Merekam Aksi Mahasiswa UNJ 30 Mei 2016
“Apakah sebangsamu akan kau biarkan terbungkuk-bungkuk dalam ketidaktahuannya? Siapa bakal memulai kalau bukan kau?”
-Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah
Ribuan mahasiswa itu memenuhi gedung-gedung kampus. Orasi dilayangkan, gerendang digaungkan. Kampusku hari ini ramai sekali. Keramaian itu hadir bukan karena ada pejabat politik isi ceramah di Masjid, bukan juga karena ada syuting sinetron di dalam kampus. Raisya dan Isyana datang? bukan. Lautan manusia itu menyusuri tiap sudut kampus; fakultas, tongkrongan, tempat ibadah dan kelas-kelas, semua mereka masuki, mereka santroni. Solidaritas! Mereka katakan solidaritas, karena izin satu hari tak masuk kelas jauh lebih baik dibandingkan terus menerus mendiamkan kezhaliman terjadi. Mereka membentangkan spanduk, mengepalkan tinju ke langit, juga memegang bendera kuning sambil berucap; Inalillahi Wa inalilllahi Rojiun, buat Universitas Negeri Jakarta. Kampus kembali menaikan UKT di tahun 2016, juga mencederai prinsip UKT itu sendiri. Tunggal ada Uang Pangkal sebesar 15 Juta, dimana logikanya? dimana tunggalnya? UNJ berduka, ribuan mahasiswa bersorak-sorai, merayakan kematian nurani petinggi kampus yang sudah sekian kali menutup akses orang susah untuk berkuliah.
Suasana yang amat terik mendadak mendung ketika ribuan mahasiswa UNJ sampai di depan Gedung Rektorat. Hamparan langit yang kelabu seperti berpesan; alam semesta sedang menangis melihat segala bentuk ketidakadilan di atas bumi, Maka kalaupun bumi ini berguncang, keadilan harus tetap ditegakkan. Ribuan mata dengan sorotan tajam tak bersuara menatap orator dan gedung di hadapan mereka. Bendera Kuning dilambaikan, deretan bendera di depan Tugu UNJ diturunkan setengah tiang; bendera Indonesia, Universitas sampai Fakultas. Indonesia berduka, sorotan mata dan suara itu bertanya, mengapa orang-orang susah tak pernah diberikan kesempatan untuk sekolah dan berkuliah? Mereka yang ada di dalam gedung-gedung itu seharusnya bisa ingat, dulu mereka bisa kuliah karena apa jika bukan karena murah? Untuk kesekian kalinya, janji kemerdekaan telah dikhianati oleh para pejabat di negeri ini sendiri.
Dengan dalih otonomi kampus, negara telah menarik kewajibannya dan tak lagi mau bertanggungjawab dalam membiayai pendidikan. Semua itu bisa terjadi karena pembangunan Indonesia menginduk pada agenda neo-liberal, yang tujuan besarnya adalah membebaskan negara dari kewajibannya memenuhi hak-hak warga dalam memperoleh pendidikan yang layak, mendapatkan layanan kesehatan, mengakses sumberdaya alam, serta hak-hak dasar lainnya, atas nama demi kepentingan pasar bebas! Jangan heran ketika melihat sumberdaya alam di negeri ini tak mampu kita kuasai, serta melihat rumah sakit dan pendidikan yang harganya mahal sekali. Menyerahkan pendidikan kepada mekanisme pasar sama halnya dengan memberikan bayi kepada seorang kanibal.
Kini status UNJ adalah BLU (Badan Layanan Umum), ketimbang lembaga pendidikan, UNJ lebih mirip dengan perusahaan dagang. Dengan Status BLU, UNJ ada di bawah kendali Kementrian Perdagangan. Sikap para petinggi negara yang telah menyulap pendidikan menjadi barang komoditas adalah sebuah pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan. Meminjam pendapat Darmaningtyas dalam buku Melawan Liberalisme Pendidikan;
“Dimasukannya pendidikan ke dalam daftar bidang usaha (yang terbuka untuk penanaman modal asing) secara eksplisit mendeklarasikan bahwa pendidikan bukan merupakan hak warga negara, melainkan sebagai bidang jasa yang diperdagangkan. Ini sungguh-sungguh pengkhianatan terhadap konstitusi negara secara legal formal.”
Ketika ada orang yang menggunakan paradigma bahwa pendidikan itu harus bayar, tanpa sadar orang itu terjebak dalam paradigma liberal. Mereka bukan lagi melihat pendidikan sebagai hak dasar tiap manusia, melainkan melihat pendidikan sebagai komoditas, sebagai barang yang bisa diperjualbelikan. Sekolah dan tempat kuliah makin mirip seperti jalan tol; siapa yang bayar maka ia yang diberikan jalan. Dengan dalih subsidi negara yang menurun akibat otonomi kampus, UNJ kembali menaikan biaya kuliah dan menerapkan Uang Pangkal di tahun 2016. Maka aksi hari ini menjadi jawaban dari mahasiswa yang tak mau lagi menjadi korban dalam agenda liberalisme pendidikan.
