Senin (15/5/17) lalu merupakan hari yang sangat membahagiakan UNJ. Pasalnya di hari tersebut seluruh elemen masyarakat yang mendiami kampus tengah gegap gempita, dan semringah mendapati bahwa UNJ kembali memperingati fase baru dalam perjalanannya. Bagi kami yang mencintai kampus hijau, sekaligus mantan yang pernah menyandang sebagai satu-satunya perguruan tinggi negeri di Jakarta. 53 Tahun merupakan sebuah lembar, semangat, dan harapan baru. Lebih jelas, tentunya sebuah harapan yang dapat membawa UNJ lebih baik lagi.
Untuk mewujudkan harapan tersebut ternyata perlu usaha yang tidak main-main. Keseriusan merupakan ikhtiar terbesar yang membuktikan kebulatan tekad dan kemantapan niat. Pengharapan agar lebih baik sama dengan pengakuan bahwa sampai hari ini kita belum sebegitu baik. Sehingga cara yang dapat dilakukan adalah mengetahui di bagian mana yang perlu diperbaiki. Semua itu bisa diperoleh dengan melihat, dan mendengar. Melihat seperti halnya mengamati. Dimana yang kurang. Bagaimana penangannya, dan apa solusi terbaiknya. Mendengar seperti halnya bertanya, lebih peka dengan jeritan atau pendapat dari masyarakat kampus yang secara langsung merasakan hiruk-pikuk dinamikanya. Apa yang dirasa, sampai sejauh ini apa sudah sejahtera, dan seperti apa kampus yang di damba.
Termasuk di dalamnya kritik dan saran. Secara bahasa kritik adalah tanggapan yang disertai uraian dan pertimbangan baik atau buruk suatu hasil karya. Sedangkan saran adalah pendapat yang dikemukakan untuk dipertimbangkan. Maka seharusnya kritik maupun saran adalah sarana terbaik dalam rangka perbaikan menyeluruh. Di Indonesia, kritik dan saran ternyata dijamin dalam Undang-undang dasar 1945 pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Sejalan dengan yang saya paparkan sebelumnya, inilah yang dimaksud bahwa Indonesia menjamin kebebasan berpendapat masyarakatnya agar dapat mengekspresikan bagaimana keadaan Indonesia.
Namun secara mengejutkan, satu hari pascapembukaan perayaan Dies Natalis UNJ, santer tersiar sebuah gambar yang menunjukkan surat pemanggilan oleh Kepolisian NKRI Daerah Metro Jaya Resort Metro Jakarta Timur. Tertuju dalam surat tersebut adalah Bapak Ubedilah Badrun selaku Dosen Sosiologi UNJ. Surat tersebut menyatakan bahwa terlapor dimintai keterangan terkait kritik yang disampaikannya pada awal bulan mei 2017. Tulisan tersebut tersusun dalam sebuah untaian fakta dan realita berjudul “Wajah Kampus Mulai Bopeng?”. Perlu diketahui, pelapor adalah pengacara dari Rektor UNJ, yaitu bapak Hilmar Hasibuan, S.H., M.H.
Sampai disini logika saya tidak sampai. Jika saya katakan sebelumnya bahwa sarana terbaik untuk mengetahui kesalahan adalah dengan kritik maupun saran. Lalu mengapa di UNJ ketika menyampaikan kritik justru dilaporkan ke pihak berwenang?. Setahu saya UNJ ini bagian dari Indonesia. Sedang di Indonesia peraturan tertingginya adalah UUD 1945. Jelas di dalamnya diterangkan bahwa kebebasan berpendapat dijamin dalam pasal 28E ayat (3). Maka undang-undang tersebut juga berlaku di UNJ. Terlebih UNJ merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya membudayakan iklim kritis dan analitis. Lantas ketika diungkap sebuah fakta mengenai kondisi kampus saat ini apakah itu adalah sebuah bentuk penghinaan?. Bahkan pencemaran nama baik kampus?.
Bapak Ubedilah Badrun dilaporkan dengan undang-undang pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (1) UU no. 11 tahun 2008 tentang ITE yang berbunyi “ setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” juncto “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama enam (6) tahun dan /atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Disertakan dengan Pasal 310 KUHP atau Pasal 311 KUHP. Yang menyatakan “(1) barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp300,- (tiga ratus rupiah). (2) jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak Rp300,- (tiga ratus rupiah). (3) tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.
