“Kuasa mereka hanya melanggengkan bentuk oligarki terstruktur baru, mahasiswa tidak mendapatkan peran secara menyeluruh, dan dimatikan atas keinginan-keinginan berkuasa”
Masa depan demokrasi rasional menggejala di tiap-tiap kampus yang melaksanakan agenda setting sebagai kegiatan tahunan—pemilihan raya Badan Eksekutif Mahasiswa– untuk memilih pemimpin satu tahun mendatang. Jargon politis-bias konstruktif dilemparkan kepada audiens-voters demi merengkuh kuasa dan mendapuk seorang subjek masuk dalam belantika konstelasi politik kampus bertendensi manipulatif. Pikiran demi pikiran dipanen bak buah ranum yang siap dikonsumsi publik secara menyeluruh. Kegarangan berpikir tak jarang dipertontonkan saat adu gagasan—debat publik- demi menguji validitas dan akurasi gagasan yang ditelurkan lewat masing-masing pasangan. Anehnya, tak jarang banyak yang gagap atau tidak hafal ketika ditanya oleh audiens mengenai visi-misi, serta program kerja. Dari situlah publik dapat menilai kelayakan para kontestan pasangan-calon; layak dipilih atau tidak dipilih.
Banyak afeksi naif yang selalu diperlihatkan gelagatnya oleh para kontestan demokrasi kampus ketika terpilih. Mulai dari amnesia politis hingga alasan “sukarnya menata organisasi” dijadikan kambing hitam tersendiri untuk memadamkan api kritik dari para republican kampus yang menyerahkan suara mereka kepada-Nya. Padahal demokrasi merupakan instrumen sakral untuk dijadikan tanggung jawab oleh siapapun—kontestan terpilih- menepati janji politik. Maka tak heran jargon seperti “Kampus merupakan miniature negara” adalah hal yang benar, karena frasa tersebut mengafirmasi bahwa kampus adalah tempat terbuatnya janji-janji manis politis serta destruktifnya sistem politik yang dibuat sendiri seperti keadaan negara saat ini. Jadi tidaklah heran ketika kita melihat suasana kegetiran dalam spektrum kampus dan negara.
Destruksi Pemilihan Raya: Lihainya Lidah Para Kontestan
Kontestan politik terpilih tidak bisa hanya dikuatkan dengan kata-kata “Amanah tidak akan salah memilih pundak”, karena hal tersebut merupakan buaian dogmatis yang dilempar atas dasar irrasionalisme voters. Dogmatisme hanya akan mengarahkan demokrasi kampus dalam sifat-sifat narsistis, naratif, mitis, serta ritual-religi semata. Lebih dari itu, konsep demokrasi –baik spektrum kampus atau negara- harus diyakini sebagai collective self-determination, bahwa dalam artian kehendak yang diserahkan dalam rangka memilih calon pemimpin merupakan suatu perjuangan koletiktif-politis untuk menentukan arah gerak selanjutnya—baik organisasi ataupun massa.
Banyak kontestan tidak memahami konsepsi “janji politik” yang dikeluarkan lewat jargon-jargon kampanye. Anggapan bahwa hal tersebut merupakan “hanya sebuah janji” diyakini sebagai hal yang tidak perlu direalisasikan secara gradul. Kecacatan berpikir secara konsep membawa para kontestan akhirnya lihai dalam melempar gagasan kosong demi keterpilihannya dalam sebuah kontestasi politik. Semakin mereka banyak melempar gagasan, semakin ia berpikir bahwa audiens akan takjub pada pemikiran-Nya. Formasi tatanan politik kampus yang demikian tidak akan membawa kebepihakan bagi para pemilih, melainkan hanya untuk pemenang kontestasi.
Harus dipahami betul, bahwa pada ranah substansial pasangan-calon harus lebih mendahulukan res publica sebagai jaminan terselesaikannya harapan-harapan publik. Key point dari setiap kontestasi politik seharusnya lebih dibebankan pada mendengar kemauan publik/kehendak publik, bukan langsung menata arah organisasi kedepan. Karena hal inilah yang menyebabkan bias kognitif pada pasangan-calon yang berlaga. Mereka seolah-olah mengetahui apa yang mahasiswa inginkan, padahal nyatanya itu hanya keinginan mereka untuk merealisasikan segala hal yang ada dalam kepala mereka sendiri—pasangan calon. Meminjam satu istilah dari seorang jurnalis Amerika terkemuka Walter Lipmann Picture in Our Head, bahwa gambaran-gambaran realitas hanya diperoleh dari dalam kepala pasangan-calon, bukan dari keinginan perubahan fundamental mahasiswa. Hal ini akhirnya riskan dijadikan sebuah batu loncatan berpikir, bahwa kebutuhan para pemilih di homogenisasi oleh para kepala pasangan-calon yang cacat logika dan cacat berpikir.
Rusak-rusakan logika memipin seperti diatas hanya akan menyebabkan destruksi sistem dan menghasilkan mistrust kepada lembaga terkait—sebut saja Badan Eksekutif Mahasiswa. Kepercayaan publik semakin menghilang dan subjek yang berkuasa hanya diterima oleh masing-masing kelompok setelah terjadi demarkasi besar-besaran setelah pemilihan raya di tiap-tiap kampusnya.
Demokrasi Mahasiswa tanpa Demos
Jika negara setiap lima tahun sekali melaksanakan pemilihan umum demi memilih pemimpin untuk mengurus negara, berbeda halnya dengan organisasi mahasiswa—Badan Eksekutif Mahasiswa- yang memilih pemimpin setiap satu tahun sekali. Apakah watak dan permainan kedua panggung pemilihan sarat dengan manipulasi?
Seperti yang dijelaskan oleh penulis diatas, bahwa sistem yang digunakan hanya akan menyebabkan demarkasi besar-besaran dan ketidakpercayaan mahasiswa terhadap lembaga terkait. Ketika setiap gagasan hanya diambil dari para kepala pasangan-calon, lantas apakah peran mahasiswa hanya sebagai voters? Sangatlah jelas, bahwa posisi mahasiswa dalam pemilihan raya Badan Eksekutif Mahasiswa hanya ditempatkan sebagai voters yang dihisap suaranya hanya saat pemilihan, tidak dijadikan sebuah objek bagi pendidikan politik secara gradual.
Dalam melihat fenomena ini, penulis sangatlah tidak heran ketika melihat para pasangan-calon kontestan politik kampus hanya sebagai badut yang diperalat oleh para dalang diatasnya. Kuasa mereka hanya melanggengkan bentuk oligarki terstruktur baru, mahasiswa tidak mendapatkan peran secara menyeluruh, dan dimatikan atas keinginan-keinginan berkuasa. Hakikat demokrasi dalam kampus yang sejatinya harus ditumbuhkan secara ideal dan konstruktif, malah berubah arah menjadi dekonstruktif dan manipulatif akibat merengkuh sistem yang rusak sedari awal. Maka dari itu, penulis menyarankan kepada para kontestan pasangan-calon untuk melibatkan secara aktif unsur mahasiswa dalam deliberasi publik untuk menentukan keinginan dan kehendak seluruh mahasiswa. Supaya Badan Eksekutif Mahasiswa di tingkat manapun—Prodi, Fakultas, Universitas- tidak mencontoh negara hari ini yang abai pada pemilihnya kelak. Demokrasi harus berjalan sesuai yang dikonsepsikan sebagai Kratos yang diperintah oleh Demos dalam dinamika demokrasi di dalam kampus.
Oleh : Maulana Malik Ibrahim
Comments