Tulisan yang berangkat dari kesadaran dan keresahan penulis mengenai kondisi kampus UNJ saat ini dan juga menanggapi beberapa tulisan dari kawan-kawan mahasiswa yang menyuarakan sejumlah aspirasi demi mewakilkan kegelisahan sekaligus kekecewaan yang dirasakan oleh civitas akademika UNJ.
Melihat kenyataan kampus dengan banyaknya permasalahan yang ada membuat hati ribuan mahasiswa tergerak untuk melakukan tindakan nyata yang representatif, dibalut dalam nuansa kultural yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dimuka umum. Berasal dari latar belakang dan ideologi berbeda yang kemudian bersama-sama menenggelamkan ego pribadi ataupun golongannya hanya untuk mengangkat dan membela kembali hak-hak masyarakat kampus dengan sebuah gerakan integritas pembaharuan yang disebut Forum Militan Independen.
Apresiasi penulis tertuju kepada mahasiswa yang memiliki ide brilian untuk membuat gerakan pembaharuan dari gerakan-gerakan mahasiswa yang sudah-sudah. Sebagai bentuk refleksi gerakan dari waktu ke waktu. Selain itu penulis juga mengapresiasikan gerakan ini sebagai bangkitnya literasi mahasiswa dalam melestarikan budayanya (baca, tulis, diskusi) yang semakin terkikis seiring berjalannya era.
Dengan adanya suntikan hangat oleh tulisannya Pak Ubedilah Badrun lalu beberapa tulisan lain yang tak bisa disebutkan nama penulisnya satu persatu dapat membangkitkan kembali budaya literasi kampus yang sempat tertidur pulas. Kemudian kita lihat semakin banyaknya wadah diskusi, mulai dari yang kecil ke yang besar, ringan ke yang berat. Antusiasme mahasiswa pun mengalami perkembangan, dari yang ikut-ikutan teman menjadi inisiatif pribadi untuk ikut kajian.
Lalu, apa yang sebenarnya sedang digelisahkan?
Kita sama-sama tahu, bahwa kampus sudah tidak sehat, terlihat dari banyaknya keresahan yang dirasakan masyarakatnya (saya katakan masyarakat karena banyak komponen di kampus yang ikut merasakan) . Sebagai mahasiswa, penulis juga merasakan hal yang sama. Terlebih lagi mengenai hal yang bersifat sensitif seperti hak dan kewajiban.
Yang sangat disedihkan lagi adalah bahwa kenyataannya, kampus ini sudah melupakan esensi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bagaimana kita mengamalkan poin ketiga, pengabdian masyarakat, jika Kuliah Kerja Nyata (KKN) saja menjadi opsional. Bagaimana mengaplikasikan poin kedua, penelitian, jika sarana prasarana kampus pun tak ikut diprioritaskan, akses mahasiswa mencari sumber-sumber pengetahuan dari buku, jurnal, dsb terbilang sedikit.
Contohnya di jurusan saya, Manajemen Pendidikan S1 itu sedang mengumpulkan beberapa jurnal penilitian yang kemudian dibuat repository online untuk memudahkan mahasiswa mencari bahan penulisan skripsinya. Ada juga kawan saya, mahasiswa di jurusan Pend. Luar Biasa yang rela-relaan ke Bandung untuk mencari sumber buku dan beberapa jurnal yang konsen pada penelitian mereka, katanya memang di perpustakaan kampus UNJ sedikit sekali buku dan jurnal penelitian yang berkaitan pada fokus pendalaman di jurusannya. Lalu bagaimana kita bisa mengimplementasikan poin pertama, pendidikan, jika pada kenyataannya demokratisasi kampus telah ditebang. Bagaimana kita bisa menuangkan ide dan gagasan dari hasil buah pemikiran, kalau lagi-lagi, suara kita ketika ingin menunjukkan rasa dibungkam.
Namun di samping itu, jika kita merenungkan kembali, kita akan mengerti bahwa kampus hanyalah benda mati yang dijadikan penumpahan tuntutan yang berkepanjangan. Kampus hanyalah tempat kita menaruh sebuah impian besar bahwa sederhananya, “jika saya kuliah, saya akan lebih dekat dengan cita-cita”.
Kemudian kita lihat kenyataannya. Saya ambil contoh seperti UKT rasa cabai (harga tinggi) yang tidak jelas transparansinya. Bagaimana kita bisa fokus pada pencapaian cita-cita tapi setiap semesternya kita selalu dikhawatirkan: “apakah kita bisa kuliah lagi atau tidak?”
