Kesalahan telak para minoritas pengusung komunis di kampus ini adalah berusaha menyandingkan konsepsi antara komunisme dan Islam yang jelas-jelas berbeda. Saya telah menjelaskan mengenai konsep keadilan sosial dalam Islam. Ammar menjelaskan mengenai konsep siyasi dan ketatanegaraan dalam Islam. Sejauh ini, tak ada bantahan yang serius atas gagasan saya dan Ammar tersebut. Tak ada pula yang menjelaskan secara mendetail secara konseptual dimana letak kesamaan Islam dan komunisme, baik itu dalam perspektif sejarah, sosiologis, agama, ataupun perspektif yang lainnya. Padahal itu yang saya dan Amar tunggu-tunggu.
Setidaknya, mereka menggunakan 3 dalih apriori dalam menyandingkan bahwa Islam sama dengan komunis. Pertama, menganggap bahwa Islam dan komunisme sama-sama melawan kezhaliman. Oleh sebab itu, Islam dan komunis menjadi sama. Kedua, komunisme melawan penindasan, Islam juga melawan penindasan. Oleh sebab itu juga, mereka menganggap komunisme tidak berbeda dengan Islam. Ketiga, Islam menolak riba, komunis pun sama. Sama-sama menolak riba. Oleh sebab itu, Islam sama dengan komunis.
Dalam menjawab tuduhan di atas, perkenankanlah saya mengajukan beberapa kerangka konseptual. Semoga menjadi pencerahan.
Pertama, jika Islam dikatakan melawan kezhaliman, saya sepakat betul dengan hal ini. Dalam buku Fiqih Jihad karya Dr. Yusuf Qardhawi, dikatakan bahwa para ulama mengatakan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal ketika dipenjara karena menolak menyebut Al-Quran sebagai makhluk, dan ia mendapatkan penyiksaan, seorang penghuni penjara bertanya kepadanya tentang hadis-hadis yang menerangkan para penolong orang-orang zalim serta azab Allah yang kelak akan menimpanya. Lalu Imam Ahmad memberitahukan bahwa hadis-hadis tersebut sahih. Orang itu bertanya, “Apakah kau melihat orang sepertiku ini termasuk para penolong orang-orang zalim?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak, kau tidak termasuk para penolong orang-orang yang zalim. Para penolong orang-orang yang zalim itu hanyalah orang yang menjahit bajumu untukmu, menyiapkan makananmu untukmu, dan memenuhi kebutuhanmu. Adapun kau termasuk orang yang zalim terhadap dirimu sendiri”. (Lihat juga dalam Shaid Al-Khathir, h. 429; Al-Kaba’ir, h. 104; dan Ihya’ ‘Ulum Al-Din (2/13)
Dalam sebuah hadist sahih, Nabi Saw bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami akan menolongnya karena ia dizalimi, lalu bagaimana kami menolong orang zalim?” Beliau menjawab, “Mencegahnya dari kezaliman, karena itu adalah pertolongan untuknya”. (HR Al-Bukhari dari Anas r.a.)
Bahkan, di hadist lain, Rasulullah bersabda; “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011.) Dalam hadits ini, setidaknya mengandung 4 hal; Pertama, mengajak pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran termasuk jihad. Kedua, menasehati pemimpin yang zalim termasuk jihad. Ketiga, jihad itu bertingkat-tingkat, ada yang lebih utama dari yang lain. Dan keempat, bolehnya berhadapan dengan pemimpin yang zalim ketika ia berbuat zalim dengan mengajaknya pada kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran.
Jika dilihat pada persoalan komunis dan Islam sama-sama melawan kezhaliman dan oleh sebab itu ia bisa disamakan, dalih ini secara langsung bisa tertolak. Pertama, bisa dilihat dari landasan mengapa melawan kezhaliman. Penolakan Islam terhadap kezhaliman adalah semata-mata untuk menegakkan al-haq dan melawan kemungkaran, yang orientasi akhirnya adalah menegakkan kalimat Allah. Bukan pembebasan pada manusia, tetapi pembebasan kepada penyembahan selain Allah. Dalam perspektif komunisme, saya tak yakin tujuan akhirnya adalah seperti itu. Kedua, dalam hal kesamaan ini, berlaku kaidah universalitas dalam agama. Sebagai contoh, jika Islam mengajarkan ummatnya untuk tidak mencuri dan berzina, di agama lain seperti Kristen, Hindu, dan lain-lain, juga mengajarkan pengikutnya untuk tidak mencuri dan berzina. Begitupun dalam agama-agama lain. Ini kaidah universal dalam beragama. Saya khawatir jika logikanya sesederhana itu, -yang mengatakan bahwa Islam sama dengan komunisme-, nanti juga ada ideologi atau agama lain juga mengaku sama dengan Islam dengan berdasar pada logika-logika yang sederhana seperti itu.
