Bicara pergerakan mahasiswa hari ini sama dengan berbicara dalam ruang yang teramat kecil. Sayangnya bukan hanya teramat kecil dari segi kuantitas namun juga dari segi kualitas, ya ruang ini bernama Badan Eksekutif Mahasiswa atau disingkat dengan BEM ataupun beberapa varian nama lainnya, namun di negara kita nama inilah yang lazim digunakan. Fenomena ini jamak kita akan jumpai hari-hari ini di banyak wilayah, termasuk kampus di ibukota yakni Universitas Negeri Jakarta.

Ruang yang teramat kecil dari skala jumlah partisipasi maupun dari skala dampak gerakan ini sangat amat mungkin terjadi karena beberapa penyakit yang bisa kita cermati dari temuan-temuan yang kerap kali tak bisa terelakkan bahwa hal yang demikian adalah kenyataan. Maka perlu dilihat bahwa semangat lahirnya tulisan singkat ini adalah semangat untuk menyajikan fakta yang kemudian bisa dikaji untuk perbaikan. Semangat yang dipakai untuk menuliskan tulisan ini amat jauh dari sekedar ujaran kebencian apalagi kedengkian atas kejadian-kejadian di masa lalu. Mari hadirkan ruang imaji dialektika yang tak berbatas meskipun imaji ini hanya untuk ruang kecil yang telah disinggung di atas, mengingat dengan tuliskan dan dialektika inilah bangsa beraksara seharusnya tumbuh berkembang.

Beranjak ke temuan-temuan apa yang ada di BEM UNJ hari-hari ini dapat dimulai dari hal yang sangat mungkin kita alami jika kita berinteraksi dengan keseharian yang BEM UNJ lakukan. Tentu, BEM UNJ periode 2016 ini yang dinahkodai oleh saudara Bagus Tito bisa jadi pengecualian karena memang baru dalam kisaran 1 bulan menjalani aktivitas saat tulisan ini diterbitkan. Ada semacam “budaya” yang berlangsung di 4 kepengurusan BEM UNJ yang penulis jumpai, yakni fenomena sulit membedakan mana BEM UNJ dan LDK UNJ. Ya LDK alias Lembaga Dakwah Kampus atau mempunyai nama lain Sahabat Muslim alias SALIM.

Fenomena sulit membedakan dalam hal ini tentunya bukan hal-hal yang bersifat administratif, pasti akan dijumpai perbedaan jika membahas struktur dan perangkat formil lainnya. Adapun yang sulit dibedakan ialah pola keseharian dari aktivitas yang dijalani, lumrah dan masih dalam batas wajar jika kegiatan diawali dan diakhiri dengan salam, namun tentu akan cukup sulit diterima bagi mahasiswa yang beragama selain Islam untuk bersama membaca do’a penutup majlis ataupun mengawali kegiatan dengan pembacaan ayat suci Al-qur’an dan sari tilawahnya di hampir setiap kegiatan baik formal ataupun yang bersifat diskusi kecil. Pola lain yang bisa dijumpai adalah adanya aplikasi “Gerakan Setengah Tujuh” yakni gerakan berakhirnya aktivitas di kampus dan anjuran untuk pulang ke kediaman masing-masing jika waktu sudah bergerak ke angka setengah tujuh malam. Naasnya gerakan yang diinisiasi untuk keamanan mahasiswi ini juga sering dilaksanakan oleh para pengurus pria BEM UNJ, bisa terlihat dari seringkali kosong melompongnya Sekretariat BEM UNJ tak lama setelah ibadah salat maghrib dijalankan. Padahal malam hari dengan keleluasaan mahasiswa dari perkuliahan bisa jadi momen potensial untuk membangun gerakan

Mendiskusikan agama dan segala hal termasuk kegiatannya yang berujung pada kebaikan bukanlah tujuan dari tulisan ini, penulis pun masih berkeyakinan itu adalah keniscayaan. Tapi poin pentingnya ialah meletakkan hal-hal di atas pada porsinya, selagi “M” pada akronim BEM masih menunjukkan Mahasiswa maka sudah selayaknya hal-hal di atas untuk disesuaikan. Penulis bukan berarti meniadakan fakta bahwa di beberapa kepengurusan bisa dijumpai pengurus yang beragama selain Islam ataupun muslimah yang tidak mengenakan hijab, namun nuansa keislaman yang seolah menjadi tirani bagi yang minoritas itu terjadi di dalam ruang yang dimana semestinya keberagaman menjadi pondasi. Argumen akhir ini juga pasti dipakai oleh aktivis muslim ketika di lembaganya kental akan penuansaan agama lain, karena memang yang ideal adalah tidak dijadikannya nuansa agama mayoritas menjadi nuansa yang dialami oleh semua anggota.

Maka tak jarang kita dengar bahwa analogi BEM UNJ merupakan bentuk kaderisasi lain dari harokah keagamaan atau bahkan partai politik tertentu. Selentingan-selentingan yang demikian berhembus dengan kencang seiring dengan dijumpainya banyak alumni BEM UNJ berkampanye atau bahkan menjadi bagian riil dari perjalanan satu partai politik, yang terasa ganjalnya ialah partai politik yang sama. Implikasi akan hal ini akan bercabang cukup banyak, bisa bicara soal kecurigaan dana aksi-aksi massa yang kerap kali dilakukan ataupun netralitas lembaga dalam kontestasi pemilihan umum, kepala daerah ataupun presiden negara ini.

Fenomena kedua ialah bisa jadi akibat dari adanya fenomena sebelumnya yakni rendahnya tingkat partisipasi ataupun istilah lain yang bisa menjelaskan bahwa BEM UNJ jarang terlibat dalam keseharian mahasiswa pada umumnya. BEM UNJ bukanlah suatu bahan pembicaraan yang sering dijumpai di ruang-ruang aktivitas mahasiswa pada umumnya. Hal ini bisa menjadi tanda baik yakni minimnya preseden buruk atau malah bisa menjadi tanda buruk bahwa memang BEM UNJ tidak dianggap ada dalam hari-hari mahasiswanya. BEM UNJ hanya menjadi seksi untuk diperbicangkan pada saat pemilihan ketua barunya ataupun ditambah decak kagum pada saat Masa Pengenalan Akademik (MPA) alias ospek saja.

Alpanya BEM UNJ dari ingatan dan pemikiran banyak mahasiswa di UNJ bisa jadi karena trend semakin eksklusifnya organisasi pemerintahan yang satu ini. Banyak hal janggal yang bisa dijumpai di mekanisme untuk sekedar menjadi pengurus apalagi untuk menjadi calon ketua ataupun wakil ketua organisasi ini yang rasanya perlu tulisan tersendiri untuk membahasnya. Tapi pada intinya, BEM UNJ belum bisa menghadirkan kesan inklusif, belum bisa juga menghadirkan opsi partisipasi yang bisa memanfaatkan potensi mahasiswa-mahasiswi di kampus ini. Bukan suatu rekaan bahwa teman-teman kita dari Seni Rupa jarang atau bahkan belum pernah diajak kolaborasi untuk membuat propaganda gerakan, teman-teman ini melalui SERRUM Studio justru menjadi mitra kolaborasi dari banyak lembaga swadaya masyarakat seperti Transparency International Indonesia, Indonesia Corruption Watch dan juga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

Kesan jadul dan membosankan juga masih sangat melekat dengan produk-produk gerakan yang diinisiasi BEM UNJ. Inovasi dengan cara menyenangkan dan sesuai dengan mahasiswa kebanyakan adalah suatu kemustahilan bagi BEM UNJ meskipun “nothing is impossibe” ataupun “kun faya kun” itu memang ada. Kesan keren dan kekinian memang bukanlah suatu tujuan dan keharusan namun nampaknya ini adalah suatu cara untuk bisa meraih simpati umum yang merupakan syarat dari berhasilnya suatu gerakan sosial, dan lagi-lagi BEM UNJ belum bisa mencapai tingkatan itu dalam aktivitasnya.

Fenomena akhir yang akan tertulis di sini ialah jauh panggang dari api visi misi para ketua dan wakil ketua organisasi ini yang terkesan hanya menjadi pepesan di saat proses kampanye saja. Mari kita cek saja apa yang mantan ketua dan wakil ketua BEM UNJ teranyar yakni Ronny Setiawan dan Irvandi Faisal utarakan. Mereka mencetuskan visi “Membangun kedaulatan mahasiswa UNJ dengan mengedepankan pelayanan yang berasaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan kulturisasi identitas pendidikan kampus UNJ serta menjadikan poros gerakan nasional”. Visi ini mereka sandingkan dengan 5 misi yang dimana banyak berbicara mengenai harmonisasi mahasiswa dan penciptaan iklim budaya keilmuan serta pengembangan minat bakat. Kita semua bisa menilai sendiri apa-apa yang telah diupayakan oleh mereka dan kabinet inspirasinya masih amat jauh layaknya kita juga yang sering menilai kesesuaian visi misi para pemimpin negara kita dengan apa yang terjadi di kenyataan.

Bedah kepengurusan bisa menjadi tulisan menarik di lain kesempatan, namun poin besar dari fenomena ini ialah bahwa masih sedikitnya pemahaman akan pentingnya organisasi mengejar dan mengupayakan visi-misi yang mereka buat. Dengan bekal program kerja turunan dan warisan pengetahuan dan pengalaman yang itu-itu saja maka perubahan besar yang dilengkapi progresifitas adalah mimpi di siang bolong.

Seribu kata telah terlewati guna menyajikan deskripsi dan menuliskan fenomena mengenai BEM UNJ yang ingin kita sayang namun acap kali bersikap malang. Tulisan ini amat kering data yang semoga bisa diperbaiki di kesempatan berupa tulisan lainnya, namun penulis yakin banyak di antara kita yang mengamini akan beberapa fenomena yang tertulis di atas. Karena kebiasaan menuliskan apa-apa yang sering dijumpai di kampus kita adalah tujuan dari dilahirkannya tulisan ini. Mohon maaf apabila ada bahkan banyak yang kurang berkenan akan tulisan ini. Penulis dengan sangat antusias menanti saran dan kritik akan tulisan ini, mengingat penulis dan kita semua masih hidup di negara demokrasi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Salam Perubahan,

Ahmad Sajali
(@jolayjali)
Geografi FIS UNJ 2011

*Tulisan dibuat untuk kegiatan Serikat Mahasiswa Perubahan UNJ (SEMERU UNJ), kunjungi kami di semerunj.tumblr.com

Categorized in: