“BAGI MANUSIA, YANG PENTING BUKAN KEMANUSIAANNYA, MELAINKAN STATUS SOSIAL, HARTA BENDA, DAN KEKUASAANNYA. BAGI SEKOLAH DAN UNIVERSITAS, BUKAN ILMU YANG PENTING, MELAINKAN GELAR KESARJANAANNYA. BUKAN TUJUAN HIDUP YANG PENTING, MELAINKAN JUMLAH PEMILIKAN KEDUNIAANNYA. “
”
EMHA AINUN NADJIB
Jelang Pemilihan Raya (Pemira) UNJ 2020 kontestasi politik yang terendus semenjak aksi #TOLAKOMNIBUSLAW dalam kurun waktu belakangan ini menjadikan aksi tersebut menjadi sangat ekslusif bagi para bakal calon kandidat ketua dan wakil ketua BEM UNJ 2021. Bagaimana tidak? Disinilah panggung politik untuk memperlihatkan diri seberapa layak seberapa berkualitas atau seberapa luas pengetahuannya mengenai dunia sosial politikan di Indonesia. Maka tak heran jika momentum aksi menjadi ajang unjuk kelayakan diri kepada seluruh mahasiswa.
Namun di kampus orde baru ini biarpun berkali-kali pemira dilaksanakan dan berkali-kali pula yang akhirnya menang dari kubu “itu”. Walau topengnya bisa dengan koalisi yang terlihat berbeda-beda namun isinya tetap sama, mungkin system pemerintahan di UNJ menggunakan sistem monarki?. Karena sudah tak asing jika setiap kompetitor dalam pemira pada akhirnya akan menjadi rekan kedepannya ketika menjabat di BEM UNJ dan Fenomena ini sudah berjalan dalam empat tahun terakhir. Penulis sangat menyarankan untuk membaca tulisan berikut Sepiring Berdua Ala BEM UNJ sebagai penambah bahan bacaan mengenai student government UNJ belakangan ini.
Ada satu tembang yang cocok diperdengarkan di masa-masa Pemira ini, yaitu Bantulah Kami Melihat (2001) yang dikarang oleh Koil. Syair yang tertulis adalah demikian:
“harapan kerinduan
kelahiran akan
menjadi mimpi kami
menangisi zaman
surat ini, sogokan ini
tak akan mampu membeli
peran yang kau harapkan”
Dalam maksud memanfaatkan momentum aksi penulis ingin mencurahkan betapa kecewanya dengan pemanfaatan momentum tersebut. Disaat niat murni berdemontrasi menyuarakan penolakan ruu omnibus law saat itu justru dijadikan panggung politik menjadi suatu pencideraan tujuan aksi karena memiliki kepentingan-kepentingan terselubung, karena jika diamati justru seperti ajang lomba orasi tanpa isi. Karena hanya seperti pemenuhan akan kebutuhan konten sosial media. Bahkan tak lepas sampai disitu beberapa diantaranya mulai aktif menghadiri konsolidasi walau hanya sebagai memenuhi forum saja dan tidak bersuara atau memebrikan gagasan untuk eskalasi aksi. Tak hanya itu, bahkan mereka mulai mengikuti akun sosial media beberapa tim aksi tidak hanya meninggalkan jejak mengikuti akun tersebut namun juga meninggalkan jejak untuk menyukai postingan-postingan yang diunggah akun tim aksi tersebut yang memang cukup massif dalam publikasi terkait isu sosial politik dalam beberapa kurun waktu belakangan ini. memang bukan sebuah hal tidak biasa dan bukan bentuk pelarangan karena itu semua merupakan hak tiap-tiap individu. Namun menjadi tidak biasa dan menimbulkan begitu banyak pertanyaan seperti “mengapa baru hari ini? mengapa sebelumnya tidak? Bukankah materi pergerakan mahasiswa sudah didapatkan sejak mengikuti pelatihan kepemimpinan di tingkat prodi? ”.
Dalam situasi pandemi yang segala halnya menjadi beralih secara daring, akses publik kepada sosial media menjadi lebih pesat dan wajib. Sehingga memanfaatkan sosial media menjadi alternatif untuk unjuk diri juga sudah menjadi hal utama para bakal calon ketua dan wakil ketua BEM saat ini. Dimana jauh sebelum pemira mereka bahkan nyaris tidak pernah mengunggah keikutsertaannya ketika aksi. Tidak hanya dalam bersosial media, bahkan sependek pengamatan penulis ketika nyaris mengikuti seluruh agenda aksi sejak dahulu tak pernah menemukan sosok mereka yang dalam kurun waktu belakangan ini ditengah keterbatasan akibat pandemi ini selalu hadir ketika aksi, entah sosoknya memang kurang penulis lihat tertutup massa aksi lainnya atau bagaimana, namun sedikit banyak massa aksi di UNJ pasti familiar apalagi jika di angkatan yang sama dan sebelum pandemi, aksi menjadi lebih mudah dilakukan mengingat tidak ada batasan-batasan atau larangan khusus ketika aksi sebelum pandemi. Memang aksi bukan hal yang wajib diikuti, itu semua kembali kepada keresahan masing-masing mahasiswa itu sendiri, namun kenapa menjadi hal yang wajib jika itu mendekati pemira? penulis pikir kendaraan utamanya hanya mengikuti pengaderan hingga tingkat universitas, ternyata tidak ya?
