Kamis (19/9), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) melaksanakan rangkaian akhir dari proses pencarian sosok yang diharapkan tepat mengisi tampuk kepemimpinan kampus, yaitu rektor definitif melalui pemilihan rektor (Pilrek) setelah sebelumnya UNJ dipimpin oleh (hanya) seorang Pelaksana Tugas (Plt) Rektor yaitu, Prof. Intan Ahmad, Ph. D, yang betugas untuk memperbaiki UNJ atas amanat Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), setelah sebelumnya UNJ mendapat sorotan publik karena permasalahan yang cukup serius, sehingga rektor sebelumnya, Prof. Dr. Djaali, harus ‘di rumahkan’.

Dalam artikel pada laman belmawa.ristekdikti.go.id (2/10/17) yang berjudul “Intan Ahmad: Pendidikan Bersifat Universal” kita kembali diingatkan bahwa, tugas dari Intan Ahmad, selepas beliau ditunjuk per 25 September 2017 menjadi Pejabat Pelaksana Harian (Plh), dan kemudian menjadi Pelaksana Tugas ialah: pertama, membenahi Program Pascasarjana, terutama untuk Program Doktor (S3), agar seluruh aspeknya sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNDIKTI). Kedua, mengawal jalannya pemilihan rektor hingga terpilih Rektor definitif.

Untuk mengukur kinerja Intan Ahmad terkait tugas pertamanya memerlukan beberapa indikator yang beberapa di antaranya berangkat dari kasus yang telah mencoreng nama UNJ di antaranya sebagaimana diolah dari berbagai sumber: menyelesaikan kasus nomor induk manipulatif, menyelesaikan persoalan absensi manipulatif, membuat inovasi –setidaknya di UNJ- kebijakan sehingga tidak ada kasus percepatan waktu kuliah yang tidak wajar, menyelesaikan proporsi yang wajar terkait promotor pembimbing dan mahasiswa, menyelesaikan kasus plagiarisme. Dari poin-poin tersebut, penulis yang memiliki keterbatasan akses terkait perkembangan perbaikan kampus, mengenai hal itu agaknya tak keliru jika penulis mula-mula memilih untuk berprasangka baik, setidaknya sampai tugas tersebut dalam perjalanannya tidak mengindikasikan sebaliknya, sehingga penulis tidak dapat berkomentar banyak.

Ada pun tugas kedua Intan Ahmad, dilihat dari hasilnya telah sampai pada kata selesai Kamis lalu –setidaknya sebelum pelantikan rektor definitif yang baru. Yang perlu dicermati ialah tugas kedua ini sejatinya bukan hanya soal penyelenggaraan, namun lebih dari itu, yaitu pengawalan. Agar rektor (definitif) terpilih merupakan sosok yang dapat membawa UNJ ke arah yang (jauh) lebih baik dari sebelumnya. Adapun mengenai pengawalan yang dimaksud, penulis juga tidak akan berkomentar lebih jauh. Anggapan suksesnya pengawalan Pilrek di luar sana, dilihat dari telah terpilihnya seorang rektor, dengan sendirinya penulis harapkan akan memperkaya diskursus yang akan muncul belakangan.

Kendati penulis tidak sama sekali cukup baik mengukur kedua tugas di atas, agaknya dari tulisan-tulisan semacam ini penulis berharap dapat mendapat respon yang baik mengenai kedua hal tersebut. Entah itu tanggapan dari yang lainnya yang lebih paham ihwal kedua persoalan tersebut. Ataupun juga termasuk respon yang baik jika muncul tulisan-tulisan yang sifatnya mengoreksi agar menjadi autokritik bagi penulis dan memperkaya diskursus melalui tulisan yang agaknya belakangan mengalami deklinasi di kalangan mahasiswa UNJ.

Lalu, masih dari dua hal tersebut. Setelah rektor baru kadung terpilih, agaknya kita perlu terus mengawalnya, sehingga boleh jadi tugas-tugas perbaikan di UNJ, entah itu di luar misi perbaikan dua tahun terakhir ini, atau pun jika ada misi perbaikan dua tahun terakhir ini yang belum rampung sepenuhnya, dapat disegerakan sesegera mungkin, semisal merumuskan kebijakan yang tidak akan lagi kecolongan nomor induk manipulatif seperti sebelumnya, hingga langkah-langkah kontra plagiarisme.

