Tepat 2 Mei kemarin adalah Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hari dimana Ki Hajar Dewantara menperjuangkan Hak pendidikan bagi rakyat Indonesia. Bahwa pendidikan bukan hanya untuk orang belanda dan priyayi saja, namun untuk semua kalangan. Sebagaimana nilai yg diperjuangkan bapak pendidikan kita ini, maka seharusnya ruh pendidikan ini yang kita perjuangkan. Ruh bahwa setiap anak indonesia memiliki hak yang ‘’sama’’ akan pendidikan.
Bukan hanya untuk si kaya, bukan pula hanya untuk si anak kota. Bukan hanya untuk si anak yang sudah pintar, dan bukan pula hanya untuk si anak yang “normal”.
Tunggu, normal??! Iya. “Normal”. Seperti pendikotomian yang sering diungkapkan masyarakat kita. Anak normal dan anak cacat. Oh Tuhaan… Apakah mereka meragukan ciptaan Mu?. Apa mereka tak meyakini bahwa Kau tak pernah menciptakan sesuatu yang cacat, sebagaimana sifatMu yang maha sempurna?. Ah semoga saja itu hanya karna mereka belum paham.
Tak bisa kita pungkiri masih banyak masyarakat Indonesia yang membeda-beda kan anak. Si cacat. Begitu lazim nya panggilan yang mereka sebut untuk anak-anak yang “berbeda” dari anak-anak pada umum nya.
Bagi saya tak ada anak yang cacat. Karna saya yakin Tuhan tidak menciptakan sesuatu yang cacat. Setiap anak itu spesial dengan keunikan dan keunggulan masing-masing, bagaimanapun kondisi si anak. Dan setiap anak memiliki kebutuhan masing-masing disetiap pertumbuhan dan pembelajarannya. Maka, bagi si anak yang berbeda dengan anak pada umum nya, saya (dan teman-teman PLB) menyebutnya Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Dikatakan berkebutuhan khusus karna ia memiliki kebutuhan khusus dan layanan khusus untuk bertumbuh dan belajar dibandingkan dengan teman-teman nya pada umumnya.
Sejatinya kita semua dalam proses belajar. Belajar untuk menjadi lebih baik. Belajar menjadi pribadi yang mandiri dan dapat bermanfaat. Termasuk anak berkebutuhan khusus. Hanya saja, waktu yang dibutuhkan untuk si khusus ini memang lebih lama dibanding anak pada umumnya. Misalnya dalam hal mengancingkan baju. Jika anak pada umumnya mampu mengancingkan baju dalam waktu 2-3 menit, anak berkebutuhan khusus (khususnya anak tuna grahita) mungkin dapat melakukannya dalam 5-10 menit. See? Pada akhirnya mereka mampu. Mereka bisa. Hanya saja membutuhkan waktu yang lebih lama. Begitupun dalam hal lain. Intinya, tak ada yang anak pada umumnya bisa lakukan, tak bisa dilakukan anak berkebutuhan khusus. Mereka hanya menbutuhkan waktu yang lebih dan cara yang berbeda.
“Education For All” sejatinya adalah amanat Undang-Undang Dasar 1945. Bunyi dari Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu : “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Kata “setiap” diawal pasal tersebut menunjukkan bahwa tak ada satupun anak di Indonesia yang tak memperoleh pendidikan yang layak. Termasuk Anak Berkebutuhan Khusus.
Pertanyaannya, sudahkah pemerintah menyediakan pendidikan yang layak untuk anak berkebutuhan khusus? Dan sudah setarakah hak pendidikan bagi mereka yang memiliki kebutuhkan khusus untuk kita penuhi secara adil? Atau kah hingga kini kita masih sibuk dengan pendikotomian anak normal dan anak ”cacat”.
Semoga di momentum hardiknas kali ini kita bersama-sama kembali merefleksikan diri bahwa pendidikan untuk seluruh kalangan menjadi tanggung jawab bagi kita semua, tidak lagi ada dikotomi anak normal, anak cacat atau anak dalam keterbelakangan mental. Karna mereka semua punya hak yang sama dan setara.