Misalkan sebuah toko memberikan diskon 17%, tetapi pembeli harus membayar pajak 15%. Saat kita berbelanja di toko itu dan boleh mengatur, kita ingin diskon atau pajak yang dihitung dahulu? Kita sebagai pembeli lebih untung jika dipajak dahulu baru didiskon, atau sebaliknya didiskon dahulu baru dipajak?

Melalui pertanyaan itu, pendidik menggiring dan merancang kerangka pembelajaran. Kemudian, melalui pertanyaan itu, pendidik memicu diskursus dan merawat budaya bernalar menuju pemahaman yang mendalam. Kecakapan mendidik melalui bertanya ini yang merupakan bekal utama guru dan orangtua di abad 21.

Di pengajaran yang tak berpusat pada anak, jika akan menjelaskan bagaimana mengalikan dua bilangan 26 x 43, maka langsung saja guru atau orangtua menitahkan prosedur mengalikan dua bilangan tersebut, sesuai dengan cara yang diajarkan oleh gurunya terdahulu. Anak harus mematuhi dan menuruti langkah demi langkah. Apa yang dikatakan guru dan orangtua dianggap sudah yang paling baik dan sempurna. Tak dipikirkan ada kemungkinan anak atau murid kita dapat menemukan cara mengalikan yang lebih cerdas. Cara mengajar di sekolah atau di rumah dengan cara ini memang terjadi dan kita kebanyakan hasil dari metode tersebut. Namun, ada cara lain mendidik, bukan dengan perintah atau pemaksaan, tetapi menggunakan cara bertanya.

Bukankah justru lebih cerdas jika anak kita menemukan sendiri cara mengalikan bilangan? Bukankah anak kita akan jauh lebih memahami sekaligus ingat pada algoritma perkalian jika menemukan atau membangunnya sendiri? Pengetahuan ilmiah seperti matematika bukanlah benda mati. Algoritma atau rumus di matematika perlu dikembangkan terus. Yang ada belum tentu yang terbaik.

Sekarang, tidak semua pertanyaan dapat digunakan untuk mengajar. Pertanyaan untuk menguji kemampuan sangat berbeda dengan pertanyaan untuk mendidik anak. Pertanyaan yang baik dalam mendidik mempunyai beberapa ciri.

Pertama, pertanyaan baik akan mengganggu kesetimbangan pemahaman. Pertanyaan baik akan menyadarkan bahwa masih ada miskonsepsi atau kekeliruan konsep yang kita percayai. Kesetimbangan kepercayaan kita pada pengetahuan yang kita tadinya sudah yakini akan terganggu oleh pertanyaan yang dirumuskan dengan baik. Pertanyaan baik sekaligus menegur sikap “merasa sok tahu” kita. Pertanyaan baik harus mampu menegur ketakaburan dan rutinitas manusia.

Piaget mengistilahkan keadaan saat manusia menyadari miskonsepsi sekaligus meragukan pengetahuan sebelumnya tersebut sebagai disequilibrium atau ketaksetimbangan. Dari ketaksetimbangan ini sesungguhnya belajar baru dapat efektif dan bermakna. Pada situasi tak setimbang ini, benak dan diri manusia akan haus sekaligus siap untuk membangun pemahaman baru.

Peluang proses penyetimbangan baru akan terbuka saat ada ketaksetimbangan. Dan, selanjutnya akan dapat dicapai taraf kesetimbangan pemahaman yang jauh lebih kokoh. Bukankah ciri seorang benar-benar paham sebuah konsep jika orang tersebut sudah menjelajah dan menyadari berbagai miskonsepsi yang mungkin terjadi?

Dibanding learning dan relearning, memang unlearning paling sulit. Mungkin manusia cenderung lebih meyakini pengetahuan yang pertama diserap, ketimbang menerima pengetahuan baru, apalagi yang acap berbeda atau bahkan bertolak-belakang dengan pengetahuan yang diyakini sebelumnya. Dan, agar unlearning ini berhasil perlu dibuat keadaan tak setimbang yang dipicu pertanyaan.

Oleh karenanya, program penyiapan guru dan orangtua perlu memberlatihkan kecakapan bertanya. Senjata dahsyat guru dan orangtua di masa kini hanyalah bertanya dan mendengar. Keahlian berceramah dan memerintah menjadi tak begitu utama lagi. Ceramah atau kotbah satu-arah sudah tak menarik lagi bagi generasi digital.

Peran pertanyaan bukan saja untuk menggiring pembangunan pemahaman, tetapi juga untuk mengoreksi anak yang mungkin keliru memahami sesuatu. Guru dan orangtua yang baik harus cakap merancang dan mengajukan rangkaian pertanyaan, agar anak sendiri menyadari bahwa dirinya keliru. Bukan dari mulut guru atau orangtua seharusnya yang menyatakan seorang anak keliru.

