GUNA, merespon Hari Pendidikan Nasional, pada 2 Mei 2017, mahasiswa progresif yang berdinamika semenjak peristiwa aksi besar Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu 30 Mei 2016 yang lalu di Universitas Negeri Jakarta mulai merapatkan barisan dengan berkumpul dan berkomunikasi kembali kawan-kawan yang kiranya mau bergerak bersama guna menyusun kerja-kerja perjuangan yang pada dasarnya belum rampung secara penuh.
Aksi 30 Mei 2016 sebagai pelajaran bagi kita semua, bahwa menyusun gerakan secara sistematis memang tidaklah mudah seperti hal—nya menggoreng telor dalam waktu 5 menit kemudian jadi. Perjuangan tidak sesederhana itu, Bung! Butuh proses panjang agar mahasiswa dan seluruh elemennya terbangun dan ikut sadar bahwa mahalnya biaya kuliah, bobroknya sarana dan prasarana, hilangnya nuansa demokrasi di dalam kampus, sedikit dari persoalan yang mendera UNJ, harus kita lawan bersama—karena kunci bergerak dilakukan secara bersama-sama bukan hanya dan oleh segelintir orang saja.
Tanggal 25 April 2017 Teater Terbuka menjadi saksi sebagai langkah awal kita untuk membuat pertemuan dan merumuskan kembali strategi dan taktik perjuangan yang akan kita kerjakan. Perwakilan mahasiswa dari berbagai fakultas hadir dan memberi masukan dalam proses diskusi tersebut, sampai akhirnya kesepakatannya adalah—kita harus menerjemahkan kembali masalah yang ada pada situasi kampus UNJ ini kepada semua kalangan. Berkumpul selanjutnya di depan Gedung IDB KH Hasyim Ashari pada tanggal 5 Mei 2017, pada forum kedua ini lebih membicarakan taktis dan langkah ke depan yang akan kita susun sampai akhirnya membuat kesepakatan perlunya membangun aliansi antara mahasiswa, karyawan, dan dosen serta turut aktif merangkul Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh UNJ dari tinggkat Program Studi sampai Universitas dan tim aksi fakultas masing-masing untuk menyamakan frekuensi persoalan kampus dan membangun kesadaran pada tiap-tiap fakultas, maka dari itu, paska-diskusi tersebut pada tanggal 10 Mei 2017 Fakultas Ilmu Sosial sebagai pemantik awal dan diinisiasi oleh kawan-kawan Red Soldier FIS dengan membuka ruang diskusi Publik bertajuk: “Apa Kabar Wahai Kampusku?”
Alhamdulliah, bahwa kesadaran mahasiswa untuk melakukan perjuangan bersama-sama terjawab pada acara diskusi tersebut. Mahasiswa membludak berdatangan, halaman Arena Prestasi FIS sesak dipadati oleh ratusan mahasiswa yang bersimpati datang untuk mendengarkan keresahan mahasiswa lainnya. Meski inisiator diskusi dari kalangan FIS akan tetapi yang datang dan berdiskusi tidak hanya mahasiswa FIS melainkan seluruh perwakilan Fakultas di UNJ datang dan meramaikan diskusi tersebut. Pada sesi terakhir sebelum diskusi ditutup, kawan – kawan mahasiswa, karyawan dan dosen yang hadir di forum tersebut bersepakat untuk adanya Aliansi untuk mewadahi keresahan bersama dan terpilihlah, Kawan Burhanuddin mahasiswa Fakultas Ilmu Olahraga sebagai Koordinator aliansi. Ini catatan sejarah tersendiri.
Maka, Tanggal 17 Mei disepakati untuk melakukan konsolidasi akbar di depan Plaza UNJ. Ratusan pamflet dan propaganda online disebarluaskan secara massif untuk menuju konsolidasi akbar tersebut. Tepat Pukul 14.30 WIB mahasiswa memadati halaman Tugu UNJ dengan 3 banner besar sebagai kritik dan keresahan yang ditempel di tugu tersebut, yakni : “Antik Kritik-Kritik Club” salah satu banner yang terpampang di sana sebagai wujud bahwa sudah berjalan 19 Tahun Reformasi akan tetapi hak mengeluarkan pendapat masih dilarang di Kampus UNJ. Ini sebuah petaka tentu saja.
Konsolidasi Akbar sebagai wujud bahwa setiap permasalahan yang ada di kampus harus segera diselesaikan, karena kita sebagai mahasiswa sadar dan punya tanggung jawab, bahwa kampus yang seharusnya sebagai wadah dan medium menjadikan manusia merdeka, kini terkekang dan terpenjara.