Pada permasalahan lain, ada program perkenalan kampus kepada mahasiswa baru, kita sebut Masa Pengenalan Akademik disingkat MPA. Perspektif penulis tertuju kepada mahasiswa baru. Mungkin ini tidak dirasa secara langsung, tapi jika program itu terjadi ditahun ini akan berdampak bisa mengkerdilkan hasrat mahasiswa baru untuk mengasah potensi dan minat mereka dalam berenang-renang menyelami keindahan organisasi atas dan bawah laut (kampus). Yang paling dikesalkan lagi adalah, tidak mengherankan bahwa nantinya akan banyak mahasiswa yang bertanya, “Kak, katanya ada Tim Aksi Fakultas ya? oia, itu apa ya Kak?” (tiga bulan setelah MPA)
Disamping permasalahan besar itu, ada juga permasalahan-permasalahan lain yang tidak kalah besar pula, dan lagi-lagi kita harus memikirkan bagaimana dampaknya bagi generasi penerus nantinya. Memang untuk saat ini masih belum amat dirasakan, namun jika kedepannya terus dibiarkan menjadi kebiasaan, diyakini dan disepakati bersama (baca: budaya), maka matilah kampus kita sebagai kampus perjuangan.
Nah, lagi-lagi penulis berpikir apa yang salah pada kampus kita, bahwa hakikatnya kampus hanyalah benda mati; usang; sempit. Berarti, logika pendeknya, jika kampus UNJ hanyalah benda mati tak memiliki nyawa, itu berarti ada yang menggerakkannya, itu berarti kampus kita memiliki sistem yang menghidupkan benda-benda mati didalamnya.
Sederhananya, kampus kita hidup karena manusianya. Manusianya ialah orang-orang yang memiliki fungsi sebagai penggerak dan pengontrol; pengingat dan pengkritik; membangun dan mempertahankan dari apa yang sudah dibangun. Dengan kata lain, mati hidupnya kampus ada ditangan kita, manusia.
Mati-hidupnya kampus tidak hanya di tangan petinggi kampus saja, seperti Rektor dan jajarannya. Namun disatu sisi, mahasiswa juga dianggap penting untuk menjadikan kampus lebih hidup dan dinamis, merumuskan sistem secara terintegritas dari berbagai komponen dengan merancang dan memformulasikan berbagai peraturan, kebijakan, serta budaya kampus. Sesederhananya saja mahasiswa diikutsertakan dalam membuat Statuta kampus.
Penulis merasakan pada saat ini, kita, civitas akademika UNJ, sedang berada pada keadaan dimana tak ada yang mau disalahkan, siapa yang menyalahkan siapa, siapa mencari kesalahan dari siapa, siapa disalahkan siapa, dan bahkan ada suatu hal yang benar menjadi salah. Membingungkan memang, tapi mau bagaimana lagi.
Akhirnya banyak rentetan tulisan yang mengkritik baik itu kebijakan-kebijakan kampus, program-program, bahkan individu orang. Sudah sewajarnya hal ini perlu viralkan secara masif sebagai bentuk pemberontakan dari suatu otoritas kekuasaan dan kepedulian bersama dalam konteks masyarakat yang memanusiakan.
Namun yang penulis takutkan adalah bagaimana jika tidak ada solusi dari ini semua. Ketika banyaknya keresahan yang dituangkan ke dalam tuntutan dengan bentuk aksi demonstran kepada pimpinan kampus sudah terselesaikan, apakah yang akan dilakukan oleh kita selanjutnya? Mengingat bahwa setiap proses perubahan membutuhkan waktu yang tidak sebentar atau sekejap jadi.
Di sisi lain, apakah tuntutan ini akan benar-benar diproses oleh pemegang kebijakan tinggi kampus dengan tujuan percepatan kearah perubahan yang diinginkan masyarakatnya atau tidak? Seperti tindak lanjut dari aksi kampus ditahun-tahun kemarin misalnya, apakah kita (mahasiswa) merasakan secara sadar dari impact aksi tersebut , sebut saja Aksi Mahasiswa Bersatu 2016 dengan Tujuh Tuntutan Mahasiswa.
Banyak yang kita keluh kesahkan, banyak yang kita ingin lakukan, banyak yang akan kita benahi, tapi apa gunanya jika kita masih tidak bisa komitmen pada ucapan dan perbuatan. Apa gunanya kalau komitmen kita tidak diiringi dengan sikap konsistensi tinggi.
