Maju mundur atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut, itulah yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas sumber daya manusianya. Salah satu caranya ialah dengan meningkatkan pendidikan dari semua sumber daya manusianya. Begitu pentingnya pendidikan sehinga menjadi gerbang sebuah peradaban.
Beberapa hari yang lalu kita baru saja merayakan Hari Pendidikan Nasional, hari yang seharusnya menjadi bahan evaluasi kita bersama mengenai carut marut pendidikan di Indonesia. Pada awal April yang lalu siswa-siswi SMA di Indonesia baru saja melaksanakan Ujian Nasional (UN) yang katanya sebagai alat penilaian terhadap tenaga pendidik dan kependidikan, serta satuan pendidikan. Dan beberapa hari lagi siswa-siswi SMP dan SD pun akan melaksanakan UN juga, semoga pelaksanaan UN memang benar-benar sebagai alat untuk mengukur tenaga pendidikan dan kependidikan serta satuan pendidikan.
Jika kita berbicara UN, maka kita tidak akan terlepas dari sebuah lembaga yang identik dengan UN, yaitu lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel). Seperti dua sisi mata uang Bimbel dan UN tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, Bimbel seperti sebuah kebutuhan bagi masyarakat Indonesia. Bimbel berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003 pasal 26 ayat (4) ialah satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Bimbingan belajar (Bimbel) merupakan salah satu contoh dari lembaga kursus. Adanya Bimbel ini sesuai dengan pasal 26 ayat (5) ialah untuk membantu peserta melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Jika dilihat dari definisi atas mengenai Kursus dan Bimbel, kita bisa mengetahui bahwa Bimbel merupakan salah satu jenis dari Kursus. Perbedaannya ialah, Kursus sangat mengedepankan keterampilan, sedangkan Bimbel tujuannya tidak mengedepankan keterampilan melainkan mampu menjawab soal-soal guna menghadapi ujian, baik ujian masuk PTN ataupun ujian sekolah dan ujian nasional (UN). Kedua faktor tersebut yang menjadikan Bimbel semakin berkembang, dan menjadikan Bimbel merupakan fenomena sosial dimana adanya Bimbel menyesuaikan kebutuhan industri pasar dalam dunia pendidikan.
Bimbel dikatakan sebagai bentuk budaya karena adanya perilaku yang berkembang di masyarakat. Para peserta didik berlomba-lomba memasuki Bimbel karena faktor agar lolos memasuki PTN favorit dan lulus UN. Adanya Bimbel menciptakan perubahan tingkah laku dalam masyarakat, dimana ketika memasuki Bimbel masyarakat akan merasakan prestise. Tingkah laku masyarakat yang berkembang seperti fenomena tersebut menyebabkan Bimbel sebagai gaya hidup (Lifestyle) dan kebutuhan dalam pendidikan.
Selain kedua faktor di atas berkembangnya Bimbel juga karena kurang optimalnya peran sekolah sebagai pendidikan formal, sehingga hal tersebut dijadikan celah oleh lembaga Bimbel untuk melebarkan sayapnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Paulston dan Le Roy.
“Pendidikan formal mengalami kegagalan logistik dan fungsi sehingga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang begitu besar dan cepat maka munculah sistem pendidikan alternatif di luar pendidikan formal.( Wiratomo, Paulus 1986, Indonesian Non Formal Education Program: Problems of Access and The effect of The Programs on The Attitudes of Learners, Albany: State University of New York)”.
Dalam pembelajarannya di Bimbel tidak ada proses, yang ada hanya paradigma bagaimana caranya belajar dengan cepat dan tepat agar lulus UN dan masuk PTN favorit. Bimbel seolah-olah merupakan industri pendidikan yang berorientasi “lulus UN” dengan cepat dan tepat tanpa menekankan proses. Bimbel merupakan lembaga yang mempraktikkan teori Behavioristik yang memberikan stimulus dan respon kepada peserta didik sehingga peserta didik bisa dan biasa dengan soal-soal uji kognitif, teori ini dikemukanakan oleh Ivan Pavlov. Aliran ini menekankan pada terbentuknya prilaku yang tampak sebagai hasil belajar, hal tersebut sangat bertentangan dengan bunyi UU SISDIKNA Nomor 20 tahun 2003 yang sangat menekankan proses.
Meskipun Bimbel lahir sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan pendidikan formal yang gagal, namun peran Bimbel tetap saja tidak akan mampu menggeser peran pendidikan formal, yaitu Sekolah. Hal tersebut dikarenakan di Bimbel hanya diajarkan aspek-aspek kognitif sedang aspek-aspek psikomotorik dan afektif tetap membutuhkan lembaga formal seperti sekolah untuk menerapkannya.
Baca juga: Wahai Para Guru, Harusnya Kalian Cemburu!
Semoga dengan adanya tulisan ini bisa menjadikan kita sebagai pelaku pendidikan, menyadari bahwa dalam pendidikan proses sangat diperlukan dan menjadikan Hari Pendidikan Nasional bukan hanya satu hari dalam satu tahun untuk dijadikan bahan evaluasi. Namun, setiap hari adalah Hari Pendidikan Nasional untuk mengevaluasi pendidikan yang ada saat ini.
Oleh: Nur Hayati (FIS UNJ)