“Memberitahu yang baik itu adalah dengan mencontohkan” -Sebuah kalimat dari alumni kami saat mengisi materi di acara Pembekalan Pengabdian Sosial mahasiswa prodi Manajemen Pendidikan.
Belajar; bukan berarti kita hanya menimba ilmu di dalam ruang kelas saja. Bukan hanya kita konsentrasi pada bidang pelajaran dan fokus pada teks bacaan yang berisikan wawasan ilmu pengetahuan, atau mencari tempat ternyaman untuk mencerna apa yang dipelajari. Makna belajar itu bisa diartikannya sangat luas. Bisa dilihat dari perspektif manapun, dan ini sangat menarik.
Seperti halnya seekor anak burung yang melihat induknya terbang.
“Bagaimana ibu bisa terbang?”
(Induknya hanya tersenyum, kemudian terbang lagi mencari makanan)
“Issh, ibu mah ditinggal lagi aku”
Setiap hari ia selalu memperhatikan, mengamati, dan bertanya-tanya bagaimana cara terbang. Sampai ia mempunyai keinginan untuk bisa terbang seperti ibunya.
Bagi seekor burung: mereka tidak membutuhkan buku bacaan, ruangan yang kondusif supaya fokus belajar, dan biaya yang dibayarkan untuk bisa terbang. Namun dimulai dengan ‘memperhatikan’ saja ternyata bisa menimbulkan rasa ingin tahu dalam dirinya.
Pada dasarnya, sangat sulit untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri kita. Rasa ingin tahu itu tumbuh dari apa yang kita lihat-dengar-rasakan. Kemudian otak kita mulai merancang struktur pertanyaan yang tepat terhadap peristiwa yang kita lewati itu.
Sewaktu kita sekolah dulu misalnya. Wajar saja kalau kita mengetahui konteks belajar itu ialah hanya di dalam kelas, mengerjakan PR dirumah, dan belajar dengan menggunakan metode SKS (Sistem Kebut Semalam) saat ujian datang. Namun ketika kita memasuki dunia kampus yang konon katanya “bisa mencetak sarjana-sarjana muda maupun tua yang terampil, cakap, beriman dan sejahtera” itu sudah sangat berbeda dibandingkan pada waktu sekolah dulu. Terlihat dari bagaimana cara kita memaknai maksud belajar itu sendiri.
Apa yang ada di bayangan kita jika burung bisa berbicara bahkan berpuisi layaknya penyair dan kita bisa terbang mengelilingi angkasa, menembus awan kemudian awan lagi seperti burung? Waaah! Tidak usah dibayangkan. Tapi cukup kita renungkan. Bahwa sekarang ini sudah ada teknologi yang diciptakan oleh ilmuan agar manusia dapat berpindah tempat dengan cepat tanpa melalui jalur darat maupun laut, menembus awan dan mengelilingi angkasa luas. Dengan kata lain, manusia bisa terbang!
Adanya ilmuan yang menciptakan suatu penemuan mutakhir itu berawal dengan memperhatikan sekelilingnya. Mereka mencermati bagaimana burung itu bisa terbang bermil-mil jauhnya dan bisa terbang tinggi sekali. Akhirnya timbul pertanyaan: Jika manusia memiliki kemampuan berpikir melebihi mahkluk hidup lainnya, mengapa manusia malah kalah dengan burung dalam urusan terbang?
Praduga ini kemudian muncul. Mungkin burung itu bisa saja lebih pandai daripada manusia ; atau mungkin saja burung itu memang tidak bisa terbang, tapi usahanya yang membuat burung itu bisa. Mungkin saja, kan masih praduga.
Tapi jika dugaan itu memang benar, kenapa manusia yang sudah memiliki kemampuan berpikir diatas mahkluk hidup lainya masih sukar untuk belajar, atau yang sudah belajar masih jauh dari kata yang disebut berhasil? Kata kunci nya ada pada keingintahuan manusia akan sekitarnya. Secara patennya kita menanamkan pada alam bawah sadar kita kalau belajar hanya dibatasi ruang, gerak, waktu, dan kemungkinan.
