Selayaknya hari-hari besar nasional maupun internasional, hari pendidikan nasional menjadi sebuah momen langka setiap tahunnya. Di setiap peringatan hari besar, maka banyak kalangan yang memperingati hari tersebut dengan berbagai cara. Jika kemarin pada tanggal 1 Mei (May Day) banyak buruh yang memperingati dengan melakukan aksi turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi mereka sebagai buruh, maka apa yang kita lakukan sebagai insan pendidikan di negeri ini pada hari ini? Apakah peringatan Hardiknas hanya berupa sekadar perayaan yang bersifat seremonial dan hanya dihiasi oleh upacara semata?
Dari tahun ke tahun kegiatan rutinitas dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) selalu berulang hanya begitu-begitu saja dengan orasi normatif tanpa memberikan solusi yang nyata dan ide-ide bagi pencerahan kemajuan pendidikan. Satu hal yang pasti baru dalam kegiatan peringatan tersebut yaitu tema, namun tetap saja hampa, gersang dan tiada arti.
Penampilan perlente dan necis para pembina upacara bak orator ulung di atas podium tidak lebih dari sekadar menggugurkan kewajiban saja dalam melewati hari sakral yang disebut Hardiknas. Sejatinya, hari peringatan ini adalah momentum untuk introspeksi diri tentang sejauh mana kita semua (seluruh elemen masyarakat) telah berkiprah dalam mengemban amanat,tugas dan tanggung jawab dalam melayani dan memenuhi hak dasar para anak bangsa dalam menerima pendidikan. Karena menurut Anies Baswedan selaku Mendikbud RI : ‘’Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah “dosa” setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini…’’
Tanggal 2 Mei yang kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional merupakan hari lahir Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Indonesia yang pemikirannya menjadi benih bertumbuhnya pendidikan Indonesia. Ki Hajar Dewantara mengumandangkan pemikirannya tentang pendidikan Indonesia, yaitu Ing Ngarso Sing Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani, dan menerapkannya dalam sekolah Taman Siswa. Inisiatif tersebut menjadi awal bentuk reformasi pendidikan di Indonesia.
Jika Ki Hajar Dewantara berfokus pada pendidikan yang berbasiskan pada guru, maka tokoh pendidikan Indonesia lainnya, yaitu Moh. Syafei menggagas pendidikan keterampilan yang sarat dengan praktek melalui pendirian pusat pendidikan INS Kayu Tanam di Sumatera Barat, yang kemudian menjadi dasar pengembangan sekolah vokasi dan kejuruan di Indonesia. Apa yang telah dilakukan oleh Moh. Syafei pun merupakan salah satu bentuk awal dari reformasi pendidikan di Indonesia.
Kita mengenal pendidikan semenjak kita kecil hingga beranjak dewasa. Saat kita tua pun nantinya pendidikan akan tetap ada. Sebagai salah satu sarana pencerdasan bagi masyarakat, pendidikan seharusnya sudah melekat di bangsa ini mengingat umur yang sudah cukup banyak di angka 70 tahun lebih kemerdekaan Republik Indonesia. Ironisnya, masih banyak kalangan yang belum terjamah pendidikan formal di negeri ini seperti yang seharusnya. Seperti yang ada di dalam konstitusi Indonesia, bahwa tujuan negara ini adalah salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa. Apa ada yang salah dengan semua ini, dengan sejauh ini kemerdekaan bangsa kita? Bahkan bukankan ketika kita dijajah oleh Belanda dan Jepang, sejatinya karena kita bodoh. Kita bukan makhluk berpendidikan yang memiliki pola pikir tinggi sehingga tidak bisa seenaknya diperlakukan dan dijajah oleh bangsa lain.
Ketika Pendidikan Menjadi Otokritik Semua Kalangan
Nampaknya hari pendidikan nasional menjadi otokritik tersendiri bagi semua kalangan negeri ini. Kami semua setuju, jika memang salah satu pihak yang harus lebih dievaluasi adalah kinerja pemerintah sebagai penyedia layanan pendidikan. Masih banyak program yang belum menjangkau masyarakat luas di ujung timur Indonesia sana. Bahkan, di Pulau Jawa yang katanya pembangunannya sudah maju pun masih bisa kita temui banyak anak sekolah yang harus menantang maut agar bisa bersekolah menuntut ilmu. Apa kita tidak malu kepada mereka yang berjuang mati-matian demi masa depan mereka? Jika kita punya hati, tentu itu adalah hal yang sangat ironi, tetapi sekaligus menjadi cambuk bagi kita semua agar memperhatikan betapa pentingnya pendidikan. Kita hendaknya bersyukur kepada Tuhan YME karena dahulu ketika bangsa kita mengalami penjajahan ada kalangan-kalangan berpendidikan yang sadar betapa kita sedang dijajah. Itu lah memang sudah menjadi hakikat pendidikan.
Untuk para pejabat di negeri ini, sadarlah bahwa sudah bukan waktunya lagi kau ‘bermain’ kepentingan jika tak ingin melihat bangsa kita ini hancur lebur. Apa kau tidak berpikir, jikalau kau selalu berpikir kepentingan individu dan golonganmu, sementara rakyat menjerit dengan keras kehidupan mereka tidak berjalan seperti yang seharusnya, engkau pun akan hancur bersama rakyat nantinya. Karena kau hanya diperbudak oleh nafsu dan kepentingan. Mulailah berpola pikir kesejahteraan bagi bangsa kita. Ubah pola pikirmu itu wahai para pejabat yang terhormat.
Untuk para orang tua, sadarlah bahwa hidup anakmu itu bukan hanya soal mereka bisa mencari pekerjaan. Ketika mereka sudah mempunyai pekerjaan tanpa mementingkan pendidikan, dengan sendirinya pun mereka dan engkau akan hancur karena mereka tidak memikirkan nasib negeri ini. Kita akan hancur bersama karena hanya menjadi budak negara lain yang pola pikirnya maju dan rakyatnya makmur.
Untuk para pelajar dan mahasiswa, sadarkah kau bahwa sekolahmu itu bukan untuk main-main. Orang tuamu itu sudah bersusah payah ingin agar anaknya tidak seperti orang tuanya yang tidak sekolah. Orang tuamu ingin anaknya menuntut ilmu dan membawa perubahan yang berarti bagi bangsa Indonesia. Karena ketika kau bisa merubah bangsa ini menjadi bangsa yang rakyatnya sejahtera, bangsa ini akan bangga memiliki peajar sepertimu. Hey kau mahasiswa yang apatis, idealis, akademis, aktivis, sadarkah bahwa kau ada dibangku kuliah untuk apa? Bukankah kau ‘didudukkan’ di kursi itu untuk menuntut ilmu? Silahkan belajar, berdemo, berdiskusi, bermain layaknya anak muda, tapi jangan kau lupakan hakikat pendidikan yanng sedang kau enyam itu. Karena peran pemuda sangatah berharga bagi bangsa ini kedepannya.
Setidaknya hari pendidikan menjadi sebuah refleksi bagi kita semua bahwa kita terhimpit dalam pelik strata kasta manusia. Masih terjebak lingkup hitam membuai mata. Anak muda bingung kemana mereka harus membawa dirinya pergi karena mereka sudah terjebak dalam sistem industri. Pola pikirnya hanya lahir, sekolah, bekerja, mati, sistem hidup pun berpatok pada materi. Sepenggal frasa dari sebuah lagu yang menyuarakan perubahan itu layak kita resapi. Pendidikan untuk semua kalangan, semua kalangan untuk pendidikan.
Ayo Nyalakan Pelita, Terangkan Citacita
Hari Pendidikan Nasional ini kita rayakan karena kita termasuk di antara yang sudah merasakan dampaknya. Maka pada bulan Mei ini, di mana Hari Pendidikan Nasional terletak, ayo kita ikut bergerak, ikut terlibat dalam memperluas dampak pendidikan terhadap saudara-saudara sebangsa yang belum sepenuhnya merasakan kesempatan itu. Karena itulah pada tahun ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI memilih tema “Nyalakan Pelita, Terangkan Citacita” sebagai tema keriaan Hari Pendidikan Nasional. Kita semua ingin pendidikan benar benar berperan sebagai pelita bagi setiap anak Indonesia yang akan membuatnya bisa melihat peluang, mendorong kemajuan, menumbuhkan karakter, dan memberikan kejernihan dalam menata dan menyiapkan masa depannya.
Kepada semua yang telah merasakan manfaat pendidikan dan di bulan pendidikan ini, mari sapalah para pendidik kita dulu. Tanyakan kabarnya, ucapkan terima kasih dan tunjukkan apreasiasi pada mereka, para pendidik dan pejuang pendidikan. Lalu mari sama-sama kita tetapkan bahwa ikhtiar memajukan pendidikan akan kita lanjutkan dan kembangkan.