Lagi, mahasiswa UNJ diterpa angin panas yang membuat gerah, khususnya para mahasiswa yang berperan dalam kegiatan awal penyambutan mahasiswa baru (maba) atau yang lebih dikenal sebagai Masa Pengenalan Akademik (MPA). Pasalnya, MPA yang setiap tahunnya direncanakan dan dieksekusi oleh mahasiswa tahun ini diakuisisi oleh pihak birokrat. Mulai dari perencanaan hingga eksekusi sebagian besar pihak birokrat kampus yang mengurusnya, peran mahasiswa apa? hanya sebatas “membantu” proses eksekusi MPA dosen. Ya, sudah menjadi rahasia umum panitia MPA tahun ini amat jauh berbeda dengan penitia tahun-tahun sebelumnya perihal tugas yang diamanahkan.
Jika tahun-tahun sebelumnya panitia MPA berperan sebagai pemikir konsep yang luar biasa menguras pikiran, sebagai eksekutor yang luar biasa menguras tenaga, dan sekaligus sebagai kakak yang selalu siap sedia mendampingi adik-adik tercintanya, ditahun ini semua berubah 180 derajat. Tahun ini peran panitia (agak miris menjabarkannya) hanya sebatas membuka dan menutup acara, membawakan ice breaking, memeriksa kehadiran, mengarahkan maba untuk perpindahan tempat, dan menjaga barang-barang maba. Tidak ada lagi seorang kakak yang menghibah pikiran, tenaga, dan kasih sayang kepada adiknya, bukan karena mereka tidak mau tapi karena mereka tidak diberikan celah untuk menghibah itu semua.
Sekarang pertanyaannya adalah, lebih baik kah kegiatan MPA setelah semua persiapannya dipegang oleh pihak birokrat? Jawabannya belum tentu dan bisa jadi tidak. Bertepatan pada hari kamis 25 Agustus 2016 seluruh BPH BEM se-UNJ membuat forum yang khusus membahas MPA dan MPO, salah satu konten diskusinya adalah evaluasi MPA yang sudah berjalan beberapa hari ini.
Beberapa poin yang menjadi curhatan dari mahasiswa yang katanya dan memang benar adanya bukan panitia inti dari MPA tahun 2016 terkait apa yang mereka lihat dan alami di lapangan ketika MPA berlangsung.
Poin pertama adalah ketidaksesuaian tugas mahasiswa yang tertera pada poin diatas dengan kenyataan dilapangan. “Harusnya kita hanya bertugas membuka dan menutup acara, memberikan ice breaking dan lain-lainnya tapi kita malah disuruh ini itu yang diluar jobdesc yang disepakati” ujar salah seorang mahasiswa. Mungkin tidak terjadi pada semua fakultas tapi itu adalah curhatan beberapa mahasiswa dari beberapa fakultas yang berbeda. Hingga akhirnya banyak celetukan bahwa mahasiswa hanya dijadikan *maaf* kacung atau pembantu pada penyelenggaraan MPA tahun 2016 ini.
Poin kedua adalah ketidakjelasan pembagian jobdesc dosen. Perlu diingat bahwa penyelenggaraan MPA bukan hanya terdiri dari satu komponen tetapi seharusnya terdiri dari berbagai komponen yang disatukan dalam satu kepanitiaan MPA. Maksudnya adalah MPA berjalan dengan baik bukan hanya jika adanya seksi acara, tetapi juga seksi lain seperti konsumsi, HPD, medis, dan sebagainya yang bekerja secara sinergis. Mungkin hal ini dilupakan oleh para birokrat atau sosialisasi yang kurang kepada mahasiswa yang “membantu” penyelenggaraan MPA, sehingga terjadi kebingungan dari pihak mahasiswa jika ingin berkoordinasi mengenai hal yang sifatnya diluar teknis acara. Ketidakjelasan siapa dosen yang terfokus pada medis, pada konsumsi, dan hal lain yang dikeluhkan karena selama ini yang banyak dibahas hanyalah terkait teknis yang berkaitan dengan acara.
Poin ketiga adalah perihal dosen yang ditunjuk menjadi pembicara. Terdapat beberapa masalah terkait hal tersebut pasalnya ada dosen yang tidak hadir diwaktu yang seharusnya beliau menjadi pembicara dan akhirnya mahasiswa yang harus menggantikan dosen tersebut. Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah kesiapan dosen tersebut sebagai pembicara MPA 2016, yang teramati oleh beberapa mahasiswa “pembantu” MPA 2016 selama beberapa hari ini terdapat beberapa dosen yang terlihat kurang cakap untuk membawakan materi yang menjadi tanggungjawabnya. “Dosen tersebut malah bertanya balik kepada mahasiswa, kalau materinya ini biasanya yang disampaikan apa?” “kita kan juga jadi bingung” ujar salah seorang mahasiswa pada rapat BPH BEM se-UNJ. Ada juga dosen yang belum menyiapkan media untuk ditampilkan dan menyuruh mahasiswa mencari pada hari itu juga.
