Tulisan ini adalah balasan untuk tulisan Andi Ryansyah Reporter Didaktika Jadi Humas Penguasa

Salam kawan Andi Ryansyah,

Saya sangat mengapresiasi pendapat kawan Andi. Sebenarnya hal seperti ini yang saya dan penggawa didaktika lainnya tunggu. Mengenai tulisan opini saya, sebelumnya saya sudah jelaskan bahwa posisi didaktika adalah hanya membela kebebasan berpendapat dan mendorong terjadinya demokratisasi kampus, baik rektorat maupun kelembagaan mahasiswa.

Jadi, kami tidak pernah menyatakan baik secara implisit maupun eksplisit bahwa kami lebih condong ke rektorat dan menyatakan setiap yang Badan Eksekutif Mahasiswa katakan adalah salah, terutama pernyataan bahwa BEM meminta maaf. Toh, tulisan yang dibuat oleh reporter didaktika lainnya tetap mengkritisi kebijakan kampus. Contohnya http://www.didaktikaunj.com/?p=6048 dan http://www.didaktikaunj.com/?p=6155 .

Itu merupakan gagasan tulisan Andi kepada kami. Berdasarkan hal tersebut, kawan Andi menyatakan bahwa didaktika terutama saya pribadi bekerja sebagai humas untuk penguasa—dalam hal ini rektorat. Bagi saya tuduhan tersebut sangat prematur dan kekanak-kanakan. Sikap kritis bukan hanya tertuju pada penguasa semata, melainkan ditujukan kepada siapa pun. Jika, didaktika mengkritisi BEM, kemudian hal itu dianggap pro-terhadap rektorat artinya telah terjadi sikap anti-kritik di dalam tubuh BEM dan tentu hal itu menunjukkan matinya sikap demokrasi di dalam tubuh BEM—ini asumsi jika kawan Andi merupakan salah satu anggota BEM.

Saya tidak akan bahas masalah bahasa yang kawan Andi permasalahkan, sebab yang ada hanya perdebatan interpretasi seperti pengacara mengintepretasikan undang-undang dan selalu bisa multi tafsir. Oleh sebab itu, saya akan lebih memilih hal yang lebih substansial daripada perkara interpretasi teks. Yakni terkait yang anda permasalahkan, kawan Andi menolak anggapan bahwa BEM meminta maaf.

Saya akan lebih membiacarakan sikap. Jika BEM UNJ menolak meminta maaf, maka yang seharusnya terjadi seperti empat mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Mereka dengan tegas menolak meminta maaf dan menandatangani surat pernyataan yang telah disediakan oleh rektorat. Saya apresiasi sikap mereka, konsisten berjuang. Bahkan kalau bisa, BEM UNJ mestinya belajar tentang perjuangan kepada mereka. Salah satu dari mereka mengutip pernyataan WS Rendra, “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”

Toh, kalau kawan Andi melihat surat yang dibuat oleh rekorat untuk beberapa mahasiswa lainnya yang terancam DO, tercantum kalimat dengan ini “saya menyatakan bersalah dan meminta maaf.” Surat tersebut beredar setelah Ronny islah dengan rektorat. Dengan demikian, surat dengan kata-kata tersebut tidak mungkin ada, jika tidak ada kejadian yang serupa sebelumnya. Merujuk kejadian itu rektorat merasa menang serta merasa dapat memperlakukan hal yang sama kepada mahasiswa lainnya.

Jika cara sebelumnya berhasil, maka selanjutnya akan menaklukan dengan cara yang sama. Persis seperti pemerintah kolonial, menaklukan perlawanan rakyat Indonesia dengan cara yang sama di setiap daerahnya yakni devide et impera. Saya rasa cukup, penjelasan untuk Bung Andi, jika masih merasa kurang saya siap menerima tulisan dari Bung Andi lagi. Tabik.

Virdika Rizky Utama

Categorized in: