Akui sajalah, sudah lama kita menjadi budak cinta (bucin) ketokohan. Bukan saat Pemilu ini saja. Kita terpukau dengan ketokohan, tapi tidak pada pikiran, ide, gagasan, paham, nilai, dan gerak yang dibawa dan dilakukan sang tokoh. Alhasil saat tokoh itu benar, kita menyanjungnya setinggi langit, dan ketika dia salah, kita tetap menganggapnya benar, menyembunyikan kesalahannya, membelanya mati-matian, dan “mengharamkan” orang lain mengkritiknya. Pokoknya tokoh kita harus terlihat kinclong dan jangan ada noda sedikitpun.
Maka betapa bahayanya menjadi bucin ketokohan ini. Kita terancam menipu dan membodohi diri sendiri. Bahaya dan rugi juga sebenarnya buat sang tokoh. Karena si bucin kerjanya hanya menjilat-jilat, memuji-muji melulu dan tidak enakan mengkritik. Akibatnya sang tokoh bisa merasa benar-benar saja dengan apa yang diucapkan dan dilakukannya. Dia jadi tidak tahu kesalahannya, dan dengan begitu, dia tidak memperbaikinya. Citra baiknya pun terancam merosot.
Padahal, kita, umat Islam, sebenarnya sudah memahami dan meyakini bahwa hanya Nabi sajalah yang terjaga dari kemaksiatan dan dosa (ma’shum). Selain Nabi, kita semua tak luput dari kedua hal itu. Tapi kita mendadak lupa dengan hal mendasar ini manakala kita menjadi bucin. Seakan-akan kita menyejajarkan tokoh kita dengan para Nabi.
Yang bisa salah dan berdosa ya kita-kita ini dan tokoh-tokoh idola kita, seperti Prabowo, Jokowi, Kiai Ma’ruf, Sandiaga Uno, Megawati, SBY, Amien Rais, Fadli Zon, Budiman Sudjatmiko, Rocky Gerung, Fahri Hamzah, Eggi Sudjana, Kivlan Zen, Habib Rizieq, Yusril, Mahfud MD, Ahok, Anies, Gus Dur, Gus Mus, Kiai Said Aqil, Quraish Shihab, Cak Nur, Cak Nun, Syafii Maarif, Haidar Bagir, Felix Siauw, Ulil Abshar Abdalla, Tengku Zulkarnain, UBN, UAS, Natsir, Aidit, Karl Marx, Pramoedya Ananta Toer, Hamka, Bung Karno, dan tokoh-tokoh lainnya.
Karena mereka semua bisa salah, maka tidak bisa kita benarkan semua omongan, sikap, dan perilakunya. Juga tidak bisa kita salahkan sepenuhnya omongan, sikap, dan perilakunya. Lantaran mereka juga bisa benar. Jadi, mending kita lebih melihat pada pikiran, ide, gagasan, paham, nilai, dan gerak yang dibawa dan dilakukan oleh sang tokoh. Bukan malah tertawan dengan ketokohan. Ini agar pikiran kita bisa merdeka, kritis, jujur, proporsional, dan objektif dalam menilai tokoh baik ketika mereka benar maupun salah.
Kalau tokoh-tokoh tadi salah, maka sudah sepatutnya dikritik. Tentu dengan niat meluruskan. Bukan “meludahinya” dengan caci maki, dan merasa paling benar sendiri atau sampai mengulik-ulik masalah pribadinya dan mencari-cari kesalahannya yang lain. Sementara jika mereka benar, sudah selayaknya didukung dan diikuti. Tentu juga dengan cara-cara yang tidak berlebihan. Tidak lantas mengkultuskan atau mensucikannya. Sewajarnya sajalah. Karena sekali lagi, tokoh-tokoh ini bukan Nabi.
Tidak Ikut Masuk Penjara dan Kemakan Hoax
Dengan kita menyadari bahwa tokoh-tokoh tadi bisa salah, maka kita bisa tidak ikut masuk penjara bersama sang tokoh. Maksudnya begini. Bisa saja tokoh-tokoh itu melanggar hukum. Entah karena ketidaktahuan, ketidaksengajaan, atau kekhilafannya melakukannya. Kalau kita menjadi bucin, maka kita akan menganggap perbuatan tokoh itu tidak melanggar hukum. Bahkan kita turut mendukung dan mengikuti langkahnya. Akibatnya bisa berjamaah masuk bui.
Selain bisa masuk bui, menjadi bucin bisa membuat diri kita kemakan hoax. Di era banjir informasi ini, tokoh-tokoh kita bisa saja menyebarkan hoax. Mungkin saja karena ketidaksengajaan dan ketidaktahuannya. Kalau kita jadi bucin, maka kita akan langsung percaya begitu saja dengan hoax yang disebarkan sang tokoh. Karena bagi kita, apa yang disebarkan sang tokoh pasti benar atau info valid. Apalagi info itu menguntungkan kubunya dan merugikan lawannya. Maka dengan semangat 45, jempol kita akan menyebarluaskannya ke facebook, twitter, instagram, dan grup-grup whats app keluarga! Demi longsornya wibawa lawan. Sialnya, kita tidak tahu kalau informasi itu sebenarnya hoaks. Belakangan hari baru tahu ketika dilaporkan lawan ke polisi dan akhirnya kita harus menginap di penjara. Lalu kita tertunduk malu dan menyesal di pojok sel. Ya, benar, penyesalan memang selalu datang terlambat.
Tapi kalau kita bukan dari golongan bucin, maka kita akan lebih kritis dan hati-hati dalam membaca dan menyebarkan informasi dari sang tokoh tadi. Salah benarnya informasi ditelusuri dengan pencarian berbagai data dan fakta. Sehingga kesimpulan informasi itu benar atau hoax akan terjawab valid. Sehingga kita tidak kemakan hoaks. Ini semua dilakukan bukan berarti kita tidak sedang menghormati tokoh. Bukan begitu. Tapi dengan melakukan itu, justru kita membantu memberi tahu ke tokoh bahwa ini hoax loh Pak, Bu. Tokoh yang rendah hati dan open mind tentu akan senang dan berterimakasih kepada kita. Karena ia jadi tahu bahwa informasi yang disebarkannya itu hoax. Dan selanjutnya ia bakal mengklarifikasi kepada publik agar tidak ikut kemakan hoax.
Maka, mari kita segera insyaf dan mengakhiri kisah hidup menjadi bucin ketokohan. Sudah saatnya kita move on, guys di bulan Ramadhan ini!
Andi Ryansyah, Esais tinggal di Jakarta
Comments