Seorang teman kami pernah bertanya pada dosen dalam salah satu mata kuliah di semester pertama, “Apa yang membedakan Bu, antara proses sosialisasi dengan doktrinasi?”, persoalan ini tidak lewat begitu saja dalam 30 menit waktu yang tersisa.
Berangkat dari tinjauan secara epistemologi, sosialisasi dipahami sebagai proses belajar manusia dengan kesadarannya terhadap sesuatu yang baru, baik mempelajari keterampilan, pengetahuan, dan penggunaan istilah ini lebih populer proses menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Sekilas tak ada perbedaan definitif yang tegas antara sosialisasi dengan doktrinasi. Tak dapat dipungkiri bila terminologi “doktrin” masih berkonotasi negatif oleh sebagian orang. Bahkan sewaktu duduk di Sekolah Menengah Atas ketika mendengar istilah doktrin, didoktrin, doktrinasi, pikiran kami terbawa kepada aktivitas ekstrim yaitu pencucian otak. Waw, Tapi kesalahpengertian itulah yang terkadang membuat lebih selektif mengikuti seminar atau perkumpulan yang belum pernah kami kenal sebelumnya.
Istilah doktrin, lebih spesifik menuju pada internalisasi proses berpikir. Begitu cerobohnya mengaitkan doktrinasi dengan pencucian otak, kesalahan logika yang jump to conclusion. Seorang filsuf anak zaman romantisme, G. W. F. Hegel, mengilhami bahwa doktrin masuk ke ranah ideologi manusia, yang kemudian diwujudkan melalui sistem agama (doktrin keagamaan), kebudayaan (falsafah kearifan lokal), dan nilai-nilai yang menjadi pedoman manusia dalam bermasyarakat. Siapakah manusia yang tidak percaya dan menafikan dirinya terbebas dari doktrin agama? Kecenderungan menganggap unggul kelompokya? Ataupun tak punya nilai yang menjadi prinsip hidup? Tidak ada. Maka dari itu, sejarah hidup seseorang tak lepas dari proses doktrinasi baik melalui aktivitas yang disadari maupun tidak.
Sebabnya ialah, setiap manusia mempunyai kecenderungan mencari nilai-nilai atau segala sesuatu yang menurutnya baik dan berharga serta diyakini untuk menjadi pedoman hidup. Henslin menggunakan istilah ‘kebudayaan ideal’ (ideal culture) sebagai salah satu bentuk dari doktrin, untuk merujuk nilai dan tujuan yang oleh suatu masyarakat manusia dianggap ideal atau pantas dijadikan aspirasi (Henslin, 2007:57). Sehingga keterlibatan doktrin dalam kehidupan manusia adalah keniscayaan pengaruh dan penggunaannya.
Dari sudut pandang psikologi perkembangan, naluri untuk mengkonsumsi suatu doktrin ini mencapai titik gairahnya ketika manusia memasuki tahap perkembangan dewasa dini – menunjuk dan terbukti pada kalangan mahasiswa. Sebuah tahap perkembangan manusia yang ditandai penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru (Hurlock, Fifth:246). Masa penyesuaian pribadi dan sosial, mencari jati diri dan arah hidup dengan ideal culture sebagai kompasnya. Karenanya sebagian besar diantara mahasiswa gemar memburu untuk kemudian memfilter doktrin yang sesuai dengan pemikirannya, dengan membaca buku, melalui ruang kuliah, ruang diskusi bebas, maupun dari organisasi-organisasi kemahasiswaan yang bersifat ideologis. Tak khayal mahasiswa sering mendapat label ‘golongan yang idealis’ karena dianggap memiliki nilai ideal serta memiliki kemampuan untuk memperjuangkan apa yang menurutnya baik.
Keseluruhan aktivitas ini, pergulatan berbagai macam doktrin yang terus berkembang hingga bertentangan, akan memberikan dampak. Mulai dari pergolakan pribadi hingga mencetuskan perubahan sosial berskala besar. Buktinya telah tercatat dalam sejarah diantaranya: Pertama, peristiwa revolusi Perancis yang dipicu oleh semangat rasionalisme dengan slogan “Persamaan, Kebebasan, dan Persaudaraan” (Liberte, Egalite, Fraternite). Kedua, revolusi Bolsheviks di Rusia yang dipimpin oleh Lenin melawan rezim Tsar, Lenin yang pada saat ini membawa ideologi Sosialisme Ilmiah dari Karl Marx dan menjadikan Rusia negara komunis pertama di dunia. Ketiga, kelompok Islamic State of Irac and Suriah (ISIS) yang berambisi mendirikan negara dengan konsep pelaksanaan syariat agama secara total pada semua sendi kehidupan masyarakatnya.
Contoh kecilnya yang dekat dengan mahasiswa yaitu pada momen-momen tertentu sering terpampang kutipan-kutipan heroik – dari Soekarno, Wiji Thukul, Soe Hok Gie, M. Natsir, Ernesto Guevara – beberapa tokoh yang mewarisi api revolusioner untuk membakar semangat perubahan di kaum mahasiswa. Di sisi lain memang tak jarang ada yang menggunakannya hanya sebagai kemasan untuk mencuri perhatian massa pada momen kampanye. Terlepas dari itu, setidaknya dari kumpulan fakta-fakta tersebut, dapat ditarik kesimpulan doktrin menjadi unsur pedoman manusia, dan menimbulkan reaksi massa.
Begitu banyak pilihan bagi manusia untuk menyusuri berbagai tempat di muka bumi. Kita memiliki kaki untuk melangkah dan kendaraan untuk membantu perjalanan. Carilah berbagai petunjuk agar tidak tersesat. Kemudian, tentukanlah tempat tujuan.
Oleh : Fatoni Ihsan