Kemudian, untuk sampai kepada semua harap –soal-soal perbaikan UNJ- itu, agaknya penulis akan (kembali) mengutip opini yang ditulis oleh Ubedilah Badrun, Dosen Sosiologi UNJ, yang berjudul Wajah Kampus Mulai Bopeng?” pada laman unjkita.com (4/5/17). Dimana pada tulisannya, Ubedilah Badrun menuliskan kembali ciri-ciri Perguruan Tinggi sebagai miniatur peradaban dari bukunya yang berjudul “Pendidikan Proyek Peradaban yang Terbengkalai” (2006). Parameter minimal perguruan tinggi bercirikan miniatur peradaban, jika: pertama, kampus memiliki kultur intelektual. Kedua, kultur demokratis. Serta ketiga, profesional dibingkai dalam kredo Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Untuk melacak gambaran normatif mengenai kultur akademik agaknya dapat dilihat dari peringkat UNJ secara nasional dalam Siaran Pers Kemenristekdikti Nomor: 147/SP/ HM/BKKP/VIII/2019 yang dinukil dari laman resmi ristekdikti.go.id (16/8/19) pada artikel yang berjudul “Menristekdikti Umumkan Klasterisasi Perguruan Tinggi Indonesia 2019, Fokuskan Hasil dari Perguruan Tinggi”, dimana UNJ bertengger pada peringkat 59 (klaster 2), setelah sebelumnya pada tahun 2017 dan 2018 berturut-turut UNJ bertengger pada peringkat 26 (Kemenristekdikti, 2017) dan 19 (Kemenristekdikti, 2018), serta turunnya akreditasi UNJ dari A ke B, berdasarlan SK BAN-PT No. 4333/SK/BAN-PT/Ak-INV/PT/XI/2017 (dilihat di laman banpt.or.id pada hari Kamis, 19/9) yang diakibatkan problem serius yang disinggung pada awal tulisan ini.

Jika kemudian dijabarkan secara substantif, maka akan ada deret pertanyaan yang kesemuanya akan terjawab dengan baik jika penguasa kampus mendorong kemajuan kultur intelektual kampus. Pembangunan-pembangunan intelektual akan terbangun baik jika penguasa kampus memerhatikan kebijakan, pembiayaan, dan keberpihakannya pada dosen dan mahasiswa. Dimana pertanyaan itu dibagi menjadi dua, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Ubedilah Badrun, 2017):

Pertanyaan kuantitatifnya, sejauh mana penguasa kampus mendorong tradisi-tradisi intelektual di kampus: mulai dari habituasi membaca, diskusi, menulis, hingga meneliti?. Sedangkan pertanyaan kualitatifnya, seperti: buku apa yang dibaca?; sejauh mana pemahaman atas buku yang sudah dibaca?; apa output dari buku yang dibaca?; dan pertanyaan-pertanyaan kualitatif lainnya –hingga pertanyaan-pertanyaan mengakar lainnya- yang dikembangkan dari pertanyaan kuantitatif lainnya.

Selanjutnya, kultur demokratis. Dimana kita dapat meminjam ciri-ciri kultur demokratis dari apa yang dituliskan Sudarminta (1996) dan Maran (2001) yang dikutip dari Sahya Anggara dalam bukunya “Sistem Politik Indonesia” (2013), yaitu: (1) persetujuan rakyat; (2) partisipasi efektif rakyat dalam pembuatan keputusan politik yang menyangkut nasib mereka; (3) persamaan kedudukan di hadapan hukum; (4) kebebasan individu untuk menentukan diri; (5) penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia; (6) pembagian pendapatan yang adil; (7) mekanisme kontrol sosial terhadap pemerintah; (8) ketersediaan dan keterbukaan informasi. Ataupun berdasarkan political performance parameter demokrasi yang dikemukakan G. Bingham Powell Jr. sebagaimana penulis kutip dari Akhmad Syafrudin Syahri dalam Jurnal Cakrawala, Vol. 10, No. 1 (2010) yang berjudul “Kebebasan Berpendapat Melalui Media Baru dalam Bayang-Bayang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)”, yaitu: (a) legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya; (b) pengaturan yang mengorganisasikan perundingan untuk memperoleh legitimasi didasarkan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pada praktiknya minimal terdapat dua partai politik; (c) sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan, baik sebagai calon maupun sebagai pemilih; (d) pemilihan secara rahasia dan tanpa dipaksa; (e) dan adanya hak-hak dasar seperti kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers.

Maka, berdasarkan beberapa ciri-ciri yang telah diungkap di atas, dengan beberapa penyesuaian sebagaimana soal partai yang artinya dalam konteks kampus ialah soal calon rektor yang lebih dari satu, penulis berharap tidak ada lagi pembubaran diskusi, tidak ada lagi dosen dan mahasiswa yang dilaporkan ke kepolisian atau bentuk-bentuk pembungkaman lainnya karena berusaha membangun diskursus melalui tulisan –jika tidak disebut mengoreksi- atau media aspirasi lainnya, sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya, yang pada kesempatan kali ini penulis enggan menuliskannya, karena penulis sangat berharap perbaikan-perbaikan yang ada di depan sana akan menegasikan pengalaman-pengalaman kontra demokrasi sebelumnya.