Di atas mimbar orasi depan Gedung Rektorat, seorang mahasiswa bersuara dengan lantang: “Kini kita kembali mendatangi Gedung Rektorat setelah kampus dibuat mati pasca kasus Drop Out Ketua BEM! Saya katakan kepada orang-orang yang ada di dalam gedung ini, bahwa hari ini mahasiswa UNJ sudah tidak takut lagi dengan ancaman Drop Out!” Teriak lelaki itu dengan orasi sederhana yang ditutup dengan pembacaan sajak perlawanan. Di kampus ini orang yang mengkritik bisa menjadi kriminal, mahasiswa yang bersuara bisa dengan mudah diberhentikan status kemahasiswaannya.
Aku terlarut di dalam aksi hari ini, sambil berpikir sejenak kenapa sekarang aku ada disini? Bukankah seharusnya aku ada di dalam kelas, kuliah dengan wajar, menatap proyektor, ber-IPK tinggi biar kelak aku tak lagi susah bayar kuliah dan mampu hidup secara wajar? Bukankah dosen-dosen di kelas serta mahasiswa-mahasiswi di kantin mengajarkan kita kalau tak mau terbebani kuliah mahal lebih baik kuliah yang benar agar cepat lulus dan terhindar dari biaya kuliah yang mahal?
Aku pernah hampir ditolak oleh UNJ ketika baru saja diterima melalui jalur seleksi karena tak mampu membayar UKT di awal kuliah. Aku hampir saja tak bisa berkuliah jika saat itu orang-orang terdekatku tidak membantuku membayar UKT di tahun 2012. Maka aku katakan kepada orang-orang yang melarang kita untuk terlibat aksi hari ini; tidak! Aku tidak akan berdiam diri di dalam kelas. Aku pernah merasakan sulitnya membayar uang kulliah, maka aku tak akan membiarkan mimpi anak-anak lain yang ingin berkuliah terbengkalai hanya karena mereka tidak bisa membayar. Aku harus tetap ada di dalam barisan ini, aku harus ada di dalam aksi ini agar kelak pendidikan bisa dirasakan oleh semua orang, agar kelak tidak ada lagi anak-anak yang bernasib sama denganku; terbebani biaya kuliah yang besarannya tak manusiawi! Bagiku, prestasi itu bukan tentang pencapaian diri sendiri, tak sesempit pencapaian indivual, prestasi adalah ketika kehadiran kita di dunia ini dapat dirasakan oleh orang lain. Beruntunglah mereka yang ada di dalam aksi hari ini, tandanya mereka masih punya rasa, masih punya cinta. Berbahagialah kalian, karena nyatanya tak semua orang memiliki itu.
Jauh sebelum hari ini, dua bulan lebih aku dan kawan-kawan lain berkumpul dan bicara soal nasib mahasiswa. Di pelataran kampus, di bawah pohon rindang, di ruang-ruang terbuka, berdialog dengan mahasiswa dari satu fakultas ke fakultas lain. Tujuan kami sama: Pendidikan untuk semua. Kita meyakini bahwa pendidikan adalah salah satu jalan yang mampu mengeluarkan bangsa ini dari lubang keterbelakangan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Eko Prasetyo: melalui pendidikan, negara kita akan mendapatkan komunitas masyarakat yang jauh lebih cerdas dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Kecerdasaan masyarakat merupakan elemen terpenting bagi kemandirian suatu bangsa. Lewat kecerdasan dan daya kritis masyarakat maka kita dapat mendorong munculnya keputusan yang kritis, berani, dan cermat. Bekal pendidikan ini yang membuat masyarakat tidak mudah dibohongi oleh pejabat atau menteri kita yang mengatakan kalau tidak ada hutang maka bangsa ini bisa tenggelam.
Maka hari ini seperti puncak kekecewaan mahasiswa terhadap sikap para petinggi kampus yang tak lagi mau mendengar. Kerap kali orang-orang yang ada di dalam gedung ber-AC itu menutup mata dan telinga mereka terhadap fenomena mahasiswa miskin yang putus kuliah karena tidak bisa membayar. Namun, pemimpin tertinggi kampus sepertinya terlalu takut dengan mahasiswa. Ia enggan menemui massa. Ini merupakan bukti bahwa Rektor UNJ sudah tidak merakyat di kampusnya sendiri. Hari ini, ia lebih memilih menemui pejabat Dikti ketimbang menemui mahasiswanya sendiri. Perlukah kita tanya lagi, Rektor macam apa yang tak mau menemui mahasiswanya?
