Proyek reklamasi teluk Jakarta sudah dimulai sejak era pemerintahan Presiden Suharto dengan dikeluarkannya Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Provinsi DKI Jakarta. Keputusan Presiden tersebut merupakan aturan yang bersifat khusus yang mengatur tentang reklamasi pantai utara Jakarta. Kekhususan Keppres tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung sebagaimana tercantum dalam Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011.
Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 menjelaskan bahwa Gubernur DKI Jakarta diberi kewenangan dalam hal memberikan izin reklamasi. Keppres tersebut juga memberikan kuasa kepada Gubernur DKI Jakarta sebagai Ketua Pengendali untuk membentuk Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta (BP Pantai Utara Jakarta) guna melaksanakan reklamasi pantai utara Jakarta.
Adanya Keppres No. 52 Tahun 1995 ditindaklanjuti oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan mengeluarkan Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta. Dalam Peraturan Daerah tersebut dijabarkan lebih rinci mengenai perencanaan reklamasi.
Pada tanggal 19 Februari 2003, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dahulu bernama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Surat Keputusan Menteri tersebut mewajibkan Gubernur DKI Jakarta untuk tidak memberikan izin reklamasi. Keputusan tersebut dikeluarkan berdasarkan pada temuan Komisi Penilai AMDAL (Analisis dampak lingkungan) yang dibentuk kementerian sejak tahun 1996 hingga tahun 2002. Komisi Penilai AMDAL menemukan bahaya dari adanya reklamasi pantai bagi keberlangsungan ekosistem sekitar serta dampak bagi masyarakat sekitar khususnya para nelayan.
Keputusan menteri Lingungan Hidup tersebut memicu pertarungan sengit di pengadilan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang didukung oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan beberapa lembaga lingkungan hidup lainnya melawan para perusahaan pengembang. Pertarungan berlangsung dari tahun 2003 hingga tahun 2011.
Perusahaan pengembang geram dan menggugat Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta. Pada tanggal 11 Februari 2004, PTUN mengeluarkan Putusan Nomor: 75/G.TUN/2003/PTUN.JKT yang membatalkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003.
Kementerian Lingkungan Hidup segera mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negeri (PT TUN) Jakarta. Pada tanggal 03 Februari 2005, PT TUN Jakarta mengeluarkan keputusan Nomor: 202/B/2004/PT.TUN.JKT, yang menguatkan Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta Nomor: 75/G.TUN/2003/PTUN.JKT.
Kekalahan di tahap pertama dan tahap banding mendorong Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pada tanggal 28 Juli 2009 mengabulkan kasasi dengan mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109 K/TUN/2006 yang membatalkan Putusan PT TUN Jakarta Nomor: 202/B/2004/PT.TUN.JKT. Sesuai Keputusan Kasasi Mahkamah Agung tersebut, maka upaya reklamasi harus segera dihentikan.
Perusahaan pengembang segera mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Hingga akhirnya Mahkamah Agung memenangkan kubu perusahaan pengembang dengan dikeluarkannya Keputusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 pada tanggal 24 Maret 2011. Keputusan tersebut membatalkan putusan kasasi dan mengizinkan royek reklamasi Pantai Utara Jakarta untuk tetap dilanjutkan.
Dalam Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 dijelaskan bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Mahkamah Agung menyatakan bahwa berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1995, Menteri Negara Lingkungan Hidup tidak memiliki wewenang untuk membatalkan reklamasi. Hal tersebut dikarenakan fungsi Menteri Negara Lingkungan Hidup hanyalah sebagai Anggota Tim Pengarah, yang bertugas mengarahkan Badan Pengendali Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang diketuai oleh Gubernur DKI Jakarta.
Lebih lanjut Mahkamah Agung menjelaskan bahwa dalam hal terdapat kelemahan AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), maka yang berwenang menghentikan proyek adalah Presiden RI melalui Peraturan Presiden bukan melalui Keputusan Menteri. Hal tersebut dikarenakan proyek tersebut didasarkan pada dasar hukum Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 yang secara tata urutan perundang-undangan berada di atas Keputusan Menteri sebagaimana diatur dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 yang diputuskan pada tahun 2011 menandakan sekaligus mengukuhkan bahwa Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 tidak bertentangan dengan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, yang berlaku pada tahun 2011. Dengan demikian kewenangan memberikan izin reklamasi pantai utara Jakarta tetap pada Gubernur DKI Jakarta.
Pada tanggal 10 Maret 2008 ditengah proses jalannya persidangan anatara Kementerian Lingkungan Hidup dan perusahaan pengembang; Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pada Lampiran X Penetapan Kawasan Strategis Nasional Angka 20 tercantum bahwa DKI Jakarta termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN).
Pada tanggal 12 Agustus 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur). Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pasal-pasal pada Keppres No. 52 Tahun 1995 sepanjang yang terkait dengan penataan ruang dinyatakan tidak berlaku. Peraturan Presiden tersebut tidak menggugurkan Pasal 4 Keppres No. 52 Tahun 1995 yang berisi kewenangan Gubernur DKI Jakarta dalam memberikan izin reklamasi karena tidak terkait dengan penataan ruang sebagaimana dikukuhkan pada Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011 pada tanggal 24 Maret 2011.
Pada tahun 2012 atau satu tahun setelah dikeluarkannya Amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 PK/TUN/2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pasal 16 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 menjelaskan bahwa menteri Kelautan dan Perikanan diberi kewenangan dalam memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), kegiatan reklamasi lintas provinsi, serta kegiatan reklmasi pada pelabuhan yang dikelola oleh pemerintah pusat.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung memalui keterangan resminya sebagaimana terdapat pada laman resmi Sekretaris Kabinet RI menyatakan bahwa Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tersebut secara jelas hanya mencantumkan Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) yang menjadi kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam hal izin reklamasi. Dengan demikian reklamasi di pantai utara Jakarta masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah DKI Jakarta mengingat Jakarta tidak masuk dalam Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT), melainkan masuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) sebagaimana tercantum dalam Lampiran X poin 20 Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2008 yang dikeluarkan pada tanggal 10 Maret 2008.
Pada tanggal 12 Januari 2012, Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengesahkan Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Menindaklanjuti Peraturan Daerah tersebut, Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 19 September 2012 mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 121 Tahun 2012 Tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Proyek reklamasi sempat dihentikan ketika PTUN Jakarta pada 31 Mei 2016 memutuskan bahwa Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta harus ditunda karena tidak memenuhi ketentuan peraturan yang ada. Namun, di awal September 2016, Gubernur DKI Jakarta beserta beberapa kementerian menyatakan akan tetap melanjutkan proyek reklamasi dan akan mengajukan banding ke PTTUN Jakarta atas putusan PTUN Jakarta.
Lika-liku perjalanan proyek reklamasi terus menjadi perhatian luas khususnya dari para aktifis lingkungan. Akankah reklamasi terus berjalan? Atau justru akan permanen diberhentikan? Mari kita kawal agar segalanya sesuai dengan ketentuan perundangan yang ada.