Lebih dari tiga perempat telah berlalu, sejak kain jaitan Fatmawati itu akhirnya berkibar di tiang bambu. Memproklamirkan kebebasan dari tangan penjajah. Begitu banyak drama yang terjadi hanya agar Bung Karno mengumumkan “bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.”
Namun, banyak orang yang sudah terlanjur larut dalam euforia. Setiap tanggal 17 Agustus, kita memperingati “Hari Lahirnya Bangsa Indonesia,” begitulah kira-kira lirik lagu yang sering dikumandangkan ketika hari itu tiba. Izinkan penulis mengingatkan kembali, meskipun sebenarnya pembaca mungkin lebih mengetahui daripada penulis.
“Ketulusan di antara kami amat tinggi dan perbedaan tidak ditonjolkan,” ujar Natsir seperti yang dikatakannya kepada mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra. Perang ideologi pra kemerdekaan mengenai bentuk negara, membuat para pemimpin terkotak-kotak. Masing-masing ingin ideologinya diterima. Namun, semua itu seakan sirna ketika cecunguk Belanda datang lagi hendak mengobrak-abrik Republik yang masih bayi.
Pertengahan Desember 1948, agresi militer terjadi di jantung ibukota Indonesia saat itu, Yogyakarta. Para pemimpin Indonesia, seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir telah ditangkap. Dan pemerintah Belanda telah mengumumkan Republik Indonesia telah BUBAR. Sesaat sebelum ditangkap, 19 Desember 1948, Soekarno telah memberikan mandat kepada beberapa pejabat negeri, diantaranya Sjafruddin Prawiranegara, K.H Agus Salim dan A. A Maramis, untuk menyelamatkan Bangsa Indonesia, dan membentuk pemerintahan darurat.
Sriyanto, dalam bukunya yang berjudul Sang Penyelamat Republik, menyatakan bahwa Pak Sjaf –panggilan bagi Sjafruddin Prawirangara- bahkan tak mengetahui mandat tersebut. Namun, inisiatif terkadang memang harus dilakukan. Dan inisiatif tersebut hanya mampu dilakukan oleh orang yang “mau” dan “ingin” serta memiliki rasa “peduli”. Pak Sjaf merasa perlu untuk membentuk pemerintahan darurat.
Sejumlah tokoh berkumpul di Halaban, Sumatera Barat. Diantaranya Mr. Sjafruddin Prawirangara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Muhammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Dan melalui rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia, dengan susunan sebagai berikut : Mr. Sjafruddin Prawirangara sebagai Ketua PDRI merangkap sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan dan Menteri Luar Negeri. Mr. T. M. Hassan sebagai Wakil Ketua PDRI merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri, Menteri PPK dan Menteri Agama. Mr. Sutan Muhammad Rasjid sebagai Menteri Keamanan sekaligus Menteri Sosial, Pembangunan dan Pemuda. Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan sekaligus Menteri Kehakiman. Ir. Indracahya sebagai Menteri Perhubungan dan Menteri Kemakmuran Ir. Mananti Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kesehatan.
Dengan begitu, pemerintah yang berdaulat sebagai syarat tegaknya suatu negara terpenuhi. Keesokan harinya pasca susunan pemerintahan terbentuk, Sjafruddin menyampaikan pidatonya : “… Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa digunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya dan kejamnya.
Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara Republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi. Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti.
Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan : Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh.”
Sejak saat itu, Sjafruddin dan PDRI-nya menjadi buruan antek-antek Belanda. Pak Sjaf dan kawan-kawan, menjejaki setapak demi setapak tanah Sumatera. Melewati rawa-rawa, hutan rimba, aliran sungai dan danau sambil menggotong radio. Mereka terus mengumandangkan bahwa RI masih ada. Pesan tersebut disampaikan kepada A.A. Maramis yang berada di India. Melalui A. A. Maramis, terus dikumandangkan bahwa Republik Indonesia masih terus ada di kancah internasional. Karena kondisi PDRI yang terus bergerilya di balik hutan rimba, Belanda mengejek “Pemerintah Dalam Rimba Indonesia”. Namun Sjaruddin tidak tinggal diam, dia lalu membalas :
Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah RI, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi, Belanda waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal UUD-nya sendiri menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasannya. Apakah Inggris jadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tidak sah.
Pertengahan 1949, Belanda makin terjepit di kancah internasional dan menyeretnya ke meja Perundingan Roem-Royen. Dengan disetujuinya hasil Perundingan Roem-Royen, berakhir pula agresi militer Belanda. Pasca agresi militer berakhir, Pak Sjaf bisa saja hendak mengambil alih tampuk kepemimpinan negeri. Namun, ucapannya kepada sang sahabat, yakni Muhammad Natsir, sangat lugas.
“Dalam perjuangan kita tidak pernah memikirkan pangkat dan jabatan karena kita berunding pun duduk di atas lantai; yang penting adalah kejujuran, siapa yang jujur kepada rakyat dan jujur kepada Tuhan, perjuangannya akan selamat.”
Dengan begitu, mandat dikembalikan kepada Soekarno dan PDRI dibubarkan. Pak Sjaf merupakan aktivis Partai Masyumi, dan mungkin bisa dikatakan masih cukup muda diumurnya yang menginjak 38 tahun saat ia menjabat Ketua PDRI. Namun, kematangan berpikirnya, kemauan kerasnya, tekad serta kepeduliannya pada negeri ini, patut untukl menjadikan ia sebagai role model pemuda saat ini.
Darinya kita belajar, bahwa harta dan jabatan tak semestinya membuat kita silau. Segala aktivitas kita, kita lakukan untuk menimbulkan kebermanfaatan bagi bangsa tanpa berharap pamrih, apalagi uang dan jabatan.
Darinya kita belajar, pemuda ialah harapan jika di suatu saat nanti negeri kita ini akan dilanda kehancuran. Memiliki inisiatif, tekad dan kemauan yang keras untuk bergerak ialah sesuatu yang memang seharusnya melekat pada diri pemuda.
Darinya kita belajar, bahwa masa-masa sulit akan sirna jika kita mau menyingkirkannya. Innallaha yughayyiru ma bi qoumin hatta yughoyyura ma bi anfusihim, bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubahnya.” (QS Ar Ra’d : 13).
Oleh: Suhandi
Mahasiswa Ilmu Agama Islam FIS UNJ 2015