Makin senja, gaungan orasi semakin keras, suasana semakin memanas tatkala Rektor tak mau menemui mahasiswa. Ribuan tangan mengepal ke atas langit sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang tak memiliki nurani. Lalu Zuhur, Ashar hingga Magrib sudah dilalui, di sela-sela peribadatan mahasiswa, aku meyakini; mereka sama-sama berdoa agar aksi hari ini mampu menelurkan kebijakan penghapusan Uang Pangkal dan penurunan besaran UKT untuk angkatan 2016. Karena memperjuangkan kuliah murah juga merupakan bagian dari Jihad, bagian dari perjuangan menegakan keadilan agar orang-orang tak berpunya juga diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan.
Langit hitam mulai memeluk Bumi. Aksi mahasiswa berlangsung hingga malam hari. Gelapnya malam tak jua membuat ribuan mahasiswa ini mundur dan membubarkan diri. Mereka masih berdiri di hadapan Gedung Rektorat, tanpa takut dengan ancaman penjatuhan sanksi akademik ataupun ancaman Drop Out sekalipun, tanpa satu bendera primordialisme di belakang mereka. Ribuan anak-anak muda itu bersinar bagai seberkas cahaya di malam hari. Mereka adalah orang-orang yang mampu menerangi dunia dari kezhaliman yang nampak. Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, jika angkatan muda mati rasa maka matilah sebuah bangsa. Begitu kata Pramoedya. Soal rasa, soal cinta terhadap bangsa sendiri yang membuat ribuan mahasiswa bertahan hingga malam hari.
Tak lama setalah itu, pejabat kampus keluar dengan tujuan membacakan hasil kesepakatan negosiasi dengan perwakilan mahasiswa. “Uang Pangkal untuk angkatan 2016 ditiadakan, UKT untuk golongan 3 dan 4 tahun ini diturunkan” ucapnya di atas mimbar orasi. Sontak seluruh mahasiswa bersorak sorai, teriakan mereka memecah gelapnya malam. Mereka berteriak bahagia merayakan keberhasilan aksi hari ini. Walaupun beberapa hasil kesepakatan dirasa masih merugikan mahasiswa, namun ribuan mahasiswa tetap bangga dengan pencapaian mereka karena mereka mampu membuktikan bahwa aksi mahasiswa mampu menjungkirbalikan kebijakan agar pro terhadap orang miskin. Mahasiswa UNJ bersepakat bahwa aksi hari ini bukanlah puncak dari segala perjuangan. Nafas harus panjang. Masih banyak permasalahan yang harus sama-sama diselesaikan.
“Malam ini aku bisa tidur nyenyak! mungkin ini yang dulu dirasakan oleh angkatan 98’ setelah berhasil menjatuhkan rezim Soeharto” sahutku kepada seorang kawan. Aku larut dalam teriakan kebahagiaan. Sebagai mahasiswa semester akhir, aku begitu bangga bisa menjadi bagian dari aksi sebesar hari ini yang baru satu kali terjadi di kampus UNJ semenjak aku kuliah disini. Semua ini berhasil karena ribuan mahasiswa mengesampingkan ego dan kepentingan kelompok mereka. Musuh mereka cuma satu; Komersialisasi Pendidikan. Aku sangatlah bangga karena bisa menjadi salah satu orang di dalam barisan yang berhasil menurunkan besaran UKT dan menghapuskan Uang Pangkal. Generasi sekarang memang belum berhasil menghapuskan UKT yang menjerat Pendidikan Tinggi. Tetapi aku yakin, kelak angkatan dan generasi selanjutnyalah yang akan meneruskan perjuangan untuk menghapuskan UKT dan mendorong kebijakan pendidikan untuk semua kalangan. Biar aksi hari ini menjadi peletup semangat dan api perlawanan yang dipupuk ke angkatan selanjutnya. Merekalah yang kelak akan berjuang agar pendidikan dapat dirasakan oleh semua orang, dapat dirasakan oleh semua kalangan.
Ditutup dengan Sumpah Mahasiswa, ribuan anak-anak muda terbaik yang pernah dimiliki Universitas Negeri Jakarta itu membubarkan diri. Wajah puas terlihat dari paras mereka. Dalam diam, aku menatap kerumunan mahasiswa yang mulai membubarkan diri. Sambil berucap kecil, aku katakan kepada mereka; Kawan, jangan pernah lupa hari ini kita pernah berjuang bersama, pernah memenangkan perjuang sama-sama!
Andika Ramadhan Febriansah
Mahasiswa Sejarah UNJ
Anggota SEMERU (Serikat Mahasiswa Perubahan UNJ)