Jika kebenaran tertimbun rapi oleh kejahatan terselubung dalam struktur-struktur kehidupan manusia, maka kebangkitan akan terus tertunda, hingga kejahatan-kejahatan tersebut menjadi suatu budaya yang tak dapat dipulihkan dengan berbagai macam perbaikan.
Lalu jika ada orang bertanya “Apa yang akan terjadi?”
Mungkin cukup pantas jika kita menjawab, “Tak kan terjadi apa-apa, sebab kita telah hilang akal dalam kebiasaan buruk yang kita budayakan penuh ketergantungan.”
Membela kebenaran, membasmi kejahatan hanya sebuah ulasan, bagai gitar yang dipetik berulang kali, hanya menggema namun tiada menggerakkan gitar lainnya. Manusia mendengar betapa Kebaikan dan Kebenaran adalah hakikat hidup yang dicari, begitu pula gitar yang hanya siap merasuki ruang lalu membentur-benturkan gelombang bunyi hingga kita mendengar benturan bunyi Indah. Mungkin saja, Kebaikan dan Kebenaran hanya keindahan, tanpa perlu kita sentuh, rawat, jaga, gerakkan, atur serta susun. Sebab,
“TERLALU BANYAK KEJAHATAN YANG DISELUBUNGKAN DALAM KEBAIKAN-KEBAIKAN.”
Sehingga
“TERLALU BANYAK KEJAHATAN YANG DISUCIKAN DENGAN RAGAM MODUS KEBAIKAN.”
Apa itu?
“KORUPSI DIBALIK KEBIJAKAN HUKUM!”
Lalu,
“MENGAPA SAMPAI ADA TIKUS YANG BERDASI? SIAPA YANG MEMBUATKAN BAJU DAN DASI BUAT TIKUS-TIKUS HINGGA MASUK KANTOR?”
Menjawabnya,
“ITU SEMUA KARENA KEBODOHAN KITA, YANG MENJUAL KEPERCAYAAN DAN NAMA-NAMA!”
Sehingga
“KEBIJAKAN TIDAK PRO RAKYAT Mengatasnamakan RAKYAT INDONESIA.”
Dialog ini merupakan satu gugatan besar bagi mereka penjajah Negeri sendiri. Pemiskinan Ide dan Pembegalan Identitas menyudutkan Pemudan dan Mahasiswa harus mentah dihadapan Publik.
“MENEGAKKAN HUKUM PADA NEGARA YANG MENJUAL BELIKAN HUKUM.”
Mahasiswa dan Pemuda menjadi Tumpul. Mengkritisi pemimpin seakan menjadi lautan hitam penuh Dosa sehingga mereka kaum intelektual harus terancam dan terasingkan di mata Nasional. Hingga Arah dan tujuan Nasional kita sibuk menutup gugatan-gugatan kritis bagi perbaikan.
“NEGERI INI SUNGGUH DILEMATIS, KEBAIKAN-KEBAIKAN DIHANTAM MAFIA.”
Tak perlu berbicara perbaikan, jika kaum intelegensia tidak memilik ruang untuk membangun bangsa bersama. Ini ulasan sebagaimana bahasa bung Hatta dalam kebebasan cendikiawan.
“HINGGA KITA DIHANTUI PROFESI-PROFESI, TAK LAGI BERBICARA PERBAIKAN, TAPI BERBICARA PEKERJAAN APA DAN MAU JADI APA SETELAH KULIAH.”
Sungguh, kaum intelektual akan putus asa, jika kepalan tangan terus mundur. Penindasan berdarah dingin atas nama struktur hukum akan terus memakan korban tanpa keadilan. Penjara tanpa keadilan akan semakin membudaya, sehingga ketidakadilan akan menjadi hukum terselubung dalam pengadilan negara kita!.
Mayoritas rakyat memilih diam, menyaksikan perampasan hak mereka dalam program dan kebijakan “YANG HANYA BAIK DARI LUAR “.
Sungguh Negeri ini mengerikan, lebih mematikan dari leukimia dan kanker. Ketidakberesan mewabah bagai penyakit Tahunan namun datang tiap waktu. Lalu, bungkam penuh putus asa adalah kematian sebelum ajal memastikan bagi kaum pecundang.
Suara Kaum intelektual mulai bergemuruh, bagai petir yang siap mencakar langit hingga menumpahkan hujan. Tapi pecahan langit mampu dibendung dengan kemesraan rupiah-rupiah.
“JIKA PEMUDA DAN MAHASISWA DAPAT DIBELI, MAKA JANGAN BERBICARA BERAPA MAHAL BIAYA MEREKA KULIAH, SEBAB MEREKA TELAH MENGGADAIKAN DAN MENGOBRAL IDENTITASNYA.”
Dan,
“TIDAK AKAN ADA KEADILAN BERBAU SEGAR, SAAT YANG SEGAR (PEMUDA DAN MAHASISWA) TELAH MENJUAL KEADILANNYA!”
Malam penuh Gugatan!
Sinta Fatimah