Karena penulis kira permasalahan ini walau biar menjadi permasalahan bersama, namun ada beberapa permasalahan individual diluar kepentingan forum. Dampaknya ada beberapa diantara mahasiswa yang tadinya mengatakan secara lantang melawan kedzoliman dari otoritas kampus namun gugur ditengah jalan, lantaran ada kesibukan lain yang membuat mereka tidak bisa konsisten dalam jalan juang ini. Semoga saja tidak.
Maka dari itu, tak ada salahnya, dan tak ada buruknya kalau kita tidak membatasi diri dalam membangun kampus yang lebih baik dan benar kearah yang diharapkan. Ketika kita mengharapkan adanya suatu peradaban tinggi di kampus, namun lihatlah apakah kita sudah beradab?
Ketika kita menginginkan adanya transparansi UKT serta administrasinya di informasikan, namun dilihat lagi apakah kita sudah menjalin komunikasi bersinergi dengan birokrasi kampus? se-intensif apa? Kalau memang birokrasi terlalu mentutup-tutupi, apakah usaha kita sampai disitu saja?
Ketika kita menggaungkan tentang hak mengutarakan pendapat di UNJ sebesar-besarnya, namun apakah diri ini sudah menjadi pendengar yang baik bagi kawan-kawan kita? Ketika saya mengikuti seminar tentang Manajemen Kebahagiaan Diri dari Kelompok Bimbingan Konseling Remaja disingkat KBKR, ada salah satu hal yang menarik, yaitu bahwa tingkat tersulit dalam memberikan bimbingan dan konseling itu berada pada bagaimana kita menjadi pendengar yang baik bagi orang-orang yang ingin bercerita, disamping adanya kewajiban untuk memahami apa yang mereka rasakan.
Maka dari itu, yang penulis harapkan dari aksi ini nanti adalah bergeraklah karena kesadaran diri bahwa kita juga manusia kampus yang memiliki andil besar sebagai penggerak dan pengontrol; pengingat dan pengkritik; membangun dan mempertahankan apa yang sudah diusahakan.
Hilangkanlah tradisi mengkotak-kotakan tugas dan fungsi, karena jika kita menginginkan para petinggi kebijakan ini untuk membangun kampus yang kita harapkan, tak ada salahnya kita sama-sama bergerak membenahi kampus dengan cara kita. Caranya mahasiswa, cara dosen, karyawan, bahkan cara semua masyarakat kampus tanpa terkecuali.
Kemudian muncul pertanyaan, apa perannya mereka, pejabat tinggi kampus?
Sebenarnya yang kita lakukan sudah benar. Jika memang terindikasi bahwa mereka salah, kita patut Lawan. Namun disatu sisi, kita tidak mau menjadi ikut-ikutan salah juga kan? karena lantaran kita membiarkan keadaan buruk terjadi dikampus ini.
Contoh kecilnya, ketika banyak mahasiswa merisaukan banjir UNJ yang tak teratasi, banyak mahasiswa yang berkeluh kesah akan hal itu namun sendirinya membuang sampah tak pada tempatnya. Kemudian di bagian lain, walau secara pribadi saya merasa sangat kecewa adanya penebangan habis pohon perindang di belakang gedung Daksinapati, namun di sisi lain anak Pend. Luar Sekolah angkatan 2014 tengah membuat program farming di area taman belakang gedung, sebagai pemenuhan tugas mata kuliah dan membudayakan pelestarian penghijauan fakultasnya. Kemudian juga fakultas-fakultas lain yang konsen dalam hal ini.
Dan terakhir pesan penulis kepada para pembaca, khususnya bapak-ibu pejabat tinggi kampus. Dengan sangat hormat, kami, masyarakatmu tengah menjawab apa yang sebenarnya kampus butuhkan. Kampus membutuhkan manusia dengan bukti, bukan janji. Maka dari itu, kami, masyarakatmu tengah membuktikan bahwa kami tidak hanya memberikan kritik, namun solusi konkrit. Jika memang pemimpin adalah cerminan rakyat, apakah itu benar? Jika memang benar, salahkah kami jika kami membutuhkan pemimpin yang bisa memberikan bukti, bukan janji?
Seperti halnya kalimat bijak berbunyi:
“memberitahukan yang terbaik adalah dengan mencontohkan”
Oleh: Alvyn N Mahmaris