Sedikit ulasan mengenai persepsi berdirinya Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) UNJ ini memang bukanlah terbilang sebagai berita yang aktual, tajam apalagi terpercaya di tengah hiruk pikuk euforia perencanaan pelaksanaan Masa Pengenalan Akademik kampus UNJ tercinta kita saat ini. Tulisan sederhana ini hanyalah sedikit ungkapan pemikiran yang ingin tersampaikan melalui rangkai kata dengan harapan akan dapat dimengerti oleh sang pemegang kepentingan.
Menilik perencanaan dibangunnya Rusunawa UNJ yang katanya didirikan guna membantu mahasiswa UNJ kurang mampu secara finansial serta bertempat tinggal nun jauh dari ibu kota. Dengan sistem sewanya yang terjangkau dan menghemat dari segi transportasi, bangunan dengan luas area 5.000 meter persegi, dan luas lantai sekitar 4.700 meter persegi, terdiri dari empat lantai dengan jumlah kamar 96 unit, unit hunian bertipe 21 meter persegi ini dapat menampung 3-4 mahasiswa per unit, sehingga total kapasitas dapat menampung 384 mahasiswa. Dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi, dan jemuran di tiap lantai hunian, seharusnya Rusunawa UNJ memanglah dapat menjadi solusi baik bagi semua mahasiswa UNJ yang mengalami kesulitan mandapatkan tempat tinggal yang layak dan terjangkau selama menuntut ilmu di bumi perantauan, kampus pendidikan tercinta kita ini.
Yang patut disayangkan adalah realitasnya saat gedung ini telah rampung dibuat, kokoh dengan dua bangunan Rusunawa 1 dan 2 ini berdiri berhadapan, nyatanya keberadaannya tidaklah secara maksimal di peruntukkan untuk “Mahasiswa UNJ” khusunya Mahasiswa di tingkat S1 ataupun D3 yang memang membutuhkan. Pasalnya dikarenakan keterbatasan daya tampung dari Rusunawa itu sendiri. Bangunan yang normalnya dapat menampung 384 penghuni tiap bangunan, hingga tahun ketiga dari disahkannya Rusunawa 2 UNJ sebagai asrama mahasiswa S1 dan diploma ini, nyatanya hanya dapat menampung 96 mahasiswa SI dan D3 di setiap tahunnya.
Pertanyaannya, lantas sebagian besar daya tampung bangunan ini diperuntukan untuk apa gerangan? Tidakkah miris menyaksikan di setiap tahunnya terdapat ratusan mahasiswa baru yang seorang diri rela berada jauh dari keluarga dan sanak saudara berbondong-bondong mandatangi kampus tercintanya dengan harapan besar dapat menempati sebuah gedung yang dijanjikan diperuntukan khusus bagi mahasiswa, namun sebagian besar dari mereka ternyata tidak “terseleksi” lantas kebingungan mencari tempat tinggal yang layak sedang mereka belum mengenal lingkungan kampusnya dengan baik. Dimana letak “membantu mahasiswa” yang semula dijadikan landasan berdirinya gedung hunian bertingkat ini?
Miris memang jika kita bandingkan dengan asrama-asrama mahasiswa di universitas lain yang memang memiliki asrama yang khusus diperuntukkan bagi mahasiswanya. Misalnya saja, UIN Syarif Hidayatullah yang berada tak jauh dari UNJ. Sebagai Universitas yang memiliki komitmen tinggi untuk memfasilitasi tumbuh berkembangnya berbagai aktivitas kemahasiswaaan yang mampu menunjang prestasi akademisnya, UIN Jakarta memberikan kesempatan bagi mahasiswa baru dari semua Fakultas untuk tinggal di Asrama Mahasiswa. Dengan berbagai fasilitas gedung berlantai tiga yang memiliki ruang loby, ruang tamu, kamar mandi, ruang belajar dan kamar tidur, musholla, dan sarana olah raga. Selain fasilitas, ada pula berbagai kegiatan, seperti bimbingan keagamaan, pelatihan bahasa, pelatihan keterampilan berorganisasi dan olah raga bersama, tentunya semua mahasiswa penghuni asrama ini akan mendapatkan pembinaan keagamaan, pelatihan kepemimpinan dan pelatihan bahasa yang akan sangat berguna bagi pengembangan dirinya agar dapat memaksimalkan pencapaian prestasi akademis sesuai dengan yang diharapkan.
