Cahaya itu merekah, memenuhi sebuah ruang dalam penjara kota Damaskus. Membuat butiran-butiran bening di pelupuk mata mereka menjadi semakin jelas terlihat. Namun, Ibnu Taimiyyah hanya tersenyum. Kejernihan sorot matanya memberangus bara api yang terlanjur menyala di dada para muridnya. Dan besi-besi jeruji itu menjadi saksi, kata-katanya yang menggelora hingga keabadian.
“Apa yang dilakukan musuh-musuhku? Demi Allah, jika mereka memenjarakanku, inilah rehat yang nikmat. Jika mereka membuangku ke negeri antah, inilah tamasya yang indah. Jika mereka membunuhku, sebagai syahid aku disambut.” “Apa yang harus kami lakukan, wahai Guru?”
“Beberapa hari ini, Sultan telah melarang penjaga memberiku pena, kertas dan tinta. Tolong lemparkan arang-arang itu ke dalam. Sungguh, aku ingin menulis.” Sejak saat itu, di tahun 728 H, berbekal arang sebagai pena, setiap untaian kalimat itu hadir. Hingga karya besarnya yang berjudul Risalatul Hamawiyah lahir dari balik tembok penjara.
Akhir kisah hidup Ibnu Taimiyyah begitu tragis. Buku-bukunya dimusnahkan. Salah seorang muridnya, Ibnul Qayyim Al Jauziyah diarak keliling kota dengan kondisi terikat di atas gerobak sampah. Tak hanya cacian dan makian, masyarakat pun sudi meludahi dan melemparinya dengan buah busuk.
Kehinaan mungkin meliputi Ibnu Taimiyyah dan para muridnya saat itu. Namun, sejarah tak selalu beranggapan sama. Pemikirannya banyak dikaji dan dijadikan bahan penelitian. Ianya mempelopori berbagai pemikiran yang lahir berikutnya. “Ada gerakan pemurnian dan pembaharuan,” ucap salah seorang dosen ketika memberikan materi mata kuliah Tarikh Tasyri’ di dalam kelas. Beberapa literatur mengatakan bahwa gerakan pemurnian ala Muhammad bin Abdul Wahab terinspirasi dari pemikirannya. Pun demikian dengan gerakan pembaharuan Muhammad Abduh, yang banyak literatur beranggapan lahir dari akar rumput yang sama. Maka tak heran, jika kini hampir di setiap perpustakaan orang menjumpai nama Ibnu Taimiyyah. Namanya membumbung hingga gelar “Syaikhul Islam” melekat pada dirinya. Sebuah penghargaan atas keteguhannya dalam berjihad dan berdakwah.
Penjara, terlanjur melekat padanya stigma negatif. Bahkan berbagai definisi, hampir berujung pada kesimpulan yang sama, yakni bermakna tempat yang digunakan untuk menghukum pelaku kejahatan Jika memang demikian, kejahatan apakah yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyyah hingga ia harus mendekam di bui?
Namun, sejarah tak selalu beranggapan sama. Penjara dengan berbagai stigma negatifnya, malah kerapkali menjadi tempat penghasil karya. Beberapa karya luar biasa malah lahir dari balik jeruji. Kitab Risalatul Hamawiyah hanyalah sebagian kecil dari berbagai karya tersebut. “Sejarah mestilah kan berulang,” ucap Bapak Sosiologi Modern, Ibnu Khaldun. Sesuatu yang pernah dialami Ibnu Taimiyyah mungkin juga berlaku bagi sebagian orang.
Subuh itu, Senin 13 Jumadil Ula 1386 H/ 29 Agustus 1966, pria itu melangkah dengan mantap menuju tiang gantung. Meniti setiap langkah agar sampai kepada akhir hayatnya. Hal itu merupakan tindak lanjut akan vonis humuman mati yang menimpanya. “Alhamdulillah,” ucap beliau ketika vonis hukuman mati dibacakan.”Lima belas tahun lamanya aku menjadi aktivis untuk menggapai syahadah.”
Berbagai tawaran agar ia mau memohon pengampunan kepada presiden Mesir saat itu, Gamal Abdul Nasser, ia tolak dengan tegas. “Telunjuk yang bersyahadat akan keesaan Allah dalam shalatnya pasti menolak menulis satu huruf untuk mengakui pemerintahan seorang tiran,” ucapnya. Jenazahnya dielu-elukan. Namanya menyejarah dan merangsek masuk ke dalam daftar tinta emas keabadian. Ya, dialah orangnya, yang oleh pendukung Ikhwanul Muslimin menyebutnya Asy Syahid Al Hayy (Syahid yang Hidup). Dialah Sayyid Quthb.
Tak semua orang senang dengannya. Bahkan, banyak juga yang tak segan memberinya cap sebagai teroris. Pemikirannya dianggap revolusioner oleh sebagian orang, tetapi juga dianggap radikal oleh sebagian yang lain. Sepanjang hayatnya, banyak ia lalui dengan kesulitan, duka dan nestapa. Terlebih, acapkali ia keluar masuk penjara karena pemikirannya itu.
Hidup dalam jeruji besi tidaklah mudah, mestilah keras dan sulit. Ianya pasti disiksa dan disakiti. Namun, hal tersebut tidaklah membuat Sayyid Qutbh sedih atau gelisah karena sakit yang diderita, tidak mengalami depresi dan tidak terganggu jiwanya. Sebaliknya, dia justru merasakan kebahagiaan dan ketenangan selama berada dalam penjara karena ia hidup di bawah naungan Al Qur’an.
Kitab Fi Zhilal Al Qur’an yang berarti “Dalam Naungan Al Qur’an”, merupakan karyanya yang paling fenomenal yang juga lahir dari balik jerjui. Masa-masa yang panjang dalam tahanan, Sayyid Qutbh habiskan untuk membaca dan merenungi Al Qur’an. Memahami dan larut dalam kandungannya. Menitinya kata per kata, kalimat per kalimat dan topik per topik. Pengalaman pribadi sempat ia gambarkan dalam pengantar kitabnya seperti berikut ini :
“Hidup di bawah naungan Al Qur’an adalah suatu anugerah. Namun, anugerah itu hanya dapat diketahui oleh seseorang yang pernah merasakan itu. Dengan anugerah itu, umur menjadi semakin bernilai, semakin berkah, dan semakin bersih… Alhamdulillah. Allah sudah anugerahi saya pengalaman hidup di bawah naungan Al Qur’an selama beberapa waktu. Pengalaman ini belum pernah saya rasakan sebelumnya. Saya dapat menikmati sebuah anugerah yang meningkatkan nilai usia saya, berkahnya dan keluhurannya…”
Kisah penulisan tafsir di dalam bui juga pernah dialami oleh ulama kontemporer dalam negeri, Buya Hamka. “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku,” tutur Bung Karno menjelang akhir hidupnya. Tanpa pikir panjang setelah beredar berita kematian Bung Karno, Hamka langsung berangkat ke Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto. Tiada dendam dalam benak Buya Hamka, meskipun ia tahu jenazah yang akan ia shalati itu pernah menuduhnya akan melakukan pembunuhan yang membuatnya mendekam di dalam penjara.
Kondisi politik saat itu, membuat Buya Hamka tak segan memberikan teguran kepada pemerintah dari mimbar-mimbar masjid. Hal itulah yang membuat telinga penguasa menjadi panas. Hingga akhirnya, siang itu di bulan Ramadhan selepas memberikan ceramah di sebuah pengajian, Buya diringkus dan harus mendekam di penjara. Ia dituduh akan melakukan pembunuhan. Buya menyusul beberapa ulama dan aktivis Masyumi yang telah diringkus sebelumnya.
Barulah dua tahun kemudian, saat rezim berganti Buya Hamka dan berbagai tokoh ulama yang lainnya dibebaskan. Namun, suatu hal yang menarik. Jangka waktu dua tahun yang ia lalui, ia habiskan untuk merenung dan menulis. Hingga akhirnya, kitab Tafsir Al Azhar pun terlahir dari balik jeruji. Menambah daftar karya yang muncul ditulis dari dalam penjara.
“Inilah bedanya antara tokoh-tokoh ulama dan Masyumi dengan beberapa tokoh lain yang juga dipenjara oleh rezim Soekarno saat itu,” ucap Ustadz Hadi Ramadhan, peneliti pusat Kajian Dewan Dakwah Islamiyah saat berbincang di depan perpustakaan di Gedung STID M. Natsir di Jalan Kramat Raya, “Mereka, para aktivis Masyumi, ketika dipenjara oleh rezim tidak akan merasa depresi. Justru mereka merasakan ketenangan yang luar biasa. Karena jiwanya terbimbing oleh Allah swt. Lihatlah Pak Natsir (Muhammad Natsir), Pak Sjaf (Sjafruddin Prawiranegara) dan beberapa ulama yang lain, ketika keluar dari penjara mereka justru malah menghasilkan sebuah karya.”
Keterbimbingan kepada Sang Ilahi membuat mereka merasa bahagia. Tanpa tekanan. Tenang menghadapi cobaan. Hingga akhirnya, karya-karya fenomenal lahir dari jemari-jemari mereka. Mengabadi hingga ke langit. Menjadi sebuah amal yang takkan berhenti mengalir pahalanya.
Keterbatasan acapkali menjadi sebuah alasan untuk kita bergerak menebar manfaat. Padahal, segala bentuk keterbatasan yang mungkin kita lalui tidaklah ada apa-apanya. Segala penderitaan yang mungkin kita rasai, tidak ada seujung kukunya dibanding mereka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Sayyid Quthb dan Buya Hamka. Berada dalam kungkungan penjara yang sempit, pengap dan menyakitkan tidaklah mudah. Namun, hal itu tak menghalangi mereka untuk terus menebar kebaikan. Memberikan manfaat kepada sesama. Dan menghasilkan karya-karya yang tak ternilai harganya.
oleh: Suhandi, Mahasiswa IAI FIS UNJ 2015