Poin terakhir mengenai hal yang sangat sensitif, yaitu dana. Mahasiswa yang berkerja dilapangan tidak memiliki wewenang dengan anggaran. Curhatan salah seorang mahasiswa yang bercerita panjang lebar terkait yang dialaminya pada saat mencoba mencairkan dana MPA menjadi salah satu contohnya. Di fakultasnya semua sudah disiapkan untuk dilapangan, seperti banner, souvenir dan lain sebagainya dan itu semua bukan menggunakan anggaran birokrat melainkan uang mahasiswa yang digunakan sementara selama anggaran dari birokrat belum cair. Namun semua hanya tinggal angan ketika peraturan berkata bahwa mahasiswa tidak diperkenankan mengelola anggaran untuk MPA. Sehingga ikhtiar yang bisa dilakukan untuk mengembalikan semua uang panitia yang terpakai adalah dengan mengumpulkan semua bukti transaksi yang nantinya akan disetor kepihak birokrat.
Haruskah MPA seperti ini terus? Dengan metode penyampaian materi perkelas dari pagi hingga petang, dengan tidak boleh datang kurang dari jam 6, dengan tidak boleh diperlakukan seperti ini dan seperti itu, apakah output mahasiswa baru yang diharapkan oleh birokrat? Jika semua materi yang disampaikan telah membuat birokrat yakin akan mencipta atau setidaknya menjadi awalan pembentukan generasi pemimpin masa depan, apakah semua maba akan fokus dengan penyampaian materi? Jawabannya tidak, karena beberapa panitia mahasiswa menemukan maba yang asik bermain gadget selagi dosen menyampaikan materi, ada yang asik mengobrol, dan sebagainya.
Haruskan MPA seperti ini kedepannya? Metode perkelas yang jauh dari jargon yang tahun ke tahun diteriakan dengan lantang oleh semua mahasiswa UNJ, jargon “UNJ SATU”. Satu apanya? Solidaritas macam apa yang akan terbentuk jika maba setiap harinya lebih banyak disekat oleh dinding-dinding kelas, cita tak sesuai usaha. Bercita UNJ satu nyatanya UNJ tersekat-sekat. Satu darimananya? Jika kakak yang ingin mendidik adiknya saja dipersulit usahanya, yang akhirnya sama-sama paham akan ada gap antara satu angkatan dengan yang lainnya. Jika itu definisi “UNJ SATU” yang dimaksud maka bersiaplah mendapati mahasiswa UNJ kedepannya adalah generasi yang individualis.
Namun dari semua permasalahan agenda penyambutan maba tersebut ada satu celah dimana mahasiswa dapat dominan dalam membentuk karakter mahasiswa baru 2016 yaitu agenda Masa Pengenalan Organisasi (MPO). Apakah MPO ada atau tidak? Entah. Tidak ada kejelasan terkait hal tersebut. Fakultas ini sudah jalan, di fakultas yang lain pihak birokrat dengan mahasiswanya sudah sepakat mengadakan tapi tetiba kesepakatan dihilangkan dan akhirnya MPO ditiadakan. Fakultas yang lain belum jelas tanggalnya kapan padahal liburan sebentar lagi habis. Mahasiswa digantung dengan kebijakan yang belum jelas dan cenderung dipersulit untuk mengadakan agenda tersebut.
Bersyukurlah mereka yang masuk UNJ sebelum tahun ini, dimana MPA yang dirasakan walaupun dulu saya tidak terlalu paham esensinya tapi yakin masih lebih baik dari MPA tahun ini. MPA yang lebih banyak pekikan hidup mahasiswanya dibanding duduk didalam kelasnya. MPA yang mengedepankan kebersamaan bukan kenyamanan. MPA yang tidak membuat maba “kuliah” sebelum waktunya masuk kuliah.
Terakhir tetap berjuang wahai para kakak yang saya yakin tidak ingin adik-adiknya buta dengan pergerakan mahasiswa, yang tidak ingin adiknya berkarakter manja, dan yang tidak ingin adiknya tidak paham bagaimana menghadapi dunia barunya.
Jika MPO gagal diselenggarakan jangan putus asa karena sejatinya proses pengaderan bukan terdapat dalam agenda ceremonial belaka tetapi dalam setiap interaksi yang terjadi setiap harinya.