Assalaamu’alaikum Oktober!
Bolehkah aku menyapa meski penghujung akhir Oktober ini mendung pekat?
Berkelabu dihujani tetes-tetes kemunafikan petinggi negeri berpangkat. Bertakhta di atas derita-derita rakyat. Lalu terbahak bersama gelimang harta tuk digelari hebat.
Pagi berkabut terhenti sejenak di tanggal 28 bulan ini. Sekitar seminggu sebelumnya reformasi 98 seolah terulang kembali. Indonesia krisis demokrasi. Pembelaan tentang nasib rakyat berakhir bui. Para pembela berwujud pemuda ditahan polisi. Dihantam batu tanpa hati. Yang bertugas mengayomi malah berbuat anarkis tak bernaluri. DARURAT. Satu kata itu layak tuk menggambarkan negeri ini. Negeri yang seharusnya menjadi nirwana bumi. Kini berubah garang berlautkan korupsi.
Hhh… kenangan di tanggal 28 ini membawa diri kepada kisah usang di masa lalu. Sebuah cerita sederhana bertokohkan para pemuda satu tuju. Semangat juang, tetes darah, bahkan nyawa. Segala pengorbanan diikhlaskan tulus demi kibaran Sang Merah putih merdeka bebas di udara. Dibantu angin untuk gerak indahnya. Lalu dibantu langit untuk pemanis latarnya. Lengkap dengan bahasa, bangsa, dan tanah air yang berbeda namun satu jua.
Berselang 17 tahun jaraknya dari 1928. Akhirnya apa yang ditanam dapat dituai juga. Tahun 1945 Indonesiaku terbebas dari penjajah. Semua nyawa dan harapan jadilah tak sia-sia. Namun lidah ini seakan kelu tuk berkata “merdeka”. Sebab yang dikata tidak sesuai dengan apa yang dirasa.
Sekarang pun rasanya masih sama seperti dulu, TERJAJAH. Bedanya, perkembangan zaman membuat Si Penjajah bersembunyi di balik pejabat berdasi.
Dan tepat di hari ini, Sabtu 28 Oktober 2017 para pemuda dari generasi baru berkumpul di bawah satu atap yang sama. Berbalut almamater hijau kebanggaan untuk Sang NKRI kesayangan. Semoga apa yang sedang dipelajari saat ini dapat berguna untuk bangsa di masa depan nanti. Memang terbilang sebuah mimpi, tapi suatu cita yang tercapai haruslah diawali dengan mimpi.
Apa yang kami beri memang belum seberapa. Terkhusus lagi diri ini. Setidaknya kami izin mencoba berkontribusi lewat karya. Agar tersampai maksud kepada mereka. Ya, mereka para wakil rakyat Indonesia. Bahwasannya pemuda bukanlah singa liar yang lepas dari hutan belantara. Lalu, tiba-tiba menyerang dengan ganasnya. Bukan, bukan seperti itu maksudnya.
Kami hanya ingin bersuara. Mewakilkan sesiapa saja. Khususnya rakyat yang masih bungkam terpaksa.
Tapi mengapa pemuda kami malah disiksa? Hingga darah terus menghujani tubuh dengan perihnya.
Di mana telinga para petinggi ketika kami bersuara menuntut hak dan bukti nyata? Di mana mata (terkhusus mata hati) para petinggi ketika masih banyak rakyatnya miskin dan semakin menderita? Bukankah telinga dan mata para tuan masih berfungsi dengan baik?
Tuan-tuan sekalian terlalu mengutamakan nafsu pribadi di atas derita rakyat dan tanggung jawab tuan sendiri. Padahal sejatinya tanggung jawab itu akan dipertanyakan oleh-Nya di akhirat nanti.
Untuk itu, sudah menjadi tanggung jawab para pemuda agar bergerak, khususnya para mahasiswa. Karena di atas pundak mahasiswa terdapat amanah besar dari rakyat. Mari, semangat bermanfaat! Tebar manfaat agar sumpah pemuda bukanlah sekadar sumpah, melainkan bukti nyata yang tidak kelabu.
Oleh: Nurkhalifah Tri Septiyani