Penantian yang panjang kalau saya tidak berlebihan. Kesempatan datang setelah beberapa kali kejadian yang dialami oleh keluarga saya yang ada di Tembagapura Kabupaten Mimika Provinsi Papua. Tembakan senjata api bersaut-sautan waktu itu. Mungkin kita yang belum pernah ke Papua mengira kalau itu adalah petasan. Mirip bukan? Suara-suara itu? Tidak seindah petasan. Bahkan lebih mengerikan. Sempat pupus kesempatan saya untuk menemui keluarga yang sedang berlibur ke Papua. Susah buat diri saya sendiri untuk konsentrasi sementara di tempat kerja orang tua saya tidak aman. Terpisah beribu-ribu kilometer dan tidak murah biaya yang dikeluarkan untuk sekedar bertemu dengan keluarga.
Sebagai seorang mahasiswa yang katanya aktivis juga, saya memang dari sejak lalu merindukan Papua. Bukan harga tawar lagi. Segala aktivitas saya mulai dari organisasi hingga aksi turun ke jalan pernah saya lakukan. Pikiran untuk kembali ke Papua masih saja ada. Saya mengabdikan diri kepada masyarakat khususnya di daerah Jakarta karena saya kuliah di Universitas Negeri Jakarta. Bayangan baru dan lebih indah kemudian membentuk cita-cita. Saya ingin mengabdi untuk masyarakat Papua. Namun sudah 4 tahun saya meninggalkan Papua karena pendidikan yang harus saya jalani. Saya ingin melihat kembali perkembangan di tempat saya yaitu Kabupaten Mimika sejauh mana. Keluarga saya berada di Tembagapura. Maka tempat yang akan saya tuju adalah Tembagapura. Tempat aktivitas pertambangan salah satu perusahan bonafit. Namun orang tua saya hanya bekerja sebagai guru di sekolah yayasan yang dibiayai perusahaan tersebut. Yaitu perusahaan PT Freeportn Indonesia.
Tanggal 24 Januari 2018 saya berangkat pada pukul 5 pagi WIB. Biasanya penerbangan dengan tujuan Timika dilakukan sore hari. Entah kenapa di tiket menjadi dini hari. Tujuan dari pesawat Airfast (nama pesawat yang saya tumpangi) terdapat 3 lokasi yaitu Surabaya, Makassar, dan tujuan akhir Timika. Sangat melelahkan tengkuk leher. Makanan yang disediakan juga sama persis seperti makanan orang barat. Kentang daging dan bumbu yang asing di lidah orang Indonesia. Namanya juga pesawat milik perusahaan Barat. Saya yang lapar hanya bisa menikmatinya. Dengan perjalanan yang panjang dan banyak transitnya, ini menjadi perjalanan saya yang cukup melelahkan karena telah memakan 7 jam lamanya duduk di cabin.
Belum usai perjalanan karena saya baru tiba di kota Timika. Untuk itu saya sudah diberikan bukti request dari orang tua saya untuk menaiki helikopter pada tanggal 25 januari 2018 pada pukul 7 pagi WIT. Untuk menaiki helikopter saya harus gambling dengan cuaca. Kalau cuaca cerah saya bisa naik helikopter dengan waktu tempuh 15 menit. Namun, ketika cuaca tidak mendukung saya terpaksa harus menaik bus dengan waktu tempuh 2 setengah jam. Untungnya saya bisa berangkat karena cuaca sangat cerah
Ketika saya terbang dari bandara. Di ruang tunggu saya melihat sebuah plang yang bertuliskan transparasi biaya yang dikeluarkan PTFI. Saya cukup kaget dan speechless melihat nominal gila biaya yang dikeluarkan PTFI untuk mengembankan masyarakat Timika.
Itu dengan kurs dolar. Bukan rupiah. Sekali lagi bukan rupiah. Pantas saja masyarakat yang berada dekat dengan PTFI yaitu di Kabupaten Mimika mengalami kemajuan. Bagi kalian yang mengatakan bahwa PTFI merugikan masyarakat sekitar. Coba anda bermain logika. Perusahaan mana yang mau mengeluarkan dana pengembangan masyarakat dengan jumlah yang fantastis seperti itu? Dengan biaya seperti itu yang mendanai pengembangan masyarakat dari segi kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan infraksturktur, apakah masyarakat merasa dirugikan?
Perjalanan baru dimulai. Banyak hal yang bisa dilakukan di Tembagapura. Sebagai orang yang tinggal di kota metropolitan yang panas, tentu lingkungan sangat berbeda dan berpengaruh juga untuk beradaptasi. Tinggal di pegunungan bagi saya merupakan tantangan tersendiri. Selama 3 hari saja saya tidak betah. Entah kalau di Tembagapura selama seminggu sepertinya susah dibayangkan. Tetapi saya tidak ingin melewatkan pemandangan dengan banyak pepohonan yang rindang di tempat saya. Tidak boleh disisa-siakan. Dengan berbekal gawai yang kurang canggih kameranya saya mencoba mengabadikan pemandangan seperti gambar ini.
Untuk memulai adaptasi ini saya perlu memakan waktu 3-4 hari sehingga tanpa perlu menggunakan jaket saya bisa menahan hawa dingin di tempat ini. Bila anda pernah main ke Puncak. Suhu di Tembagapura kira-kira bisa 2-3 kali lipat lebih dingin daripada Puncak. Sangat terasa dinginnya bila tiba malam hari.
Perjalanan saya belum selesai. Pada lain waktu saya akan menceritakan dinamika dan hal-hal luar biasa apa yang terjadi di Tembagapura baru-baru ini. Apabila anda pernah mendengarkan berita tentang penembakan di Banti, tempat keluarga saya sangat berdekatan dengan tempat terjadinya penembakan dan penyandraan. Lalu ada longsor yang sempat menelan korban jiwa dan krisis kecil yang menimpa kota ini.
(Bersambung)