Tengok lagi asrama mahasiswa yang dimiliki Universitas Indonesia yang juga masih berada di kawasan Jabodetabek. Untuk mewujudkan cita-cita universitasnya, yakni membentuk mahasiswa sebagai pribadi unggul, bahkan UI membangun dua asrama mahasiswa tambahan dengan bantuan dana dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU), dengan harapan jika sudah rampung, UI akan mampu menampung hingga 2.000-an mahasiswa di asrama tersebut. Muhammad Anis, Rektor UI saat itu mengungkapkan bahwa saat ini, terdapat 1.600 mahasiswa UI hidup di asrama yang sudah ada. Dua tower tambahan akan menampung 480 mahasiswa lagi, jadi akan ada 2.080 mahasiswa yang bisa tertampung di asrama. Dengan dibangunnya dua asrama tambahan tersebut, mereka berharap dapat mengasramakan seluruh 4.500 mahasiswa baru setiap tahunnya. Di asrama ini setiap penghuninya telah terintegrasikan dalam Forum Group Discussion (FGD) yang dapat menjadi wadah mahasiswanya untuk berlatih aktif serta memiliki skill public speaking yang baik.
Lantas bagaimana dengan asrama mahasiswa yang dimiliki Universitas kita tercinta ?
Faktanya adalah sebagian besar daya tampung dari asrama, khususnya Rusunawa 2 yang bertempat di Kampus Timur UNJ itu diperuntukan sebagai tempat sewaan atlet-atlet yang notabene bukan merupakan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, melainkan atlet luar universitas yang sedang “berkepentingan” mengikuti berbagai kegiatan olipmiade ataupun hanya mengikuti serangkaian pelatihan saja. Mahasiswa hanya diberi ruang di lantai teratas sebagai penghuni minoritas. Pun tidak semua mahasiswa yang “terseleksi” tersebut yang merupakan mahasiswa “yang layak” menempati bangunan istimewa tersebut. Masih terdapat beberapa mahasiswa yang berasal tak jauh dari Ibu Kota yang berkesempatan mencicipi tinggal di asrama tersebut. Implikasinya, tak sedikit mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah pedalaman Indonesia yang tidak mendapat haknya dikarenakan daya tampung yang sudah tidak dapat ditambah. Akhirnya lantai 2-3 dengan fasilitas yang jauh berbeda dengan yang didapatkan mahasiswa di lantai 4, dijadikan layaknya “kamar hotel” yang dapat disewa dengan harga miring bagi orang-orang “yang kepentingan”.
Ditambah lagi dengan aktifitas asrama yang sama sekali tidak terkondisikan. Jauh berbeda dengan asrama di universitas lain yang memiliki setumpuk agenda bermanfaat yang sangat berguna bagi pengembangan karakter mahasiswanya, sebagai golongan minoritas yang tinggal di Rusunawa 2 UNJ lantai 4 ini, mahasiswa kurang memiliki kegiatan pengembangan diri yang memang sengaja dihadirkan pihak universitas. Akibatnya, jangankan mendapat nilai keragaman identitas, kebersamaan, dan juga pembentukan karakter, namun hanyalah secuil rasa saling memiliki akibat senasib sepenanggungan saja yang mungkin tertanam dari kehidupan di asrama. Tak banyak “oleh-oleh” yang didapat oleh mahasiswa yang sempat mencicipi tinggal di bangunan istimewa ini.
Betapa hal tersebut begitu menggambarkan kebijakan mengenai hal kecil dari berbagai kebijakan lain yang lebih besar dan urgent dari Universitas Negeri Jakarta yang sangatlah tidak jelas serta tak kunjung terlihat perkembangan perubahan menuju yang lebih baik. Dimana letak keprofesionalan “staf-stafnya”?
Sebagai insan yang berbudi pekerti luhur tentu kita semua dapat memahami konsep sederhana akan harapan dari adanya Asrama mahasiswa tidak hanya sekedar tempat tinggal semata. Akan tetapi di sana harusnya tercermin keragaman identitas yang menunjukkan bahwa penghuni berasal dari berbagai latar baik daerah, suku, hingga kebiasaan individual dimana mampu menumbuhkan jiwa toleran dan kebersamaan dalam membangun bangsa kelak. Asrama bagai mozaik bangsa yang tentu sangat bermanfaat bagi pengembangan jiwa kepemimpinan para penghuninya.
Oleh: Umi Kulsum (FMIPA UNJ)