Pada Pasal 311 KUHP disebutkan pula “(1) jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat (4) tahun. (2) pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 No.1-3 dapat dijatuhkan”.
Inilah tuduhan yang disangkakan pelapor terhadap terlapor. Perthatikan pada pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (1) UU no. 11 tahun 2008 tentang ITE. Garis bawahi kata “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Sekarang apakah mengatakan bahwa UNJ harus puas dengan peringkat ke-60 dari 100 adalah penghinaan?. Itu adalah fakta dari Kemenristek Dikti RI tahun 2016. Kemudian terkait temuan BPK terkait penggunaan anggaran kampus, apakah merupakan sebuah pencemaran nama baik atau penistaan?. Sekali lagi, itu adalah fakta. Lihat lagi pasal 311 ayat (3) KUHP. Garis bawahi “demi kepentingan umum”. Ini adalah bentuk keresahan seseorang atas masih bobroknya keadaan kampus, sekaligus itikad baik agar para pimpinan dan masyarakat kampus mengetahui bahwa kampus ini butuh perbaikan dalam segala aspek.
Lantas mengapa itikad baik tersebut dimaknai sebagai penghinaan. Kritik berasal dari internal kampus harusnya disambut dengan baik. Bagaimana jika kritik langsung datang dari luar kampus. Bukankah justru dipertanyakan. Sekarang begini kondisinya, jika seorang akademisi saja ketika berpendapat langsung dilaporkan dan diberi surat pembungkaman serta ancaman pidana, lantas apa yang terjadi jika dikemukakan oleh mahasiswa? Drop out? Atau dikategorikan sebagai tindak kriminal? Atau dipidanakan juga?.
Seperti yang saya sebutkan tadi, Indonesia sudah menjamin kebebasan berpendapat individu, lantas mengapa kampus yang notabenenya sebagai rimba pemikiran, tempat berkumpulnya ribuan intelek muda, calon penata beradaban menolak adanya kritik. Ingat, bahwa ini zaman reformasi. Apakah relevan jika pendapat dibungkam, dan yang berpendapat diancam akan pidanakan. Maka merugilah bangsa yang hari ini sama saja dengan hari kemarin.
Saya yakin bahwa seluruh mahasiswa UNJ dan elemen masyarakatnya memiliki kecintaan yang sangat besar terhadap kampus ini. Sehingga segala ekspresi adalah bentuk kecintaan kami kepadanya. Maka, kenapa untuk menanggapi ekspresi kami harus dengan aparat represif yang bertindak untuk mengamankan masyarakat?. Apakah kami dianggap makar?. Atau mengganggu keamanan masyarakat?.
Teruntuk seluruh pimpinan Universitas Negeri Jakarta yang sangat saya hormati, saya cintai, dan saya doakan agar selalu dapat menjadi pemimpin yang baik, serta diridhoi Allah SWT, harapan saya dan teman-teman lain tolonglah anggap kami sebagai bagian dari UNJ. Ajaklah kami berdiskusi bersama untuk membangun peradaban Indonesia yang baik, dimulai dari kampus kami sendiri. Tidak ada maksud kami menghina atau menistakan kampus dimana kami menuntut ilmu dan merasakan miniatur negara dari dalamnya. Maka, saya harap setelah ini tidak ada lagi bentuk pembungkaman opini, namun berubah lebih baik menjadi audiensi masyarakat UNJ atas ekspresi yang kami hasilkan.
Sekian yang dapat saya sampaikan, sangat besar harapan saya agar tulisan ini dimaknai sebagai itikad baik dari masyarakat UNJ untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik. Karena yakinilah bahwa semakin keras kami ditindas, maka semakin kuat kami melawan. Tetapi jika kami di dengar, maka kami akan berupaya maksimal untuk berkontribusi. Jangankan kepada kampus, lebih luas lagi. Harta, jiwa, dan raga kami rela kami dermakan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
Sumber : Moeljatno. 2003. KUHP. Jakarta: Bumi Aksara.
Oleh : Nadya Rizma Septiarini