Misalnya, pada pertanyaan di awal esai ini, jika seorang siswa atau anak kita berpendapat bahwa menghitung pajak dahulu akan membuat diskon lebih besar, apa reaksi kita? Tentunya memang wajar intuisi kita berpendapat seperti itu. Walau ternyata tak benar. Justru di sini seni mengajar tersebut. Memanfaatkan pertanyaan untuk menuntun anak menemukan pemahaman.

Mengatakan, “Kamu salah!” pada anak tentu sangat mudah. Namun, apakah itu pendekatan yang berpusat pada anak? Betul bahwa guru dan orangtua harus mengoreksi, tetapi apakah caranya hanya dengan menghakimi seperti itu?

Satu alternatif pendekatan untuk mengoreksi anak yang salah tadi misalnya menggiring dengan pertanyaan: “Jika barang yang dibeli Rp 100, dengan cara membayar pajak dahulu, berapa yang harus kamu bayar?” Lalu, dapat dilanjutkan dengan pertanyaan susulan, “Sekarang, berapa yang harus kamu bayar jika diskonnya dihitung dahulu?” Dari situ, anak akan menyadari kekeliruannya sendiri dan anak menjadi memahami konsep yang lebih mendalam lagi. Anak akan ingat dan tanpa merasa dipermalukan atau dihina dianggap bodoh.

Kecakapan anak kita di kehidupan nyata nanti untuk menyadari dan mengakui kekeliruan demi menuju pemahaman yang lebih baik merupakan bekal pokok. Kata “keliru” idealnya tak keluar dari mulut pendidik, seperti guru atau orangtua.

Agar tercapai kesadaran itu, jika anak menjawab benar, guru/ortu perlu bertanya lagi, “Dari mana kamu dapat itu?” atau “Mengapa kamu yakin benar?” Sedang anak sendiri sebelum mengungkapkan jawabnya ke orang lain perlu bertanya ke diri sendiri terlebih dahulu, “Apakah jawaban ini masuk akal?” atau “Adakah cara lain untuk menemukan jawabnya?” Kebiasaan bertanya ke diri sendiri dan orang lain harus menjadi norma setiap warga di kelas dan anggota keluarga di rumah. Mendidik anak di era sekarang kita perlu cakap bertanya.

Jika anak menjawab benar, juga tak perlu memuji, apalagi dengan cara berlebihan, seperti: “Hebat!” atau “Luar biasa!” Menurut Teori Otak, idealnya memuji anak itu juga tak perlu, karena kepuasan paling mendasar dan berkesan justru yang dihasilkan diri sendiri. Murid sendiri yang harus merasa puas dengan jawabannya.

Jika murid sendiri yang meyakini bahwa jawabnya benar, karena berdasar nalarnya, ini akan memberi kepuasan tak ternilai bagi anak. Perasaan berguna, bernilai, dan berdaya dapat tumbuh pada anak di situasi seperti ini. Kepuasan menemukan jawab benar itu sudah merupakan kenikmatan tak ternilai, tak perlu dicemari oleh pujian eksternal atau artifisial dari kita, apalagi yang berlebihan dan tak sesuai kenyataan.

Reaksi guru yang netral seperti, “Terima kasih sudah mencoba menjawab,” sudahlah cukup. Fungsi pertanyaan dalam pembelajaran untuk melibatkan anak, bukan untuk menghakimi. Pertanyaan bukan untuk menentukan anak kita pandai atau bodoh. Maka, jika seorang anak sudah menjawab pertanyaan kita, itu sudah berhasil karena anak tersebut sudah terlibat. Khususnya, jika reluctant learner atau anak yang biasanya enggan aktif belajar tetapi telah mencoba menjawab, maka itu sudah keberhasilan pendidik. Berterima kasihlah pada anak tersebut. Bukan menghakimi jawabnya. Memperbaiki pemahamannya ada kesempatan lain.

Dengan memanfaatkan rangkaian pertanyaan, guru dan orangtua dapat menggiring proses pembelajaran dan anak menjadi subjek dalam keutuhan proses sosial belajar-mengajar tersebut. Sekarang tak begitu populer pendidik mendominasi dengan berceramah.

Cukup bertanya, mendengar, dengan tetap menunjukkan kepedulian, itulah mendidik di kehidupan masa kini. Guru dan orangtua keren dengan kecakapan dan sikap bersahaja seperti itu yang sesuai untuk merawat anak penghuni dunia tanpa batas di masa depan.

Lalu, siapkah guru berlatih teknik bertanya untuk mendidik? Maukah kita orangtua berlatih mendidik melalui bertanya?

*Iwan Pranoto
Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Kedutaan Besar Republik Indonesia di New Delhi

Categorized in: