unjkita.com – Wacana untuk meniadakan batas atas biaya kuliah di perguruan tinggi negeri dinilai merupakan upaya negara melepaskan tanggung jawab pada pendidikan tinggi. Tujuan peniadaan batas atas biaya kuliah agar perguruan tinggi dapat menarik dana lebih besar dari mahasiswa kelompok kaya sehingga bisa menyubsidi kelompok miskin bisa menodai peran perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan yang tidak komersial. Perguruan tinggi merupakan institusi yang menyiapkan generasi muda untuk mampu berkembang dan bertahan dalam hidup.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengusulkan untuk mengevaluasi kembali biaya kuliah atau uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN). Penetapan biaya kuliah diminta agar tidak menentukan pagu atas yang menyasar kelompok berpenghasilan tinggi.
Saat ini, penetapan UKT diserahkan ke setiap PTN, tetapi harus ada penetapan batas atas yang ditanggung mahasiswa. Padahal, mahasiswa kaya di PTN dinilai masih mampu untuk membayar lebih tinggi dari UKT yang ditetapkan di PTN. Semisal di ITB, pagu atas untuk yang bukan program studi di Sekolah Bisnis Manajemen ditetapkan senilai Rp 10 juta. Di lain pihak, ada pula PTN yang mematok pagu atas UKT Rp 47,5 juta.
“Itu pemikiran yang terlalu disederhanakan. Jangan sampai ada kesan orang yang mampu bayar mahal meskipun memang pintar yang bisa kuliah di PTN. Nanti ada kesan yang tidak sehat pada PTN kita,” kata Satryo Soemantri Brodjonegoro, pengamat pendidikan tinggi dan Guru Besar Institut Teknologi Bandung. Menurut Satryo, pembiayaan pendidikan tinggi, terutama PTN, menjadi tanggung jawab negara. Untuk itu, PTN jangan dibebani dengan tugas mencari uang. “Kalaupun PTN mampu untuk bisa mendapatkan dana karena kemampuan riset yang bagus, bukan uang tujuannya. Tetapi itu akibat dari fungsi PT menjalankan pengembangan ilmu,” kata Satryo.
Subsidi negara kepada PTN harus diberikan sesuai tuntutan kepada PTN tersebut. Jika PTN mampu mencari dana sendiri karena PTN mampu mengembangkan riset dan kerja sama yang mendatangkan pendapatan, bukan berarti pemerintah lepas tangan. Namun, bukan berarti negara menugasi PTN untuk cari dana sendiri.
Doni Koesoema, pengamat pendidikan lain, mengatakan, kuliah di PTN harus terjangkau. Pemerintah harus menghilangkan berbagai hambatan bagi warga negara untuk mengakses kuliah di PTN. Menurut Doni, PTN bisa saja didorong untuk kreatif mencari pendanaan melalui kerja sama riset. Namun, untuk menuju PT yang mampu menghasilkan riset yang baik tetap butuh dukungan dari pemerintah, termasuk pendanaan, agar PTN berdaya. Meski PTN didorong menghasilkan riset yang sampai bisa dikomersialkan, tetapi harus dijaga keseimbangan PTN melaksanakan tridarma yakni pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Subsidi belum memadai
Ketua Majelis Rektor PTN Indonesia Herry Suhardiyanto, yang juga Rektor Institut Pertanian Bogor, mengatakan, subsidi dari APBN sebenarnya belum memadai. Dalam proses pemberian Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang semestinya bisa menyubsidi selisih biaya kuliah di PT setelah dikurangi uang kuliah mahasiswa sesuai kemampuan ekonomi belum cukup.
Rektor Universitas Tanjungpura, Pontianak, Thamrin Usman meyakini PTN tetap pada komitmennya tidak komersial. Apalagi dewasa ini lembaga publik selalu mendapat sorotan dan diminta untuk transparan serta akuntabel sehingga bisa diawasi apakah menyeleweng atau tidak. “Bisa diaudit nanti komposisi mahasiswa yang diterima,”