Pada Konsolidasi tersebut, sekitar 300 mahasiswa dari berbagai fakultas memadati konsolidasi, dan beberapa dosen yang akhirnya resah dengan kondisi kampus—pun beberapa ada yang datang dan memberikan pendapat bahwa pergerakan harus dimulai. Meski begitu, banyak pula suruhan birokrasi rektor yang memantau sembari merekam jalannya konsolidasi tersebut. Jelas aneh, bahwa ajakan berkumpul yang sifatnya masih tahap konsolidasi saja sudah dipantau sedemikian rupa. Tentu ini satu sinyal yang bisa kita analisa bersama-sama. Selain menunjukkan fakta bahwa demokratisasi kampus UNJ berjalan serupa masa Orde Baru, juga memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang rektorat takuti bila mahasiswa-dosen-karyawan bergerak berbareng.
Akhirnya dalam Konsolidasi tersebut mahasiswa-dosen-karyawan bersepakat bahwa nama aliansi yang disepakati adalah Forum Militan dan independen Universitas Negeri Jakarta (FMI UNJ)-karena otokritiknya adalah kita harus benar-benar bergerak secara merdeka berdasarkan hati dan pikiran yang jernih, tidak ada intrik politik dan kepentingan di dalamnya karena ini murni permasalahan yang harus diselesaikan secara bersama. Walaupun banyak yang memantau ketika forum berjalan, beberapa mahasiswa dari perwakilan fakultas menyuarakan pendapatnya sembari memaparkan data berdasarkan kondisi ril yang mereka alami di kampus. Permasalahan demi permasalahan akhirnya dikerucutkan secara spesifik dan sistematis, hingga akhirnya disepakati secara demokratis menjadi 8 isu keresahan atas 3 elemen warga UNJ (dosen karyawan, dan mahasiswa) yakni Persoalan Uang Kuliah Tunggal, Persoalan Korupsi Kolusi Nepotisme di UNJ, Persoalan Tata Kelola Kampus, Persoalan Demokratisasi Kampus, Persoalan Kesejahteraan Karyawan, Persoalan Masa Pengenalan Akademik, Persoalan Sarana & Prasarana, dan Persoalan Transparansi dan Anggaran UNJ. Delapan isu itu bila dirangkum dalam isu besar ialah Tolak Liberalisasi Pendidikan!
Hasil dari Konsolidasi Akbar ialah diperlukannya forum Mimbar Bebas, karena urgensinya bahwa dalam konsolidasi tersebut tidak semua mahasiswa tahu bahwa di UNJ telah terbentuk aliansi Mahasiswa, Dosen, dan Karyawan yang bernama FMI UNJ.
Di samping mensemestakan gagasan dan pemaparan hasil kajian masing-masing koordinasi isu dari delapan isu tersebut, Mimbar Bebas juga sebagai wujud pernyataan sikap bersama bahwa mahasiswa, dosen, dan karyawan harus melawan kebijakan kampus yang tidak manusiawi. Dan perlu ditekankan di sini bahwa tugas-tugas perjuangan yang dilakukan dan disepakati oleh FMI UNJ bukan hanya respon atas kriminalisasi yang dilakukan oleh rektor terhadap beberapa dosen, melainkan FMI UNJ lahir murni berdasarkan keresahan-keresahan yang dialami oleh mahasiswa, dosen dan karyawan atas situasi kampus UNJ. Karena, menurut frame FMI UNJ, apa yang menimpa dosen dan keresahan yang dialami oleh beberapa dosen masuk dalam sub isu tuntutan tersebut. Sudah seyogyanya delapan isu tersebut bergerak berbareng menjadi tuntutan bersama dan FMI UNJ sebagai front dalam mengupayakannya.
Sekali lagi, FMI UNJ adalah wadah, agar kita bisa berkumpul dan berbareng bergerak. Ketika mahasiswa, dosen, dan karyawan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dari setiap kebijakan demi kebijakan yang dilakukan oleh birokrasi UNJ, maka ini sebuah persoalan.
Satu contoh, lihatlah gedung-gedung tinggi yang sudah dan akan berdiri di UNJ ialah bukti bahwa UNJ telah berselingkuh dengan modal-modal, dan lagi-lagi mahasiswa sebagai tumbal atas perselingkuhan tersebut tak heran jika setiap tahunnya UKT selalu naik. FMI UNJ tidak anti-pembangunan, melainkan FMI UNJ anti-pembangunan yang membuat kepentingan mahasiswa, dosen, karyawan tercederai, FMI UNJ anti-pembangunan yang kental aroma KKN, dan lain sebagainya. FMI UNJ hadir untuk memfasilitasi itu karena FMI UNJ yakin bahwa keresahan tidak hanya milik inisiator FMI UNJ melainkan warga UNJ secara umum.
Maka dari itu, mari kita merapatkan kembali front mahasiswa, bahwa permasalahan-permasalahan yang ada di kampus kita tercinta ini harus segera diselesaikan. KARYAWAN DOSEN, BEM UNJ, BEM FAKULTAS, BEM PRODI, TIM AKSI SE-UNJ DAN MAHASISWA SELURUH UNJ BERSATULAH ! Buktikan bahwa kalian dipilih sebagai representasi mahasiswa harus benar-benar milik mahasiswa bersama.
Andika Baehaqi
Koordinator Demokratisasi Kampus
———————————-
©Forum Militan dan Independen UNJ