Kita masih sangat dini untuk membahas makna belajar yang sesungguhnya. Karena belajar itu berlangsung terus menerus selama hidup kita. Dengan kata lain, “Belajar Untuk Hidup”. Jika kita sudah mengerti dan mengetahui hal itu sedini mungkin, itu berarti pemahaman kita masih sama seperti anak burung di dalam sarang yang belum bisa terbang. Karena nyatanya kita sampai sekarang masih belum tahu arti hidup kita untuk apa. Rasa ingin tahu kita hanya sebatas perspektif pribadi sebagai manusia melihat dunia, tapi kita tidak merasakan perspektif-perspektif lain dari mahkluk hidup selain kita di dunia ini.
Bahwa belajar kita masih sebatas apa yang kita pelajari, bukan kenapa hal itu bisa terjadi. Kita masih berlomba-lomba untuk menjadi peringkat pertama, tapi kita tidak tahu untuk apa kita lakukan itu semua. Kebanggaan kita hanya pada hasil yang kita raih, tapi tidak berasal dari proses yang kita lakukan.
Jangan heran jika nantinya kita melihat peraih olimpiade matematika tingkat nasional tapi disuruh jaga warung sama ibunya saja sulitnya minta ampun. Padahal untuk urusan hitung-menghitung mereka lebih handal dibanding anak putus sekolah yang merelakan masa sekolahnya selama 12 tahun hanya untuk menjaga warung demi membiayai tempat tinggal keluarganya dari makelar tanah.
Atau kalian boleh mempertanyakan, kenapa ayah melarang kita merokok tapi sendirinya masih merokok?
Kalian boleh mempertanyakan kepada anak-anak sekolah elite, kenapa di dalam kelas mereka sudah belajar mata pelajaran Sosiologi, nilainya A+ saat ujian dan tanpa nyontek tapi masih menjadi manusia paling ansos (anti-sosial) di RT/RW nya?
Mau sampai kapan kita tetap kalah dengan anak burung itu yang sekarang sudah bisa terbang dan mempunyai sekawanan burung pada tiap pepohonan yang berbeda. Bahkan kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan sekarang.
Kawan…
Bukan waktunya lagi kita selalu dimanja, dibuatkan bekal, dan diberi uang jajan tiap hari/bulannya. Sebagaimana kita itu bukan anak kecil lagi. Seharusnya kita sudah bisa masak sendiri, dan kita sudah bisa menabung walau seribu sehari.
Karena pada hakikatnya kita masih belajar menjadi manusia seutuhnya. Bukan hanya dalam kelas, buku teks bacaan, atau mengikuti perlombaan kejuaraan kelas saja. Tapi lebih dari itu. Kita masih memiliki waktu banyak untuk terus belajar melihat sekeliling kita.
Sebagaimana kita masih bisa belajar dari mereka yang tidak belajar dikelas; masih bisa belajar dari bayi yang baru lahir bahwa betapa hebatnya ia terus berjuang untuk bisa terlahir di dunia; dan kita masih bisa belajar dari kecoa ataupun jenis serangga menjijikan lainnya bahwa betapa sabarnya mereka menjalani hidup sebagai hewan yang sering dihina, diusir bahkan ingin dibunuh.
Kuatkan tekad bahwa kita ini masih belajar, terus belajar, dan tak pernah bosan untuk belajar. Sampai kita suskes pun tak ada yang menyalahkan kita untuk terus belajar. Seperti halnya pepatah lama mengatakan, “Semakin padi berisi, semakin merunduk”. Semakin kita belajar banyak hal, semakin banyak hal lain yang kita tidak tahu.
Dan hebatnya, kita bisa belajar dari apapun. Selagi kita masih memiliki kepekaan yang tinggi terhadap alam dan seisinya. Hasil dari belajar kita adalah sebuah renungan. Kita merenung bahwa betapa mulianya manusia di mata Tuhan, bahwa betapa kecilnya kita dibandingkan semesta, dan betapa banyak air mata yang selalu menetes ketika tangan ini menengadahkan doa memohon ampun padaNya. Seperti halnya aku yang masih belajar menulis tulisan ini.
Salam Mahasiswa Semester 5,
Alvyn Naufal Mahmaris