Hidup Korban…!!! Jangan Diam…!!!
Jangan Diam…!!! Lawan…!!!
Jokowi…!!! Hapus Impunitas…!!!
Kamis, 19 Januari 2017 lebih dari 50 orang memadati jalan seberang Istana Negara. Dengan memakai setelan hitam, mereka membuat lingkaran dan beberapa diantara mereka membawa payung dengan warna senada dengan pakaian mereka. Diantara puluhan orang tersebut terdapat wajah-wajah familiar seperti komika Pandji Pragiwaksono dan Ari Kriting, penyanyi Melanie Soebondo, dan budayawan Djaja Soeprana.
Puluhan orang tersebut berkumpul dengan satu tujuan, menyuarakan perjuangan mereka dalam membela hak-hak korban kejahatan HAM dalam Aksi Kamisan.
Kamisan sendiri sesuai namanya dilaksanakan setiap hari kamis, ya setiap hari kamis mereka berkumpul melakukan aksi diam seakan menyindir sikap diamnya pemerintah akan tuntutan mereka. Dalam pelaksanaannya, aksi Kamisan sendiri dilakukan tidak hanya di Jakarta, tapi di Bandung, Medan, dan bebeeapa kota lain juga digelar aksi serupa.
Tepat hari kamis kemarin (19 Januari 2017) pada kamisan ke 477, aksi ini genap berusia 10 tahun. Namun dalam berjalannya 10 tahun kamisan, pemerintah seakan tutup mata akan penuntasan kasus-kasus kejahatan HAM dimasa lalu. Aksi kamisan sendiri digagas untuk menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa akhir orde baru seperti penembakan demonstran Semanggi dan penculikan aktivis pada periode 1996-1998 yang digagas oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dan Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekeraaan (Kontras).
Namun pada perkembangannya, aksi ini terbuka pada teman-teman lain yang ingin memperjuangkan haknya seperti korban pembantaian 1966, penggusuran Rawajati, Warga Kendeng, dll.
Kamisan Masuk MURI
Dalam kamisan kemarin, Djaja Soeprana hadir selaku pihak Museum Rekor Indonesia (MURI). Karena MURI menobatkan Kamisan sebagai aksi yang berlangsung terlama yaitu selama 10 tahun dan kemungkinan masih bisa bertambah sesuai dengan sikap tutup mata pemerintah.
Walau dalam beberapa kesempatan, pihak istana mengirimkan perwakilan untuk berdialog dengan perwakilan kamisan namun sampai hari ini hal tersebut belum menuai hasil positif terkait pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Dari jaman SBY hingga Jokowi, keluarga korban pelanggaran HAM selalu dijanjikan janji-janji manis terkait penuntasan kasus secara tuntas dan transparan. Namun kini di 10 tahun Kamisan, para keluarga korban masih setia menanti janji-janji tersebut ditunaikam.
Terlebih untuk pemerintah pimpinan Ir. Joko Widodo yang dalam masa kampanye pemilihan Presiden 2014 berjanji untuk mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM dimasa lalu. Bahkan hal tersebut tertuang dalam NAWACITA dengan harapan bahwa bangsa Indonesia tidak di”hantui” oleh masa lalu.
Namun kini, janji tinggal lah janji. Jendral-jendral besar dan pasukan penembaknya masih bisa bebas menghirup udara segar tanpa khawatir akan penegakan dosa yang mereka emban 19 tahun lalu.
Dalam orasi singkatnya, Arie Kriting berpendapat bahwa apa yang hari ini kebebasan yang kita rasakan adalah buah hasil perjuangan rekan-rekan korban pelanggaran HAM.
“Saya hari ini bisa jadi komika, bisa ngomong ini itu bebas karena perjuangan teman-teman pasa 1998. Tapi sayangnya sampai hari ini mereka (korban tertembak) masih belum mendapatkan hak keadilan.”
Dalam menanggapi pengukuhan Aksi Kamisan dalam MURI, ia memberi apresiasi terhadap para pejuang yang selalu hadir setiap hari Kamis dalam rentan waktu 10 tahun non-stop. Disisi lain ia juga menyayangkan tentang sikap pemerintah yang dinilainya gagal menunaikan salah satu fungsinya sebagai penegak hukum.
“Untuk penghargaan ini saya bingung bagaimana merasakannya. Disatu sisi saya apresiasi perjuangan ibu-ibu (korban kejahatan HAM), di sisi lainnya saya sedih sampai 10 tahun belum selesai juga perkara ini. Jangan sampai ada peringatan Kamisan yang ke-20 tahun.” tutupnya