini masih sangat menarik, seperti kata “spekulatif” yang sarat pada mata uang digital ini jika dilihat dari kacamata ekonomi Islam. Bagaimana pendapat para penggiat ekonomi Islam di UNJ, khususnya terkait dengan mata uang digital ini?

Categorized in: