Tulisan ini dibuat pada awalnya berdasarkan keresahan atas polemik dan situasi yang terjadi saat ini dan bukan untuk menjustifikasi pihak yang menjunjung tinggi “prinsip prestasinya”. Sebelumnya saya mengawali tulisan ini dengan beberapa pertanyaan : Apa itu prinsip prestasi ? Apakah Afirmatitif itu? Sadarkah kita yang mengenyam pendidikan tinggi ini dapat terafirmasi oleh oligarki kekuasaan disekitar kita?.
Untuk menjawabnya saya akan mengawali dengan prinsip prestasi, Prinsip prestasi adalah teori dari Herbert Marcuse dimana teori ini adalah mendeskripsikan manusia hidup mengikuti skenario kehidupan yang telah ada yaitu manusia harus berprestasi dalam skenario yang ada disinilah manusia mulai terasing dari kebudayaannya, contohnya seperti manusia yang dituntut dalam menuntut Setinggi-tingginya guna mendapatkan standarisasi berupa ijazah dan setelah lulus dirinya dituntut berprestasi seperti menggeluti peran dan struktur yang dianggap bernilai tinggi dalam hierarki pekerjaan dan bermasyarakat. Ingin jadi apakah anda? Menurut teori ini jawabannya jelas bahwa manusia selalu ingin berada pada stratifikasi tertinggi dengan “segala upaya”. Untuk mengejar prestasi tersebut terjadilah apayang disebut sublimasi pengalihan yaitu bagaimana manusia menutupi kekurangannya misalnya pendidikan yang dienyam, kampus atau sekolahan yang dipilih, jurusan yang dia pilih meskipun tanpa melakukannya manusia tetap bisa bertahan hidup, inilah yang disebut Marcuse kepentingan yang nyata atau kepentingan yang sudah dimanipulasi itu.
Alasan manusia ingin “berprestasi” adalah karna manusia dilahirkan dari kekurangan atau disebut juga anangke, hal tersebut memunculkan adanya libido atau nafsu yaitu menusia memiliki kekurangan pada awal hidupnya dan kekurangan itu bagian yang memunculkan hasrat untuk berprestasi. Manusia telah mengalami apa yang disebut “Erotika manipulasi” karna hal tersebut, dimana ketertarikan manusia yang ada pada saat ini telah dipengaruhi oleh tuntutan akan berprestasi itu. Karena adanya tuntutan akan prestasi manusia berjuang memenuhi standarisasi yang ada dan skenario yang ada dalam mencapainya. Disinilah tanpa sadar guna berprestasi seperti agar dapat menduduki pendidikan pada perguruan tinggi manusia tanpa sadar menerima begitu saja apa yang Marcuse disebut penindasan tambahan dimana para “maha”siswa banyak yang menerima begitu saja pembayaran biaya kuliah dan proses penentuan bayaran bayaran tersebut apakah sudah sesuai dengan aturan yang ada dan bagaimana transparansi juga pengalokasian biaya kuliahnya sudah disalurkan dengan “tulus” guna kemajuan pendidikan kampusnya atau dialokasikan dengan diikuti oleh libido atau hawa nafsu pihak yang berkuasa guna melanggengkan kursi hangatnya dan apa yang disebut Marcuse prinsip prestasi tadi.
Kapitalisme juga berperan dalam menambah penindasan tambahan bagi manusia yang ingin berprestasi, seperti apa yang disebutkan oleh Ekonomi politik dalam kritik persfektif Radikal terhadap liberalisme yang “rakus” akan keuntungan dan tanpa sadar apakah kita telah terjerat liberalisme tersebut atau tidak? , dan apakah kita termasuk yang berada dalam proses liberalisasi kampus atau tidak? jika manusia bersikap apatis dan diam dalam kedzoliman karna hanya melihat usaha kawan-kawan yang merintih akan menahan beban demi menghancurkan kedzoliman itu sehingga mencapai apa yang Karl Marx sebut masyarakat tanpa kelas, yang saya maksud adalah bagaimana setiap manusia berhak menenyam pendidikan tinggi dan mendapatkan keadilan dalam proses penentuan biaya perkuliahan. Hal itu bisa terjadi jika adanya aspek humanisme manusia yang dikedepankan dalam penentuan biaya itu dan bukannya CPU dan kabel-kabel yang menentukan nasib “seberapa cerdas manusia itu”
Marcuse dalam teorinya One Domension Man atau manusia berdimensi satu menjelaskan bahwa pada awalnya manusia memiliki dua dimensi yaitu dimensi negatif yang secara tegas dan langsung menentang akan adanya kedzoliman dari penguasa dan sistem yang ada dan dimensi afirmatif yaitu dimensi yang membenarkan kekuasaan yang ada dimana dengan dimensi ini meskipun ada golongan yang menentang penguasa membuatnya menjadi lemah dengan memasukannya pada sistem dan angan-angan akan kesejahtraan guna mencapai prinsip prestasi.
Namun pada saat ini manusia secara tidak langsung masuk kedalam sistem yang ada dan hanya memiliki satu dimensi saja yaitu dimensi afirmatif, sehingga meskipun dirinya mengkritik kekuasaan yang ada namun karna dirinya masuk menjadi salah satu bagian dalam sistem atau bisa disebut yang tadinya beraliran konflik menjadi struktural fungsional manusia tidak dapat memberikan dampak yang besar karna sudah tersistematis. Mereka hanya bisa menentang lewat sistem saja yaitu berupa kritik dan saran. Namun apakah yang terjadi jika kritikan dan saran kita dibungkam dan tidak didengarkan oleh penguasa?
Disinilah peran para “calon cendikiawan” dalam menempatkan perannya dan sadar akan keadaan yang terjadi atau terdiam karna fokus pada prinsip prestasi agar dapat tercapai sesegera mungkin meski keadaan lingkungann disekitarnya sedang merintih yang penting “Aku Rapopo”. Disinilah Revolusi kebudayaan Marcuse berperan dimana masih adanya orang-orang yang menahan beban ganda atau Doubele Burden dimana dia harus mengikuti proses pendidikan yang sedang dijalaankan namun berperan juga dalan memperjuangkan hak manusia lainnya yang dapat mengancam kepentingan dirinya sendiri.
Apakah hal itu bodoh? Menurut analisis saya dengan menggunakan teori marcuse tentang Revolusi kebudayaan dimana apa yang dia sebut seni marupakan satu-satunya hal yang murni dan belum tercemari pengaruh buruk pada manusia . Serta seni membuat manusia melakukan sesuatu yang berbeda dengan manusia lainnya, Disinilah orang-orang yang memperjuangkan nasib yang lainnyalah memiliki apa yang Marcuse sebut seni yang murni tersebut.
Fauzan Indra Kusumah
Mahasiswa UNJ
editor: Oji