Secara bahasa, Integrasi berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh. Sedangkan kaum adalah suku bangsa atau golongan orang dan laknat adalah sebuah kutukan. Dalam kesatuan kalimat, integrasi kaum laknat adalah pembauran golongan orang yang terkutuk. Dalam terminologinya, terkutuk adalah kondisi yang menyebabkan celaka atau bencana. Maka bersatunya orang-orang yang dapat membawa bencana atau malapetaka dapat mengurung atau memenjarakan Indonesia dari kemajuan peradaban.
Tercatat hingga tahun 2017 dari segi kekayaan negara di seluruh dunia yang dinilai berdasarkan GDP (Gross Domestic Product) versi Bank Dunia, Indonesia harus puas mendapat peringkat ke-118 dengan GDP Perkapita sebesar US$ 3.475 per tahun. Berjarak cukup jauh dengan Malaysia yang bergerak ke posisi-66 dengan GDP Perkapita sebesar US$ 10.538 per tahun. Dengan demikian tak ragu lagi Indonesia dapat disimpulkan sebagai negara yang belum maju dari segi ekonomi. Bagi semua negara, landasan ekonomi merupakan hal yang sangat vital. Karena ibarat mata air, ekonomi yang lancar dapat mengairi sawah diladang dan membantu pertumbuhan tanaman hingga layak tuai.
Padahal dari segi sumber daya, banyak orang yang mengungkapkan bahwa Indonesia negeri yang gemah ripah loh jinawi, tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya, menjadi sebuah paradoks jika disandingkan dengan fakta kondisi ekonomi saat ini. Semua dapat bersumber dari kegagalan dalam merencanakan dan mengelola ketersediaan sumber daya alam. Banyak faktor yang mendorong terjadinya kegagalan tersebut. Adapun faktor yang paling memberi andil besar adalah dari pengelolanya. Diatas itu, ialah pimpinannya.
Ditangan orang yang kreatif, sampah dapat memiliki nilai ekonomis. Bahkan dikembangkan menjadi bentuk baru yang memiliki daya manfaat. Namun ditangan orang tak berilmu, berlian sekalipun justru dapat menjadi sampah yang tak bernilai. Disinilah urgensinya. Ternyata Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang dapat membuka jalan dan dapat melihat potensi kekayaan Indonesia. Daya kreatif, itulah solusinya. Kecintaan besar pada negeri beserta rakyatnya, itulah kunci agar semua lapisan masyarakat dapat merasakan hasil olah kekayaan indonesia.
Memang indonesia sudah berproses. Sumber daya alam yang dimiliki senantiasa berputar. Masuk pasar, lalu mendapat pemasukan. Namun yang perlu diperhatikan adalah seberapa banyak output yang kita peroleh, dan seberapa banyak input yang telah dikorbankan. Ketidaksesuaian antarkeduanya itulah yang menjadi penyebab tidak maksimalnya perekonomian di Indonesia. Berkaca dari kasus PT. Freeport yang kontraknya masih hidup sampai tahun 2021, ini adalah contoh perniagaan yang tidak menguntungkan. Indonesia memberikan input berupa hasil tambang mentah, kemudian dijual kepada pihak asing dengan murah. Setelah mengalami pengolahan oleh pihak asing, nilainya menjadi sangat tinggi. Miris, Indonesia ikut membeli produk tersebut dengan harga jual yang baru.
Sampai disini, semua dapat terjadi karena “deal-deal-an” politik yang luar biasa. Maka seorang pemimpin di indonesia selain wajib memahami konsepsi ekonomi kerakyatan, mutlak juga hukumnya menerapkan politik kerakyatan. Seorang pemimpin negeri, yang kini disulap namanya menjadi jajaran presiden, menteri, dan para dewan yang terhormat seolah terbuai dengan tinggi tingkat beserta derajat. Tak ayal, ini sudah menjadi satu mata rantai. Rezim sudah memulai jalannya sejak orde lama, berganti orde baru, hingga reformasi yang dianggap akan menjadi surga bagi rakyat. Melansir, seperti hal rezim sebelumnya, jika ide reformasi masih ternodai dengan semangat manusia laknat sebelumnya, jangan salahkan akan ada satu bentuk revolusi baru demi sejahteranya Indonesia. Maka saat ini perlu diingatkan kembali bahwa presiden, menteri, beserta para jajaran dewan yang terhormat adalah pelayan bagi rakyat. Realitanya ketika para pelayan memutuskan satu kebijakan, justru sang raja (rakyat) yang kemudian menjadi payah.
Percayalah bahwa Revolusi Mental yang digadang dan menjadi janji politik saat Presiden Jokowi kampanye tidak akan terwujud jika hanya sebatas konsep. Pelaksanaannya juga hanya akan menjadi pemborosan anggaran jika tak ada revolusi niat yang kuat dari pimpinan yang seharusnya menjadi teladan bagi sang rakyat. Itulah yang penting dan sangat diperlukan. Teladan bagi rakyat. Bagaimana mau revolusi mental jika pelakonnya saja hanya intergrasi dari kaum laknat yang akhirnya mengurung kemajuan peradaban indonesia.
Sebagai solusi, kita harus memborbardir kerangkeng yang menahan pergerakan dan kemajuan bangsa. Inilah tantangan nyata bagi setiap pemuda Indonesia. Mampukah kemudian kita merombak keberadaan manusia laknat, menjadi manusia kuat yang mendorong bangsanya semakin hebat. Sasarannya tidak hanya kerabat, lebih luas, nama mereka adalah rakyat.
Oleh : Nadya Rizma Septiarini
http://rznadyaa.blogspot.co.id/