Padahal, persoalan perbedaan antara Islam dan komunisme adalah terletak pada persoalan akidah. Islam adalah Ad-din yang diridhai Allah kerena kelurusannya, diketahui dari ciri-cirinya. Perbedaannya dengan agama lain begitu kentara, terutama telah dimulai dari terminologi asasi yang menjadi ruh awal penggerak penganutnya hingga membangun sebuah kesatuan sistem kehidupan yang sempurna dan lengkap.
Ad-din sebagai kata diulang setidaknya sebanyak 92 kali di dalam Al-Qur’an. Kata ad-din mengandung makna agama, kepercayaan, tauhid, hari pembalasan, tunduk, dan patuh. Debtor atau creditor (da-in) memiliki kewajiban (dayn), berkaitan dengan penghakiman (daynunah) dan pemberian hukuman (idanah), yang mungkin terjadi dalam aktivitas perdagangan (mudun atau mada-in) dalam sebuah kota (madinah) dengan hakim, penguasa, atau pemerintah (dayyan), dalam proses membangun atau membina kota, membangun peradaban, memurnikan, memanusiakan (maddana), sehingga lahirlah peradaban dan perbaikan dalam budaya sosial (tamaddun). (Lihat dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, hlm. 68.)
Keseluruhan makna dengan akar kata DYN memiliki hubungan secara konseptual, kesatuan makna yang tidak terpisahkan, dan semua ini terkait dengan upaya menghambakan diri (dana nafsahu) yang bermuara kepada Ad-Dayyan yang merupakan sifat Allah bermakna Yang Maha Kuasa (Al-Qahhar), Hakim (AlQadhi). (Lihat Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1119, hlm. 1470, dalam Wido Supraha, Konsep ad-Din)
Sampai disini, saya anggap klaim pertama sudah clear. Dan tak perlu diperpanjang lagi. Saya akan lanjutkan dengan menjelaskan perihal klaim kedua.
Perihal komunisme melawan penindasan, Islam juga melawan penindasan. Sebenarnya untuk yang kedua ini sudah saya ulas dalam tulisan sebelumnya (Menolak Komunisasi Islam), begitupun dalam tulisan Amar (Menjawab Tulisan Komunis Musuh Islam). Tapi, perkenankan saya untuk mengulasnya kembali.
Konteks pembebasan kaum tertindas dalam Al-Qashash [28] ayat 5, adalah pembebasan terhadap kuasa lain selain Allah. Di Qur’an, banyak sekali ayat-ayat yang menyebutkan kata “bani Israil”, “ahli kitab”, “yahudi”, dan lain sebagainya, tetapi Quran justru lebih banyak menceritakan pengingkaran kaum tersebut terhadap ajaran Tuhan. Ayat tersebut menceritakan mengenai kabar gembira akan datangnya seorang Nabi (Musa ‘alaihissalam) bagi kaum Bani Israil, yang kelak akan membebaskan mereka dari kekejaman Fir’aun. Dan mengantarkan risalah penghambaab terhadap Tuhan. Di tulisannya, Amar menjelaskan bahwa pembebasan kaum mustad’afin yang dimaksud oleh komunis, lain dengan yang dimaksud oleh Islam, khususnya Rasulullah Musa ‘alaihissalam. Pembebasan yang dimaksud Musa, dan juga semua Rasul, adalah soal kebebasan bertauhid dari segala anasir selain Tuhan, yang dituhankan atau mengaku Tuhan.
Sebab Allah berfirman; al-haqq min rabbika (Kebenaran dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada Tuhanmu), atau pada selain Tuhan. Ini berarti “dari” adalah asal, berlaku di segala masa, di segala situasi ruang dan waktu. Segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah mengandung nilai kebenaran.
Islam tidak mengiginkan masyarakat tanpa kelas. Tetapi Islam menginginkan masyarakat yang berkeadilan. Islam menetapkan kaidah-kaidah keadilan sosial, menjamin hak-hak fakir miskin yang ada dalam harta orang-orang kaya. Islam juga menjamin kepemilikan pribadi, namun juga mengharuskan ummatnya untuk peduli pada sesamanya. Islam juga membuat peraturan untuk melindungi hak tersebut dari pencurian, perampasan, ataupun penipuan dengan berbagai cara, dan menetapkan hukuman atas kejahatan tersebut untuk menjamin hak pemilikan pribadi sepenuhnya dan mencegah orang dari mengincar harta kekayaan orang lain. (Lihat dalam Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dalam Islam, hlm. 13 dan 117)
Islam menentukan aturan yang adil dalam masalah hukum dan pengaturan harta, tidak membutuhkan an caman-ancaman. Islam tidak menganjurkan manusia untuk meninggalkan hak mereka atas pemilikan tanah dengan sekedar menunggu janji di surga nanti. Bahkan Islam mengancam orang-orang yang membiarkan hak-hak mereka yang wajar, tidak diberikan oleh orang lain, karena tekanan apa pun, dengan adzab yang sama dan menamakan mereka sebagai “orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri”. (QS, 4:97)
Dalam klaim ketiga, mereka mengatakan Islam menolak riba, komunis pun sama. Sama-sama menolak riba. Oleh sebab itu, Islam sama dengan komunis. Saya akan coba jelaskan.
Pertama, saya tak yakin dalam komunis mengenal konsep yang disebut riba’. Sebab konsep riba hanya asli, genuine, hanya ada dalam Islam. Meskipun saya paham mungkin mereka mengatakan itu dalam maksud lain. Tetapi apapun itu, saya yakin, namanya pasti bukan riba’. Entah apapun itu namanya.
Kedua, pengertian riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan (al-ziyadah), berkembang (an-numuw), meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al-‘uluw). Dengan demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi pinjam meminjam, bahkan tambahan dalam transaksi jual beli yang dilakukan secara batil juga dapat dikatakan sebagai riba. Jenis riba pun bermacam-macam. Dalam kondisi tertentu hukum riba bahkan bisa lebih berat dosanya dibandingkan dengan berzina. “Satu dirham riba yang dimakan seseorang dengan sepengetahuannya itu lebih berat dosanya dari pada tiga puluh enam berbuat zina.” (HR. Ahmad).
Sampai disini, saya harap urusan klaim-mengklaim mengenai komunis sama dengan Islam dapat selesai.
***
Saya berharap ini adalah tulisan saya yang terakhir dalam pembahasan persoalan ini. Sebab alangkah lebih baiknya jika kita semua fokus pada hal-hal lain yang bersifat konstruktif. Saya sadar bahwa saya tak lebih tahu tentang komunisme melebihi Andika. Beliau banyak sekali membaca referensi mengenai Komunisme. Meskipun sebenarnya, dari lubuk hati saya yang terdalam, saya merindukan Andika untuk sama-sama membaca al-Qur’an, atau shalat berjama’ah di Mushalla ICA.
Saya memang tak suka bacaan mengenai komunis, sebab saya lebih tertarik pada buku-buku seperti Fiqih Jihad karya Dr. Yusuf Qardhawi, atau buku-buku lain karya ‘ulama Ikhwan. Persoalan bahwa komunis tak seseram seperti yang Andika ucapkan, saya tak akan banyak komentari. Sebab biarkan fakta sejarah berbicara dalam lima tahun di awal kekuasan Lenin, atau berkaca dari pemberontakan PKI di Madiun.
Dari tulisan-tulisan saya, Ammar, Andika, Mega hingga Naufal, sesungguhnya memperlihatkan secara jelas bagaimana cara kami berpikir dan memandang dunia. Apa yang saya, dan Ammar lakukan adalah upaya pembersihan nama Allah atas klaim-klaim yang tidak benar tentang suatu ideologi tertentu. Secara sederhana, antara saya dan Amar, dan Mega, Naufal, hingga Andika menggunakan worldview yang berbeda. Jika kami mengakhiri tulisan dengan ucapan “wallahu a’lam”, karena kami memahami bahwa Allah-lah yang memiliki segala pengetahuan. Tetapi mereka secara gamblang mengatakan, “salam pembebasan kamerad!”. Disinilah letak perbedaan kami.
Kalau saya, dan Amar menggunakan referensi dari Quran, hadits, hingga para ‘ulama, tabi’in, dan buku-buku ‘ulama konteporer. Maka mereka, tak jauh-jauh mendiskusikan tentang agama dari orang-orang seperti Marx yang tidak bersyahadat, Freire, Foucault, bahkan H.R. Gibb atau banter-banter, kata Ammar dari orang-orang seperti Edward Dermenghem, Alfred Guillaume, maupun Roger Garaudy. Sehingga, wahyu menjadi produk pemikiran yang debatable dan tidak suci.
Padahal, secara gamblang, tidaklah berlebihan juga jikalau orientalis seperti H.R. Gibb menyatakan; “Islam is indeed much more than a system of theology, it is complete civillization”. Islam telah membentuk suatu khazanah keilmuan yang gemilang, dengan wahyu sebagai basis pemikirannya. Wahyu kemudian dielaborasi menjadi konsep-konsep keilmuan di berbagai bidang dalam Islam. Dengan ilmu pulalah umat Islam membangun pandangan hidup yang kemudian menata sebuah peradaban (civilization).
