Lumrah rasanya jika mahasiswa UNJ dapat tersenyum menuliskan lembar sejarah perjuangan gerakan kemahasiswaannya. Usaha-usaha yang dapat kita saksikan beberapa waktu silam (tak perlu saya sebutkan beberapa fenomena yang dimaksud karena terjadi di depan mata kita) menepis sebagian prasangka mahasiswa perkotaan yang hedonis dan materialistik. Setidaknya sikap mereka menunjukan keinginan dan proses menuju golongan yang disebut dalam terminologi Antonio Gramsci sebagai Intelektual Organik.
Intelektual organik adalah kaum-kaum terpelajar yang dapat memberikan kesadaran homogenitas bagi kelompoknya dan kelompok lain dengan tujuan menjadi penentu kebijakan suatu negara. Tipikal ini menaruh intelektual bukan hanya aktivitas berpikir tetapi mencakup hal yang praktis. Berbekal kepekaan yang tinggi (omong kosong dengan kata ‘baper’), munculnya kesadaran kelas didorong oleh sikap humanis, kejelian dalam analisis masalah, ketepatan dalam menentukan langkah, hingga mempertimbangakn konsekuensi-konsekuensi dari sebuah ‘aksi’. Modal pengetahuan yang ditransformasikan selama perkuliahan, kesadaran kelas dan sikap humanis, serta daya juang yang konsisten untuk memberikan solusi, keseluruhan proses itu membentuk sikap mental calon kaum yang akan mempengaruhi kebijakan sebuah negeri.
Sisi lain dari beberapa permasalahan yang terangkat dari kampus UNJ belakangan ini, merangsang kita untuk merefleksikan makna motto Building Future Leaders. Ada dua pandangan berseberangan mengenai asal pemimpin: Pandangan pertama, bahwa seseorang akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Faktor genetis yang mewariskan bakat dan pembawaan untuk menjadi pemimpin. Menurut pandangan ini tidak setiap orang bisa menjadi pemimpin, dan hanya orang-orang yang mempunyai bakat dan pembawaan saja yang bisa menjadi pemimpin. Maka munculah istilah “leaders are borned not built”.
Pandangan kedua, bahwa seseorang akan menjadi pemimpin jika environmental input atau lingkungan membentuknya sebagai pemimpin. Lingkungan itu bisa berarti kondisi sosial, tuntutan, tekanan, dan bahkan pelatihan. Setiap orang bisa menjadi pemimpin jika diberi kesempatan dan pembinaan meskipun sebelumnya tidak memiliki bakat. Seperti pandangan tabula rasa, manusia lahir bagaikan kertas kosong tanpa isi mental genetis dan kertas itu akan ditulis melalui persepsi alat indera manusia bagaimana menafsirkan dunia.
Telah tercatat dalam sejarah dunia beberapa contoh intelektual organik yang lahir dari konteks sosial masyarakat yang patologis dan perlawanan atas penindasan rezim. Beberapa diantaranya adalah:
- Olympe de Gouges, seseorang yang berjuang demi membela hak asasi kaum wanita selama Revolusi Prancis. Dia menerbitkan sebuah deklarasi hak asasi kaum wanita dengan menuntut seluruh hak yang sama bagi kaum wanita sebagaimana yang diberikan pada kaum pria pada tahun 1971 (dua tahun setelah Revolusi Prancis). Prancis pada saat itu yang mengalami masa Pencerahan, salah satu perhatian pada hak asasi manusia, apakah deklarasi yang diterbitkan Olympe de Gouges disepakati? Yang terjadi adalah, kepalanya dipenggal pada tahun 1793 dan seluruh aktivitas politik bagi kaum wanita dilarang.
- Juan Evo Morales Ayma, berasal dari penduduk asli Bolivia sekaligus menjadi presiden Indian pertama Bolivia yang notabene negara termiskin di Amerika Latin – 7 dari 10 penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan sebelum tahun 2006. Namun dengan sikap tegasnya untuk melepaskan Bolivia dari anak manis Amerika Serikat, dan salah satu dari hanya tiga tokoh yang berani menghardik G. W. Bush: Morales, Chavez (Presiden Venezuela), dan Fidel Castro (Presiden Kuba). Melalui kebijakan sumberdaya alam yang tidak dapat diprivatisasi, tidak boleh dikuasai korporasi asing, dan harus dilakukan renegoisasi atas seluruh kontrak pertambangan, membuat tekanan politik ke Bolivia semakin berat dan Bolivia terancam diseret ke lembaga arbitrase internasional. Namun ancaman itu tidak dihiraukan oleh presiden pemberani seperti Morales. Akhirnya korporasi asing di Bolivia tak punya pilihan lain dan tetap mencari makan di Bolivia, dengan konsekuensi tunduk kepada kemauan pemerintah yang hakikatnya kemauan rakyat Bolivia.
Cukup berkaca dari dua peristiwa itu, benang merahnya adalah perjuangan intelektual organik memiliki potensi perubahan sosial. Olympe de Gouges menggambarkan perjuangan kelas dengan tuntutan kesetaraan dan Morales menunjukan bahwa dominasi harus dilawan demi kepentingan banyak orang. Mempersandingkan antara perjuangan mahasiswa UNJ dengan kedua peristiwa di atas memang nampaknya terlalu berlebihan. Namun terdapat konteks sosial yang mirip cikal bakal lahirnya intelektual organik, perjuangan kelas mahasiswa dan perlawanan dominasi yang menindas.
Kedepan, akan banyak kejutan-kejutan lain yang muncul dari kampus pendidikan ini. Jika mahasiswa UNJ cukup pandai dalam bersikap bertindak menanggapi permasalahan kampus yang tidak pro rakyat maupun mahasiswa, sejatinya akan bersemai calon-calon tokoh yang militan dan memiliki kesadaran kemanusiaan.
Oleh : Fatoni Ihsan