AWAS! “Ada hantu fasis sedang bergentayangan di UNJ, ia menjelma menjadi seseorang dengan rambut tipis cenderung botak, berpakaian rapih, perut membuncit dan tatapan mata yang tajam. Setiap kebijakannya otoriter tanpa demokrasi, bersikap semena-mena cenderung sakit bahkan melumpuhkan civitas akademik dosen dan mahasiswa.” Abayski

Jujur saja, saya menulis ini bukan respon atas tulisan Bung Ubedillah Badrun yang berjudul “Wajah Kampus Mulai Bopeng?” atau tulisan kawan-kawan mahasiswa lainnya—karena memang berangkat dari keresahan yang kian membuncah akhirnya saya memutuskan untuk menulis. Keresahannya masih sama, yakni demokratisasi kampus yang sampai hari ini di Universitas Negeri Jakarta belum tumbuh. Dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan birokrasi kampus akhirnya kita bisa mengetahui watak birokrasi UNJ sekarang.

Masih saya melihat bahwa aktivitas mahasiswa dalam menjaga agar kampus tetap waras sudah mulai kehabisan nafas—istilah menjadi “Hidup Nyaman” kian menghantui mahasiswa dalam rutinitas kesehariannya. Apakah hal ini disebabkan karena kekurangan musuh yang jelas? Sehingga mahasiswa UNJ dengan nikmatnya mengangkat ketakutan baru: Takut pada bayangannya sendiri—padatnya SKS yang diambil, kekhawatiran mahasiswa tingkat akhir yang skripsinya belum kunjung rampung, bahkan sampai pusing dengan tugas yang menumpuk saban hari. Menjadikan rutinitas kebosanan yang dialami mahasiswa ditukar dengan kegelisahan yang tidak terarah, sehingga menjadikan mahasiswa tumpul akan tanggung jawab sosialnya. Mahasiswa akhirnya bersikap pasrah dengan apa yang terjadi dikampus, seakan-akan bahwa ketidak-wajaran yang terjadi dalam kampus bersifat alami, dan sudah seharusnya terjadi. Mereka tidak sadar bahwa ada sistem yang menghegemoni, sehingga mahasiswa menjadi tidak sadar akan ketertindasannya masing-masing. Kalau kata Akhi Daus, “”. Senada dengan Akhi Daus, Mbah Jenggot Karl Marx pun mengatakan masyarakat dibentuk menjadi kesadaran palsu yang dilanggengkan oleh hegemoni penguasa yang berselingkuh dengan kapital yang berpengaruh pada basis struktur masyarakat, yaitu ekonomi, sehingga buruh khususnya menjadi hilang kemanusiaannya—ia menjadi terasing atas dirinya, pekerjaannya dan orang lain.

Pertanyaan penyair W.S Rendra dalam sajak pertemuan mahasiswa yang berbunyi:

”Ilmu saudara untuk siapa? Saudara berdiri dipihak yang mana? Kita dididik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan disini akan menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan?”

yang seharusnya menjadikan refleksi bagi kita semua bahwa memang betul, bergerak haruslah bersama-sama, tidak bisa sendirian yang harus dipikirkan adalah apa yang harus kita lakukan dan dari mana kita memulai? Tahun lalu, UNJ dihebohkan dengan aksi “Drop Crot” yang dilakukan oleh rektorat terhadap eks-Ketua BEM Akhi Ronny Setiawan dan ancaman kriminalisasi beberapa mahasiswa yang pasca kejadian itu massive dilakukan oleh rekrorat untuk mengancam mahasiswa-mahasiswa yang menurutnya membahayakan kenyaman beliau sebagai rektorat. Ya memang harus diakui bahwa drama tersebut memang kelewat heboh sampai muncul petisi dukungan dan remah-remahan roti pemerintahan pun ikut bersuara atas matinya demokrasi di UNJ ini. Fahri Hamzah yang kemarin ditolak kunjungannya oleh masyarakat Manado pun ikut berbicara.

Saya sebagai mahasiswa tingkat akhir pun ikut merasakan, bahwa memang benar diputusin secara sepihak oleh rektor itu memang perih dan sakitnya itu di skripsi. Sekali lagi perlu diingat, ini tak lebih sekadar hanya drama “Terhemek-mehek”. Sayang seribu sayang, Tujuh Tuntutan Mahasiswa belum terpenuhi dan Akhi Ronny Setiawan sudah berdamai duluan dengan rektor dengan difasilitasi oleh Kanjeng Jazulli dari Fraksi PKS. Sayangnya, Akhi Ronny tidak membangun kesepakatan bahwa harus terciptanya ruang demokrasi di UNJ, agar tidak ada lagi hantu-hantu fasis yang bergentanyangan di UNJ ini. Manusia waras harus siap dikritik, karena kritik dan otokritik adalah sebuah tradisi yang harus dirawat untuk mensemestakan gagasan, agar kita bisa belajar dalam melakukan kerja-kerja perjuangan. Betul begitu, Bung?

Kita harus belajar dari aksi besar 30 Mei tahun lalu yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Berantakan, bahwa membangun gerakan tidak serampangan dan instan, ia butuh proses dan konsistensi agar gerakan tetap dinamis. Sekali lagi, Bung bahwa penggodogan suatu isu itu penting, agar kita bisa mempunyai posisi tawar lebih ketika menyuarakan pendapat dihadapan birokrasi kampus. Bahwa berjejaring dengan elemen masyarakat yang ada di UNJ pun penting, karena ketertindasan tidak dirasakan oleh segelintir orang di UNJ saja, melainkan pedagang koran keliling yang saban sore pun resah, pedagang kopi pun resah, dosen, pegawai juga mahasiswa pun resah.

Mohon maaf sebelumnya kalau saya lancang, tapi sebetulnya saya juga gemetar takut kena tjidoek kalau menulis hal-hal yang berbau rektor. Begini Pak Rektor, dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” karya Soe Hok Gie, aktivis yang kalau kata orang “gemar menyuarakan jihad fisabillillah“, tapi dianggap mati kafir. Yo jelas mati kafir—Soe Hok Gie non-muslim sejak dalam kandungan. Tapi bukan itu yang jadi masalah, Pak. Sekafir-kafirnya Soe Hok Gie, akhirnya semangat perjuangannya banyak ditiru oleh mahasiswa Bapak di UNJ ini. Beliau pernah berpesan,

“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau.”

Sebagai Guru Besar di bidang penelitian pendidikan, kiranya Bapak pasti sangat setuju dengan kalimat tersebut.

Saya membayangkan ketika Bapak pada masa 30 atau bahkan 40 tahun yang lalu, ketika Bapak masih berstatus menjadi mahasiswa adalah suatu keniscayaan bahwa mahasiswa selalu bergerak atas keresahan yang mereka alami. Bapak juga aktivis toh? Perjuangan Bapak lebih berat mungkin pada saat itu, karena bicara demoralisasi mahasiswa, lumpuhnya dewan mahasiswa, karena kebijakan NKK/BKK hingga harus mengatur nafas panjang agar memiliki strategi dan taktik yang matang. Bukan begitu, Pak? Barangkali nostalgia itu dirasa menjadi antidote untuk hari-hari Pak Rektor yang begitu sibuk, sehingga Bapak menjadi khilaf mengirim surat DO ke mahasiswa dan meng-kriminalisasi dosen-dosen UNJ yang menyuarakan hak berpendapatnya dengan dalil pencemaran nama baik. Jelas saja, ini sangat mencoreng ruang demokrasi di negeri ini. Tabik![]

Andika Bahaqi
Kader Solidaritas Pemuda Rawamangun.

Categorized in: