Pernah mendengar istilah pendidikan inklusif? Yap, pendidikan insklusif merupakan salah satu jalur pendidikan yang memberi kesempatan bagi peserta didik berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik pada satuan pendidikan umum atau kejuruan terdekat dengan menggunakan kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan dan berkebutuhan khusus peserta didik yang mengalami gangguan/ kelainan. Namanya saja ‘pendidikan bagi berkebutuhan khusus’, sudah tentu memerlukan pendidikan secara khusus.

Terdapat beberapa kategori untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) menurut Program Direktorat Pembinaan PLB th 2006 dan Pembinaan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, antara lain:

  1. Tuna Netra,
  2. Tuna Rungu,
  3. Tuna Grahita (Down Sindrom),
  4. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70),
  5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50),
  6. Tuna Grahita Berat (IQ = < 25),
  7. Talented (Potensi Bakat Istimewa/ Multiple Intelligent),
  8. Kesulitan Belajar,
  9. Lambat Belajar (IQ = 70-90),
  10. Autis,
  11. Korban penyalahgunaan narkoba,
  12. Indigo,
  13. Dan lain-lain.

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan dari model pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Pendidikan inklusif tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut pasal 15 UU No. 20 th 2003, bahwa jenis pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus adalah Pendidikan Khusus. Selain itu, Pasal 32 (1) UU No. 20 th 2003 memberikan batasan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Salah satu pendidikan inklusif ialah melalui sekolah inklusif. Sekolah inklusif dimaknai sebagai pendidikan formal secara reguler (normal) namun menyediakan ruang bagi ABK, sistem pendidikan dibuat sedemikian rupa menyesuaikan keadaan anak. Pernyataan Konferensi Salamanca (1994) menegaskan bahwa, “prinsip dasar pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua anak sebaiknya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan maupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”. Pendidikan inklusif bisa dibilang sebuah pergerakan untuk menjunjung nilai-nilai pendidikan, keberagaman, sosial, interaksi dan peningkatan kesumberdayaan.

Terciptanya lingkungan dari sekolah inklusi mendorong ABK untuk berinteraksi sosial dan emosional terhadap teman sebayanya. Tak hanya berdampak pada ABK, siswa bukan ABK juga dapat belajar menumbuhkan rasa berempati dan kepedulian. Hal ini tentu dapat menghilangkan stigma diskriminatif ABK oleh teman sebayanya, terutama fenomena bullying di sekolah.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 th 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, ABK yang baru belajar di sekolah reguler juga memerlukan adanya guru pendamping (shadow teacher) selain guru yang berada di depan kelas secara umum. Tuntutan belajar secara teori cukup menyulitkan pemahaman ABK, disinilah peran guru pendamping untuk menuntun siswa menyesuaikan instruksi guru di depan kelas. Seorang guru pendamping harus paham betul kebutuhan siswa yang membutuhkan dampingannya. Meski begitu, guru pendamping bersifat sementara hingga anak dapat belajar secara mandiri di dalam kelas.

Problema yang kerap terjadi adalah stigma negatif orang tua murid yang enggan memasukan anaknya ke sekolah yang menerima difabel. Keberadaan dan pemahaman guru akan kondisi ABK, tidak sedikit guru yang kesulitan untuk dapat memahami dan mendampingi ABK, sehingga berakhir dengan guru “menyerah”, enggan dan anak terabaikan. Minimnya fasilitas pendukung ramah difabel menambah daftar kesulitan ABK untuk beraktifitas baik secara akademik, non akademik dan sosial.

Penyelenggaraan sekolah inklusif harus diikuti dengan keberadaan sarana dan prasarana yang memadai. Selain itu, presepsi akan keberadaan ABK yang datang dari guru maupun masyarakat perlu diubah. Bekal guru terhadap keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus ini perlu ditingkatkan. Oleh karenanya, dukungan baik dari pemerintah, guru, orang tua dan partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk terciptanya pendidikan inklusif yang ideal.

“Sejatinya, setiap anak mempunyai hak yang sama dalam menikmati jenjang pendidikan secara formal.”

Oleh Mutiara Kinanti, Pendidikan Tata Boga, FT UNJ

Categorized in: