Cerita ini akan saya buka dengan demokrasi akan melahirkan politik oligarki. Apasih Politik Oligarki? Bahasa planet macam mana itu? Bahasa planet namek kah? Sejatinya, dasar teoritis demokrasi adalah kekuasaan (kratos) berada di tangan rakyat (demos).
Yak, sesederhana itu. Tapi ternayata isi di dalamnya segala aspek pembuatan peraturan maupun kebijakan publik, rakyat, dan kepentingannya, adalah titik pijak yang paling utama. Seluruh tata politik, ekonomi, dan hukum dibuat untuk memenuhi sedapat mungkin semua kepentingan rakyat. Marcus Cicero, salah satu filsuf klasik terbesar, menyatakan, bahwa kesejahteraan bersama dari seluruh rakyat adalah hukum yang tertinggi. Filsuf Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, juga menegaskan, bahwa tujuan tertinggi dari tata politik (dan juga ekonomi) adalah kebaikan bersama (bonum commune). Kebaikan bersama? Iya apalagi kalau bukan rakyat. Sedangkan Aristoteles bilang dengan tegas, “Negara yang cacat adalah negara yang hanya mementingkan kepentingan dan keinginan penguasa politis”.
Hubungannya dengan oligarki? Istilah oligarki sendiri diambil dari bahasa Yunani, “Oligarchia”, yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit, terdiri atas kata oligoi (sedikit), dan arkhein (memerintah). Teori oligarki digunakan untuk menggambarkan kekuatan-kekuatan yang menjadi lingkar inti kekuasaan di Indonesia, yang mendominasi struktur ekonomi dan struktur politik Indonesia pasca-Orde Baru (Hadiz dan Robison, 2004). Jelas? Hubungannya di UNJ? Saat ini saya meyakini bahwa di UNJ ada kelompok-kelompok yang memang memiliki kepentingan tertentu, tendensius memang. Atau apabila tidak memiliki kepentingan tertentu minimal kepentingan mereka tidak bisa dimengerti oleh berbagai macam “rasa” yang ada di UNJ. Yah bisa dilihat beberapa komentar para pejabat Opmawa yang ada di UNJ yang cenderung menyalahkan Mahasiswa UNJ. Efeknya? Pemilu UNJ selalu ramai hal-hal yang tak substansial. Banyak orang yang tiba-tiba paham hukum. Padahal yang baru dibaca sebagian. Ketika ditanya pernah baca Ad/ART OPMAWA UNJ gak? Jawabnya enggak. Kalopun sudah ya sudah lupa kapan bacanya. Duh mas mbak, KZL tau gak. Oke pembukaan yang kepanjangan.
Peristiwa heboh kali ini dimulai dengan adanya Surat Gugatan terhadap KPU bukan Adhum KPU loh ya dari mas-mas pasangan F-A melalui Hadi Sumantri. Salah mengajukan guugatan? Tidak teman-teman. Ini masalah keadilan. Intinya mereka menuntut KPU karena ada perbedaan antara Salinan dengan yang asli. Mereka menuntut untuk menghentikan sementara proses pemilu sementara dan meloloskan berkas mereka. Panwaslu yang saya ketika itu belum mengundurkan tak terjebak tuntutan ini. Panwaslu tak memberhentikan proses pemilu. Esoknya Panwaslu memanggil pihak-pihak terkait. Ada adhum KPU, Ketua KPU, penggugat dan Panwaslu, Panwaslu mengadakan sidang.
Sidang ini baru sidang klarifikasi dan pemanggilan para penggugat dan tergugat, entah sidang ini sudah dikatekorigan sidang pelanggaran adminstrasi atau tidak (baca PO Pemilu Pemilihan Umum Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Pasal 95). Panwaslu kemudian memutuskan KPU bahwa gugatan yang diajukan masuk ke ranah Kode Etik, kenapa? Karena Adhum KPU menyatakan ketidaktahuan mereka siapa yang merubah Salinan tersebut tapi Adhum KPU menyatakan kealpaan mereka ada kesalahan di pihak mereka. Pernyataan KPU ini yang disimpulkan masuk ranah etik. Selain itu kealpaan mereka berakibat fatal bagi salah satu calon, ini juga yang membuat Panwaslu menyatakan ini masuk ke ranah etik. Karena di peraturan panwaslu jelas harus melakukan kajian bahwa Gugatan ini masuk ke ranah mana. Dan kami pun mengirimkan surat kepada DKPP untuk menyelesaikan masalah etika yang dilanggar oleh pemilu Itu yang pertama.
Yang kedua, sengketa masalah perbedaan PKPU ini menurut panwaslu tak substansial. Karena itu Panwaslu tak mengabulkan keinginan penggugat. Masalahnya penggugat terus ngotot dan tak menemukan hasil. Panwaslu mempersilahkan untuk naik ke DKPP jikalau masih ngotot. Dan ternyata benar dinaikkan ke DKPP.
Lalu masuk ke ranah DKPP yang muncul beberapa keputusan kontroversial. Yang akhirnya saya melakukan permohonan gugatan ke MTM yang isinya :
- Keputusan pemberhentian sementara penyelenggara Pemilu yang dilakukan DKPP tak ada dasar hukum yang pasti.
- Keputusan pemberhentian sementara penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan DKPP tidak sah. Menurut PO Pemilu Lembaga Ekskutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta pasal 48 poin b dan c DKPP UNJ seharusnya melakukan proses verifikasi dengan memanggil pihak-pihak terkait tapi tak dilakukan oleh DKPP.
- Keputusan yang dilakukan dalam sidang pada 30 November 2015 tidak sah karena menurut PO Pemilu Lembaga Ekskutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Pasal 94 ayat (2) Sidang Pelanggaran harus dilakukan bersama Lembaga Legislatif Mahasiswa UNJ.
- Keputusan sidang tertanggal 30 November 2015 mengenai rekomendasi Pemberhentian seluruh anggota Adhum karena melanggar Kode Etik UNJ yaitu tidak memiliki Asas Profesionalitas tidak memiliki dasar hukum yang jelas karena DKPP belum menyerahkan Kode Etik kepada KPU UNJ hingga sidang DKPP berakhir.
- Keputusan mengenai pemberian Surat Peringatan kepada Panwaslu UNJ saya anggap keliru karena tidak ada sama sekali tuntutan dari pihak manapun melalui bukti tertulis dan apabila ditemukan pelanggaran Pemilu yang dilakukan maka DKPP harus membuat sidang yang berbeda karena substansi yang dituntut oleh Penuntut (pasanga FA) berbeda.
- Keputusan untuk meninjau kembali putusan KPU mengenai tidak lolosnya FA menurut saya sangat salah kaprah. Putusan ini bisa mengakibatkan berbagai macam hal yang tidak baik bisa terjadi di masa depan. KPU jelas memiliki Legal Standing dan memiliki asas Hukum yang berkepastian tetap karena jelas KPU memiliki Legal Drafting yang sah secara hukum sedangkan yang dimiliki penggugat terhadap KPU menurut pemohon secara susunan Legal Drafting tak memiliki keabsahan secara hukum dan DKPP menyingkirkan fakta hukum seperti ini.
- Tidak adanya Rilis/Berita Resmi ketika Termohon memberhentikan Penyelenggaraan Pemilu juga telah mencederai asas Pemilu yang ada di UNJ yakni Asas Jujur yang tertuang dalam PO Pemilu Lembaga Ekskutif Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta. Pun begitu juga ketika sidang telah usai Pemohon dan beberapa saksi baru mendapatkan rilis/berita resmi lewat dari 1 X 24 Jam setelah sidang selesai.
Pengajuan permohonan gugatan saya sudah saya sampaikan kepada Sekjen MTM tinggal bagaimana nanti akhirnya pihak MTM mengabulkan permohonan saya atau tidak. Tapi sekali lagi saya tidak bermaksud untuk memperkeruh Pemilu UNJ pada kali ini. Keinginan saya hanyalah kita sama-sama belajar dan mencoba mencari keadilan dan kalau bisa menghilangkan politik Oligarki yang ada di UNJ.
Oligarki hanya kuat dalam kondisi masyarakat yang lemah secara politik.Kemiskinan dan keawaman politik masyarakat adalah kunci suskesnya oligarki. Para oligark akan terus menancapkan hegemoninya melalui demokrasi yang prosedural. Saya belajar banyak di fakultas saya yang kata seorang senior saya Demokrasi di fakultas saya masihlah hidup. Tinggal bagaimana menjaganya. Mari kawan-kawan, janganlah apatis terhadap pesta demokrasi kali ini. Mari bersama-sama kita kritisi dan kawal Pemilu UNJ kali ini dengan niat baik. Bukan menjatuhkan, sekali lagi bukan menjatuhkan.
Dengan demikian, mengutip Max Weber, kita memiliki dua jenis politisi, yaitu pertama mereka yang memilih politik demi suatu cita-cita atau yang secara populer demi idealisme; mereka hidup untuk politik, they live for politics. Kedua, adalah mereka yang memilih politik sebagai karier dari satu tingkat ke tingkat lebih tinggi. Mereka boleh dibilang sebagai politisi yang hidup dari politik, they live from politics. Politik lebih menjadi ladang tempat menanamkan kepentingan, dan mengambil keuntungan. Dan saya akan menyamakan kedudukan ini dengan mahasiswa, ada mahasiswa yang terus beridealisme hingga akhir hayatnya dan ada pula mereka mengambil keuntungan dari idealisme-idealisme yang mahasiswa miliki.
Mohon Maaf Jikalau Ada Kata Yang Salah
Wasslamualaikum. Wr. Wb.
Pulung Nugroho
Ketua Fraksi Fakultas Ilmu Sosial
Mahasiswa Geografi 2011
Narahubung : 089651636693
Comments