Dalam reportase sindonews.com (23/2), Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Adjie Al Farabi memperkirakan angka Golongan Putih (Golput) pada pemilu 2019 sekitar 30%. LSI mencatat sekitar 10% di antaranya karena alasan politik-ideologis lalu sisanya karena alasan teknis-administratif. Mencuatnya banyak prediksi serta melihat tren Golput sejak tahun 1977 berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) (Fadli Ramdhanil Dkk, 2015) pada gilirannya membuat beberapa pihak khawatir persentase golput bisa jadi lebih tinggi dari 30%.

Preferensi waktu yang dipilih penulis (1977-sekarang) berkaitan dengan awal mula gerakan yang kemudian populer dengan sebutan “Golput” pasca berkumpulnya para aktivis kampus di Balai Budaya dengan tokohnya yang terkenal; Arif Budiman, pada tahun 1971 guna menyikapi pemilu yang dianggap manipulatif pada tahun yang sama, (Jurnal Penelitian Politik, Vol. 6, No. 1, 2009, hlm. 22). Secara umum angka Golput sejak saat itu mengalami peningkatan, dimana persentase Golput sejak 1977-Pemilihan Legislatif (Pileg) 2009 mengalami peningkatan; persentase Golput Pileg 2009 mencapai 29,10%. Penurunan hanya terjadi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 dan pileg 2014 yang masing-masing persentasenya ialah 28,30% dan 24,89%, yang kemudian Pilpres 2014 kembali naik, yaitu 29,01%. Dari data tersebut kekhawatiran ini berpotensi terjadi jika tidak ada langkah serius dari berbagai pihak, khususnya KPU apalagi pada tahun ini Pilpres dan Pileg diadakan bersamaan, yang boleh jadi menambah kompleksitas pemilih dalam menentukan pilihan dan pada saat di bilik suara yang pada gilirannya berpeluang memperbesar kans persentase golput.

Disarikan dari Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011, hlm. 54, Novel Ali mengklasifikasikan Golput di Indonesia. menjadi dua kelompok:

Pertama, kelompok Golput Pemilih yang disebabkan pemahaman politiknya. Kelompok ini masuk kedalam kelompok yang memilih untuk tidak memilih karena alasan politik-ideologis yang berhulu pada ketidakpuasan mereka, semisal terhadap pilihan-pilihan yang ada.

Kedua, kelompok Golput Awam yang memilih untuk tidak memilih karena alasan ekonomi, kesibukan dan lainnya, Kelompok pertama ini boleh jadi dimasukkan pada kelompok yang terkendala teknis dan administratif, karena tidak ada solusi konkret terkait pemilihan yang tidak menganggu aktivitas ekonomi, kesibukan sampai persoalan teknis-administratif.

Slogan Anti Golput yang dkampanyekan guna menghindari angka Golput yang kian ‘membuncit’ akan berpeluang mendeklinasi persentase Golput jika slogan ini tidak hanya sekadar slogan, namun harus terkonstruk dalam tindakan yang diambil, di antaranya:

Pertama, kebijakan fundamental, seperti memerhatikan soal Golput Pilihan dengan membuka kembali ruang diskursus yang fundamental semisal isu “Predential Treshold” agar calon-calon yang ada benar-benar organik dari keinginan rakyat dan kemudian diformulasikan ke dalam regulasi yang ada secara adil.

Kedua, kebijakan teknis yang strategis-solutif dari para stake holder guna memperbesar kans meningkatnya angka partisipan mulai dari soal pemindahan domisili hak pilih bagi para transmigran hingga realisasi apa yang dicanangkan KPU; melakukan sosialisasi pintu ke pintu mengenai teknis pemilihan yang cukup kompleks dengan lima surat suara.

Categorized in: