Setiap bangsa memiliki warisan budaya sendiri. Setiap bangsa memiliki keinginan mewujudkan peradaban yang lebih tinggi. Peradaban yang tinggi selaras dengan generasi cerdas. Tentu saja generasi cerdas tidak tumbuh dengan sendirinya. Generasi cerdas dipupuk sejak dini; masa kanak-kanak. Banyak orang bilang masa kanak-kanak adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidup. Pada masa itu, kehidupan seolah menari dengan indah. Mengalir saja tanpa berhenti. Tetap hidup tanpa kenal redup. Namun, tidak semua anak merasakan masa yang sama. Mungkin sebagian merasakannya, bisa jadi sebagian lagi tidak.
Anak akan berpeluang tumbuh baik dengan rasa kasih sayang dan kepedulian dari keluarga dan lingkungan. Pengaruh keduanya sangat besar. Namun, tidak semua anak merasakannya. Bahkan ada sebagian dari mereka yang justru mendapatkan perlakuan sebaliknya. Semua kisah memiliki alur yang berbeda dan setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan itu semua. Kasih sayang, kepedulian, bahkan hak untuk bersenang-senang. Namun, apakah semua anak di dunia sudah merasakannya?
Pengertian anak dalam Kamus Besar Bahasa Iindonesia (KBBI) adalah manusia yang masih kecil. Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun 1973, pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on The Right of The Child tahun 1989 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai 18 tahun (Huraerah, 2006:19).
Berdasarkan referensi di atas, dapat dikatakan bahwa anak pada umumnya adalah manusia yang belum dewasa. Setiap anak masih membutuhkan jalan untuk berproses menuju kehidupan di masa depan. Sudah mampukah anak membimbing dirinya sendiri untuk menentukan masa depan dengan pilihannya sendiri?
Tepat tanggal 23 Juli lalu, hari anak kembali menyapa semua anak di Indonesia. Satu hari yang melambangkan betapa berharganya anak sebagai warisan negara. Perayaan hari anak diselenggarakan berbeda-beda di setiap negara. Di Indonesia, hari anak ditetapkan pada tanggal 23 Juli sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984, sedangkan dunia memperingati setiap tanggal 1 Juni. Sementara, hari anak universal diperingati setiap tanggal 20 November. Bagaimanapun, memperingati hari anak sangatlah penting, sekaligus bertujuan untuk menghormati hak-hak anak di seluruh dunia.
Jika melihat perayaan hari anak di Indonesia, sudahkah kita ikut merayakannya? Atau justru diam tergugu tak mau tahu. Sebagai kawula muda sekaligus mahasiswa yang sejatinya memiliki integritas sosial, sudahkah diri kita membantu mereka untuk membangun mental demi negeri?
Universitas Negeri Jakarta yang sudah dikenal sebagai kampus pendidikan dengan motto “Building Future Leader” yang artinya membangun pemimpin masa depan―sekaligus melahirkan generasi cerdas. Hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak bangsa akan menjadi tanggung jawab kita semua, sebagai calon pendidik anak bangsa sekaligus ‘orang tua’ kedua, calon guru―khususnya mahasiswa dalam bidang pendidikan―sudah harus mampu memiliki soft skill dan peran untuk anak bangsa. Di masa depan, kita akan sering bertatap muka dengan anak-anak bangsa sebagai penerus masa depan, jika saat ini belum dimulai, lalu kapan? Haruskah menunggu sampai kita benar-benar mendapat gelar sebagai sarjana pendidikan?
Sebagai calon guru, kita harus mampu melihat isu perkembangan saat ini, tidak hanya melihat, tetapi juga turut berempati dan berpartisipasi. Melihat kampus pendidikan pada hari anak tanpa perayaan sesungguhnya mengetuk pintu hati. Sedikit ironis, karena kenyataannya tidak jarang menemui anak-anak jalanan yang berjualan tisu, memulung, sampai ngamen untuk membiayai kehidupan mereka. Sungguh miris, bukan?
Sedikit kemungkinan bahwa perayaan hari anak di kampus jarang terpikirkan, tetapi jika ditinjau lebih dalam rasanya ketidakmungkinan tersebut harus dihapuskan. Anak yang akan dididik mungkin tidak semuanya berusia anak-anak, tapi dalam dunia pendidikan, seseorang yang dipandang belum dewasa masih tergolong anak-anak. Beberapa calon guru akan mengajar anak usia pubertas sampai remaja, tapi sejatinya merekalah yang disebut anak―anak didik.
Pada dasarnya, perayaan hari anak di kampus pendidikan tidak perlu dirayakan secara meluas, dan mungkin lebih dikhususkan untuk ruang lingkup anak seperti PAUD, PGSD. PLS, dan sebagainya. Perayaan ini mungkin bisa dikemas dalam bentuk festival anak-anak. Untuk ruang lingkup sekolah tingkat menengah pertama sampai atas, bisa diadakan workshop mengenai betapa pentingnya masa depan, sekaligus membantu mereka untuk memulai merancang impian mereka. Karena, pada tingkat ini mereka sudah menganggap diri mereka bukan anak-anak lagi, melainkan remaja. Oleh karena itu, orang yang sudah dewasa harus membantu mengarahkan mereka, karena bagaimanapun kontrol emosi dan ego mereka masih belum stabil.
Jika selama ini pemerintah sudah menegaskan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1, bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, maka paling tidak kita dapat membantu merealisasikannya. Misalnya, membantu anak kurang mampu untuk dapat mengenal pendidikan. Sebab pendidikan adalah pondasi utama dalam kehidupan. Pendidikan tidak melulu didapat dari instansi formal, melainkan bisa dikembangkan dari sisi non-formal ataupun informal. Anak-anak tidak hanya terpaku untuk belajar di sekolah saja, tetapi anak-anak bisa mendapat banyak pengalaman dari kesehariannya. Sebab pada usianya, mereka memiliki kemampuan yang lebih tanggap untuk menyerap dan mengenal apa yang ada di lingkungannya. Selain itu, pendidikan pertama yang harus ditekankan adalah menanamkan ajaran agama, moral, sopan dan santun serta etika dan tanggung jawab dari melalui keluarganya.
Betapa pentingnya pendidikan. Pendidikan yang berkualitas akan membawa pengaruh besar kepada negara itu sendiri. Indonesia merupakan negara berkembang dan masih merangkak menuju pendidikan yang lebih baik. Hari anak hadir untuk memperingati para anak dengan berbagai karakter, dan lebih condong kepada penanaman kepribadian karakter. Pembentukan karakter tidak berbuah instan, melainkan dibantu dengan pendidik. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa dan calon pendidik masa depan, sudah seharusnya kita mulai memikirkan nasib anak-anak penerus bangsa. Pendidik harus pandai mendidik muridnya, tapi juga harus pandai mendidik dirinya sendiri. Pendidik yang baik bukan hanya memberi ilmu, tetapi mampu dan pandai menanamkan ilmu.
Oleh : Dian Fitriani