Memang telah mengikuti pengaderan hingga tingkat universitas hingga dinyatakan lulus pengaderan tersebut bukan menjadi kendaraan utama menjadi calon ketua BEM dan wakil ketua BEM saat ini, masih ada syarat lainnya misal besaran indeks prestasi dan syarat dalam bentuk berkas lainnya. Namun terlepas dari semua syarat tertulis itu, Eksistensi menjadi hal wajib bagi mereka demi mendapatkan perhatian mahasiswa UNJ. Belum lagi mahasiswa yang sangat mudah didapatkan perhatiannya yaitu para mahasiswa baru saat ini karena diberbagai lini pengaderan untuk mahasiswa baru mereka akan hadir sebagai rekomendasi pemateri seperti yang sudah penulis singgung pada tulisan sebelumnya, mungkin dapat dibaca kembali Baiknya Bermain Politik Tanpa Tujuan dimana mereka yang saat ini mencalonkan dirinya menjadi calon ketua dan wakil ketua BEM UNJ bukan sebuah kebetulan atau kejahilan semata namun memang sudah ‘dipersiapkan’ sebelumnya, sehingga ajang berbagi lahan di program studi dan fakultas untuk memperkenalkan diri melalui agenda pengaderan menjadi hal wajib bagi mereka.
Dalam konteks hal wajib disinilah yang memanfaatkan kondisi mereka sebagai pejabat BEM atau mahasiswa berprestasi sekalipun yang direkomendasikan sebagai pengisi materi tersebut, bahkan tidak ada lembaga yang bertanggung jawab atas susunan nama rekomendasi tersebut. Penokohan atau politik identitas yang melekat dalam susunan ini lah yang menjadikan timbulnya pandangan bahwa yang paham isi materi yang pengalamannya relevan dengan materi dan yang layak mengisi materi hanyalah pejabat BEM atau apapun itu identitasnya yang melekat dengan BEM Tapi tidak semua pejabat BEM. Karena jika dikerucutkan kembali tidak semua pejabat BEM memiliki lahan yang sama rata atau memiliki porsi rekomendasi yang sama dengan yang lainnya Jika bukan berasal dari satu ‘kubu’ yang sama. Bukankah monopoli kekuasaan sangat tumbuh subur disini? ya sangat subur dan menjadi kebiasaan turun temurun bagai warisan nenek moyang yang harus dilestarikan. missal materi yang diberikan juga turun temurun dari kakak-kakaknya terdahulu. Jika dilihat realtianya semakin berkembangnya jaman, materi pun butuh diperbarui sesuai kondisi saat ini. Memang beberapa pejabat BEM tersebut mendapatkan keistimewaan lebih ketika sudah dititipkan.
Tak hanya soal pemanfaatan momentum ketika aksi dan demokrasi sekarang ini juga dinilai telah kehilangan nalarnya, mengingat setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan informasi sejelas-jelasnya, berpendapat atau bertanya sebagai konsekuensi logis dari sistem pemira. Namun dalam lingkup saat ini ajang meminta kartu tanda mahasiswa tanpa memaparkan visi misi atau gagasan yang dimilikinya menjadi hal yang lumrah dilakukan, padahal dalam setiap kartu tanda mahasiswa tersebut memiliki tanggungjawab moral. Apalagi dengan dalih untuk mendukung karena satu fakultas, satu kelembagaan dan alasan lainnya karena membiasakan diri dengan pandangan yang subyektif sehingga muncul pula fenomena yang disebut sebagai “what about-ism” yang menjadi kebiasaan setiap pemira dengan sasaran mahasiswa baru yang seringkali dengan mudah dikendalikan oleh seniornya.
Terlepas dari itu semua, penulis cukup menarik perhatian bagaimana sistem dan teknis pemira saat pandemi seperti ini? karena hingga saat ini belum ada sosialisasi terkait mekanisme pemungutan suara yang dilakukan secara daring.
Oleh : Nyctophilia A.
Comments