Hampir dua minggu setelah awal mula ketegangan yang terjadi di masjid Al-Aqsa pada 14 Juli 2017. Ketegangan yanag kemudian menjadi bentrokan-bentrokan ini diawali oleh tiga orang Arab-Israel yang menembak mati dua petugas polisi di kompleks suci tersebut. Kemudian tiga orang ini lari kedalam kompleks suci, termasuk Al-Aqsa dan Kubah Shakhrah.
Dengan alasan itu kemudian Al-Aqsa ditutup yang menyebabkan umat muslim tidak bisa menjalankan sholat jum’at. Penutupan tetap dilakukan pada esok harinya. Kemudian kebijakan penutupan dicabut berganti dengan intruksi dari Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, untuk meggunakan alat detektor logam pada tanggal 16 Juli 2017 untuk memeriksa sesiapa yang akan beribadah ke masjid Al-Aqsa.
Hal tersebut menyebabkan protes dari umat muslim yang kemudian menolak beribadah di dalam Al-Aqsa, melainkan di jalan masuk menuju ke sana, sampai tidak ada lagi pemeriksaan menggunakan alat deketktor. Sebab kebijakan sewenang-wenang ini disinyalir sebagai konspirasi Israel untuk memegang kendali lebih terhadap kiblat pertama umat muslim tersebut.
Dari tanggal 16-20 Juli bentrok sporadis terus pecah setelah ibadah. Pada 18 Juli 2017, dilansir di republika.co.id, Imam Masjid Al-Aqsa, Syeikh Ikrema Sabri cedera akibat tertembak peluru karet polisi Israel setelah menunaikan sholat di luar gerbang Masjid Al-Aqsa. Pada tanggal 20 Juli 2017, Recep Tayyip Erdogan turut mendorong Israel untuk kemudian mencopot kebijakan penggunaan alat detektor.
Dalam berita yang dilansir di sindonews.com pada 24 Juli 2017. Lebih dari 900 warga Plestina terluka akibat tindakan represif dari pasukan Israel dalam kurun waktu 10 hari terakhir di kompleks Masjid Al-Aqsa. Data diklaim dari rilis Bulan Sabit Merah Palestina. Begitulah narasi singkat mengenai ketagangan antar Israel dengan muslim Palestina yang sampai pada 28 Juli 2017 dinukil dari pemberitaan sindonews.com, Pasukan Israel melarang jamaah di bawah 50 tahun untuk sholat Jum’at yang kemudian wajar bila gelombang protes bermunculan dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Desakan untuk segera mengakhiri konflik ini pun bermunculan dari berbagai elemen bangsa kita, termasuk petinggi-petinggi negara. Pun aksi-aksi solidaritas terus berlanjut di Indonesia, mulai dari aksi penggalangan dana sampai aksi penyampaian aspirasi yang menuntut langkah konkret dari pemerintah Indonesia terkait nasib rakyat Palestina yang berulang kali dirampas hak-haknya oleh Israel. Wajar ketika Indonesia kemudian mendesak untuk mengakhir konfilik yang terjadi di sana sekaligus mendukung kemerdekaan Palestina yang tanahnya dirampas oleh Israel yang pada 1948 mendeklarasikan kemerdekaannya, sebagaimana yang diutarakan oleh Wapres RI, Jusuf Kalla, baru-baru ini. “Indonesia akan selalu berpihak pada Palestina. Kita terus mendukung kemerdekaan mereka.” Kata wapres RI, Jusuf Kalla.
Lalu, Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan mengenai hal ini, “Warga Palestina berhak untuk beribadah di tanah dan masjidnya sendiri. Penutupan Masjid Al-Aqsa dan penggunaan kekerasan oleh Israel jelas melanggar HAM,”. pun ia mendukung kemerdekaan Palestina. “Indonesia berdiri bersama perjuangan rakyat Palestina meraih kemerdekaan. Ini adalah solidaritas keagaaman sekaligus solidaritas kemanusiaan.” Pungkasnya.
Perlu diketahui, terkait kemerdekaan Palestina, 177 Negara mendukung Palestina untuk akhirnya dapat menentukan nasibnya sendiri. Angka 177 ini di dapat dari jumlah negara yang mendukung resolusi yang berjudul “Hak Bangsa Plestina untuk Menentukan Nasibnya Sendiri” pada Majelis Umum PBB yang berlangsung di New York, 19 Desember 2016.
Apa yang terjadi pada Palestina memunculkan sikap solider lintas bangsa yang mewujud kerjasama. Menurut Hasan Shadily (1993: 143-145), kerjasama adalah proses terakhir dalam penggabungan. Proses ini menunjukkan suatu golongan keloompok dalam hidup dan geraknya sebagai suatu badan dengan golongan kelompok lain yang digaungkan itu. Kerjasama merupakan penggabungan antar individu dengan individu lain, atau kelompok dengan kelompok lain sehingga bisa mewujudkan suatu hasil yang dapat dinikmati bersama.”
OKI, Organisasi Kerjasama Islam rencananya akan duduk bersama dalam pertemuan Open-Ended Emergency Meeting of The Executive Committee pada tanggal 1 Agustus 2017 mendatang di Instanbul, Turki, untuk membahas situasi di Al-Aqsa. Rencana untuk duduk bersama ini memang perlu untuk diagendakan sesegera mungkin, untuk membahas langkah strategis yang kemudian akan diambil OKI.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang semula bernama Organisasni Konferensi Islam ini pun dibentuk berdasarkan keputusan pertemuan tingkat tinggi yang diadakan di Rabat, Maroko, pada tanggal 25 September 1967 sebagai respon atas krisis yang terjadi di Masjid Al-Aqsa. Mengingat semangat yang akhirnya membentuk organisasi ini, diharapkan OKI terus komitmen untuk memperjuangkan kedaulatan Palestina.
Bagi Indonesia, dukungan atas kemerdekaan ini bukan saja tanggung jawab moral yang dimana Indonesia jelas menolak segala bentuk penjajahan sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Fakta historis bahwa Palestina yang mendukung kemerdekaan Indonesia tak bisa dilupakan. Melalui Mufti Besar Plestina, Amin Al-Husaini, yang pada saat Indonesia membutuhkan pengakuan atas lemerdekaannya kemudian menggalang negara-negara Islam untuk memberikan pengakuan.
Mendukung kemerdekaan Palestina adalah jalan yang mesti diambil oleh Indonesia dengan penuh komitmen, menolak segala bentuk penjajahan di dunia sebagaimana pembukaan Undang-Undang Dasar, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus segera dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Juga, “Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”
Kemerdekaan Palestina adalah suatu yang terus diupayakan banyak negara termasuk Indonesia. Langkah tersebut ialah suatu langkah yang tepat untuk memutus mata rantai kekerasan yang sering menimpa rakyat Palestina yang dilakukan oleh Palestina. OKI harus kontinyu mendukung kemerdekaan Palestina dengan langkah-langkah strategis yang diambil. Pun Indonesia yang memiliki semangat anti penjajahan sekaligus “saudara” lama Palestina yang dahulu mereka dukung kedaulatan bangsa ini mesti menjadi penggerak dalam OKI maupun dalam ranah-ranah strategis lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
“Kemerdekaan itu dekat, Palestina, semoga.”
“Kamu Tidak Sendirian, Palestina!”
Wallahu ‘alam bishowab.
Asrul Pauzi Hasibuan
asrulfh@gmail.com