UNJKita.com – Tepat di tanggal 28 Januari hari Sabtu pagi tim UNJKita berkesempatan untuk meliput acara “Nonton Bareng JAKARTA UNFAIR dan Parade Kreativitas Mahasiswa Jakarta” yang diselenggarakan oleh Komunitas Mahasiswa & Pemuda Jakarta B3rsama (KaMPuS). Hujan yang mengguyur ibukota tidak menyurutkan langkah peserta untuk datang ke lokasi acara di Southbox, Jalan Prapanca Kemang, Jakarta Selatan. Ratusan peserta yang umumnya terdiri dari kalangan mahasiswa Jakarta Selatan dan sekitarnya memenuhi lantai dasar. Yang menarik perhatian, film Jakarta Unfair sendiri tidak diizinkan tayang di Taman Ismail Marzuki (TIM), dimana TIM merupakan pusat kebudayaan dan kesenian dibawah naungan Pemprov DKI Jakarta.
Pemutaran film sebelumnya diawali dengan pembacaan puisi dan teatrikal oleh mahasiswa yang tergabung dalam KaMPuS. Teatrikal tentang kurangnya kesadaran pemuda terhadap apa yang terjadi di sekitarnya menjadi bahan perbincangan dalam diskusi sosial budaya acara ini. Tidak ketinggalan kehadiran komika Tata Khan dan nasyid menjadi penghibur.
Barulah sekitar pukul 10.40 film Jakarta Unfair diputar. Dalam film berdurasi 52 menit yang diproduksi oleh WatchDoc ini menampilkan sudut pandang lain dari warga DKI Jakarta yang mengalami penggusuran dengan dalih relokasi, normalisasi, dan penertiban. Penceritaan dengan gaya dokumentasi tanpa narasi mengarahkan penonton untuk melihat kondisi ketika penggusuran yang sempat terjadi adu fisik antara aparat kepolisian dengan warga, dan pasca penggusuran dimana warga harus pindah ke rumah susun (rusun) yang dibangun oleh pemprov DKI Jakarta. Segala pengalaman pahit warga dalam Jakarta Unfair menyibak sebalik tabir yang tertutup dari media nasional.
Jakarta Unfair hanyalah kilas balik apa dari yang dijanjikan pemerintah dengan realita penggusuran. Janji terhadap warga yang terkena penggusuran belum di tunaikan, warga yang pindah ke rumah susun pun banyak yang tidak dapat membayar uang sewa bulanan rusun karena saat terjadi penggusuran tidak sempat membawa harta benda yang kemudian dihancur ratakan oleh tanah dalam kurun waktu 11 hari, dan tidak ada kepastian kapan ganti rugi akan diberikan oleh pemerintah. Terlebih memilukannya lagi, warga yang terkena penggusuran dituduh sebagai “warga ilegal” yang harus hengkang dari kediamannya sendiri.
Tagline dalam film Jakarta Unfair, bahwa “setiap petak tanah adalah kehidupan dan perjuangan” sukses menjadikan setiap mata yang masih terbuka hatinya tanpa sadar meneteskan air mata. Dalam acara nobar yang berlangsung hingga pukul 13.00 juga mendatangkan narasumber warga kampung akuarium yang menjadi salah satu wilayah titik penggusuran. Kedatangan narasumber untuk berbagi pengalaman mereka memperkuat kesadaran atas pentingnya kepedulian terhadap nasib para korban penggusuran.
“kami digusur dalam waktu 11 hari tanpa sosialisasi atau pemberitahuan sebelumnya. Dengan dalih RELOKASI kami dipindahkan ke rusun Marunda yang jaraknya 25 KM. Kami yang kebanyakan mata pencaharian sebagai nelayan dan kuli panggul di pelabuhan harus kehilangan mata pencaharian kami dan kesulitan memenuhi kebutuhan di rusun. Beberapa di antara kami juga dipindahkan ke rusun rawabebek yang jaraknya 28 KM. Dengan kamar hanya berukuran 4X9 meter dipaksa menampung 1 keluarga penggusuran yang memiliki 4 sampai 5 anak. Padahal kami ini bagian dari DKI Jakarta mempunyai hak yang sama untuk hidup layak.” Tutur ibu Darma, seorang warga kampung akuarium yang menjadi narasumber dalam acara tersebut. Kemudian dalam sesi tanya jawab yang diajukan oleh peserta Ibu Darma melanjutkan,
“KTP kami resmi, kami membayar pajak dan air secara legal, kami mengikuti pemilu dan terdaftar, tapi kami digusur tanpa satu rupiah pun. Dan ketika dipindahkan ke rusun kami harus membayar uang jaminan di Bank. Kami diangkut memakai mobil sampah untuk pindah ke rusun. Yang menyakitkan lagi adalah tuduhan untuk kami sebagai penduduk ilegal. Sekarang pun masih ada sekitar 100 orang lebih dari kami yang bertahan di puing-puing rumahnya, tetapi dikerahkan 4000-an aparat kepolisian dan TNI.” Jelas ibu Darma dengan menahan air mata karena harus mereka ulang memori dalam ingatannya.
Selain dari pihak warga yang terkena penggusuran, hadir juga perwakilan dari Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta periode 2009-2014, Ir. Triwisaksana M.Sc atau yang akrab dipanggil bang Sani dan Taufik Hidayat (Abang none DKI Jakarta 2016) yang juga dikenal sebagai aktivis menjadi perwakilan dari sudut pandang mahasiswa.

Bang Sani (Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta) memberikan paparannya
Secara singkat Bang Sani menambahkan bahwa pembangunan adalah tanggungjawab bersama bagi seluruh warga DKI Jakarta dan bukan hanya tugas pemerintah. Kelanjutan nasib warga yang terkena penggusuran juga tergantung kepada siapa gubernur yang akan terpilih nanti mengingat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tinggal menghitung hari. Maka wajib untuk warga DKI Jakarta memilih pasangan yang terbaik dan mengawal kemana arah kebijakannya.
Sementara Taufik Hidayat mengusulkan beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh mahasiswa dan pemuda untuk turut serta membantu warga yang terkena penggusuran.
“Diantara hal yang paling mendasar adalah dimulai dari mencerdaskan diri kita sendiri terlebih dahulu, kemudian kerjakan apa saja yang bisa kita lakukan untuk mencerdaskan orang lain juga, kalau kita sebagai mahasiswa bisa menulis, tulislah artikel untuk membuka pikiran orang lain, kalau kita bisa dari segi ekonomi, bantulah saudara kita yang terkena penggusuran dan sekarang kehilangan mata pencaharian. Adakan diskusi sebanyak-banyaknya dan membentuk komunitas erat yang secara kontinyu berjuang membawa perubahan di DKI Jakarta.” Ucap Taufik Hidayat sebagai closing statement acara.
Pemutaran film Jakarta Unfair juga sebelumnya diadakan di kampus UNJ oleh pasukan biru Fakultas Teknik UNJ. Tentunya acara nonton bareng (nobar) Jakarta Unfair diharapkan menyadarkan mahasiswa untuk menanamkan kembali kebudayaan baca tulis dan diskusi sebagai bekal sebagai agen perubahan untuk Indonesia.