Cara pandang mengenai dunia inilah yang secara sederhana dapat kita pahami sebagai “worldview”. Jika kata “worldview” dapat kita terjemahkan secara sederhana menjadi “pandangan hidup”, maka “the worldview of Islam” dapat kita maknai sebagai “pandangan hidup Islam”. Susunan frase ini menunjukkan adanya eksklusivitas yang berarti bahwa pandangan hidup ini berasal dari Islam dan tidak sama dengan selainnya. Konsekuensinya, hanya Islam-lah yang mengajarkan worldview yang satu ini, dan hanya Muslim yang memahaminya-lah yang dapat menggunakannya dengan benar.
Di Barat yang sekuler, persoalan agama, filsafat dan moralitas memang selalu diperlakukan secara ‘khusus’. Di satu sisi, orang tak dapat menerima pandangan seputar kesehatan dari mereka yang tidak mempraktekkan gaya hidup sehat. Ceramah tentang bahaya kanker yang menghadirkan seorang narasumber yang justru perokok berat, misalnya, akan dipandang absurd. Akan tetapi dalam hal agama, rupanya telah dianggap wajar jika seorang ateis atau orang yang tidak taat beragama ikut mendiskusikan agama yang tidak pernah dipraktekkannya itu. Demikian juga filsafat dan moralitas didiskusikan oleh mereka yang hidupnya jauh dari hal-hal tersebut. (Lihat dalam makalah Akmal Sjafril, The Worldview of Islam, hlm. 1)
Agamalah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan besar yang tak mampu dijawab oleh akal manusia. Manusia yang hidup di dunia tak bisa membayangkan akhirat jika agama tidak menjelaskan eksistensi akhirat dan mendeskripsikannya. Jika hanya berpegang pada pancaindera dan akalnya, manusia takkan mampu membayangkan akhirat, apalagi Tuhan. Yang tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan adalah: bagaimana manusia menjalani hidupnya jika ia tidak memiliki pengetahuan sedikit pun tentang akhirat dan Tuhan? (Ibid, hlm. 5)
Manusia memahami dunia dan menghayati keberadaan akhirat berdasarkan ajaran agama. Agama pula yang menyadarkan manusia bahwa Allah SWT tidak menciptakan dirinya sendirian, melainkan hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Allah-lah yang menghendaki agar manusia tidak berbuat zalim kepada sesama makhluk-Nya, termasuk juga kepada benda-benda mati. Manusia memahami hakikat cobaan, amanah, kebaikan dan keburukan, semuanya juga berdasarkan ajaran agama. Tanpa bimbingan agama, manusia akan kehilangan arah.
Islam adalah ajaran yang jauh lebih dalam daripada sekedar seperangkat aturan kerja yang bersifat mekanis, melainkan juga menawarkan sebuah metodologi berpikir yang sangat komprehensif yang membimbing akal manusia untuk mengenali kebenaran sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, sejauh apa pun akal mampu menjangkau, seorang Muslim tidak pernah meninggalkan wahyu Allah. Pandangan hidup itulah yang menyebabkan cara berpikir dan perbuatan seorang Muslim berbeda dengan mereka yang ingkar (kafir). Inilah yang disebut sebagai ‘the worldview of Islam’.
Jika didalami, banyak sekali ayat al-Qur’an yang mengatakan; “afalaa tatafakkaruun, afalaa ta’qiluun, afalaa ta’lamun,´afalaa tubshiruun,” Dan sekian banyak ayat yang menyatakan keutamaan sebuah ilmu, termasuk di antaranya perintah untuk mencari ilmu. Manusia, dituntut untuk senantiasa berpikir mendalam atas realitas berdasarkan wahyu. Kehidupan, yang berlangsung antara subjektivitas diri dan realitas fenomena yang tadi didasarkan atas pandangan hidup Islam akan senantiasa berputar dan berkembang secara sinergis sehingga membentuk Peradaban Islam, yang oleh al-Attas katakan, pandangan hidup Islam adalah “The vision of reality and truth that appears before our mind’s eye revealing what exixtence is all about; for it is the world of existence in its totality that Islam is projecting.”
Islam dibangun atas dasar akidah yang kuat, keilmuan yang mendalam, lalu kemudian menjadi suatu peradaban yang gemilang. Jikalau kita memandang Islam sebagai Worldview, maka tentulah hati, perkataan dan perbuatan akan mencerminkan apa arti seorang muslim yang sebenarnya. Islam adalah pandangan hidup. Islam adalah peradaban itu sendiri.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ahmad Firdaus