Yang terakhir ialah kultur profesional, yang pada kesempatan kali ini penulis mengharapkan sesuatu –di samping harapan-harapan lain yang pada kesempatan kali ini belum mendapat tempat dalam keseluruhan tulisan ini- dari terpilihnya pemimpin baru kampus tercinta. Dimana penulis berharap, jika pernah terjadi, ataupun jika belum pernah terjadi, ataupun jangan sampai terjadi (kembali) hal-hal yang menciderai akuntabilitas sebagai cermin dari profesionalitas kerja-kerja seluruh civitas akademica kampus, seperti, sebut saja, misalnya oknum verifikator yang ‘menanyakan’ (kembali) kesediaan pembayaran Sumbangan Pembangunan Universitas (SPU) saat mahasiswa baru yang bermaksud banding Uang Kuliah Tunggal (UKT) karena keberatan dengan UKT yang telah ditetapkan setelah diumumkan di Siukat (Sistem Uang Kuliah Tunggal) melalui daring. Kian jelas sejauh mana prinsip akuntabilitas yang dipegang setelah kita tahu bahwa ada pimpinan yang seharusnya bertanggungjawab mengenai persoalan tersebut mengaku tidak tahu menahu jika hal tersebut terjadi. Hal tersebut, selain menciderai prinsip akuntabilitas, juga menjadi ironi tersendiri, yang dengan sendirinya memunculkan pertanyaan lanjutan apa sebenarnya yang dimaksud prinsip sukarela dalam SPU setelah deret pertanyaan lainnya yang juga menjadi tanda tanya besar. Sekalipun, jika itu perbuatan oknum, seharusnya ada tindakan-tindakan serius berupa pengusutan, sanksi, serta tindakan preventif agar hal yang demikian tidak kembali terulang.

Mengenai problem SPU yang disinggung sebelumnya, (sudah, sedang, dan akan) menjadi tanda tanya besar setelah tanda tanya lain yang telah mendahuluinya atau pun di depannya; mulai dari konsep permintaan kesediaan yang terlalu awal, yang bisa jadi dapat memengaruhi alam pikiran calon mahasiswa baru yang menjadi sangsi jika memilih tidak atau bahkan pertanyaan-pertanyaan mengenai transparansi yang seharusnya menjadi hak mahasiswa, karena hal itu termuat dalam Butir b, Pasal 63 Tentang “Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip” pada “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi”, juga yang pada perjalanannya, SPU mengalami perubahan –setelah tahun kedua- mengenai standar besaran nominal jika memilih bersedia dan memilih ‘Iya’. Bukan tidak mungkin ke depannya mekanisme SPU yang menghianati tujuan awal diberlakukannya UKT ini mengalami berbagai perubahan (kembali), yang tidak menutup kemungkinan akan terus menjauh dari semangat mencerdaskan kehidupan bangsa karena kita –mungkin- sudah (pura-pura) lupa apa bedanya pendidikan dan jual-beli suatu komoditas.

Bukan tidak mungkin ke depannya mekanisme SPU yang menghianati tujuan awal diberlakukannya UKT ini mengalami berbagai perubahan (kembali), yang tidak menutup kemungkinan akan terus menjauh dari semangat mencerdaskan kehidupan bangsa karena kita –mungkin- sudah (pura-pura) lupa apa bedanya pendidikan dan jual-beli suatu komoditas.

Sekurang-kurangnya, mungkin hal-hal di atas perlu menjadi perhatian bagi civitas akademica UNJ, atau khususnya bagi rektor terpilih beserta calon wakil-wakilnya atau pimpinan kampus lainnya, di samping visi dan misi yang sudah dijanjikan. Pun juga penulis tergugah untuk akhirnya menyinggung tulisan yang dimuat di laman didaktikaunj.com yang berjudul “Antara Ada dan Tiadanya Rektor”. Agaknya kita perlu berkontemplasi mengenai Tri Dharma Perguruan Tinggi dan lebih-lebih apa yang dimaksud pendidikan. Jangan sampai kampus yang katanya sempat merindukan rektor –definitif-, malah kemudian tidak merasakan perbedaannya ihwal pemaknaan pendidikan. Jangan sampai logika pasar yang terbentuk karena tuntutan agar dapur selalu ngebul itu membuat kita tak jernih membedakan antara pasar dan pendidikan, sehingga pihal satu ingin pendidikan dibayar sesuai fasilitasnya, lebih-lebih kalau bisa juga menguntungkan, pihak lainnya terpaksa kudu sesegera mungkin lulus dan fokus mengembalikan pengeluaran yang sudah dikeluarkan selama menempuh studi selama ini, terlepas entah bagaimana caranya. Dari sana, kekeliruan memaknai pendidikan, –boleh jadi- akan terjadi simplifikasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang disinyalir membuat kultur intelektual kita mengalami kemandekan; yang seharusnya dari sanalah kita memperbaiki citra kampus tercinta sebagai institusi pendidikan yang dimana kita bermimpi kelak dari sana akan lahir suatu peradaban yang gilang-gemilang.

Wallahu ‘alam bishshowab

Asrul Pauzi Hasibuan

Categorized in: