Euforia Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan dilaksanakan secara ada tanggal 17 April 2019 kian terasa semakin hari. Kedua pasang calon presiden (capres) semakin gencar dalam melakukan kampanye. Daerah-daerah kecil dan golongan-golongan kecil tak luput dari perhatian kedua pasang.
Visi misi disampaikan, program-program baru diluncurkan, kunjungan-kunjungan dilakukan setiap harinya guna menarik perhatian mensukseskan kampanye pilpres. Masing-masing capres bahkan membuat simbol pendukung dengan nomor urut menggunakan jari. Hal inilah yang kini menjadi polemik di lingkungan masyarakat.
Pasangan nomor urut satu dengan jempol sebagai simbol dukungan atasnya, sedangkan nomor urut dua menggunakan jempol dan telunjuk sebagai simbol atas dukungannya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan simbol yang dibuat oleh kedua pasang capres, pasalnya pembuatan simbol merupakan bentuk daripada harapan atas dukungan masyarakat terhadap kedua pasang capres dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun ini. Namun yang menjadikannya polemik adalah bagaimana respon dari masyarakat terhadap simbol-simbol tersebut.
Berswafoto adalah hal yang sangat digemari oleh hampir semua orang, terlebih para remaja. Berbagai pose akan ditunjukkan saat bersua foto guna memperindah hasil foto. Namun belakangan bersua foto menjadi hal yang cukup membingungkan bahkan menyusahkan bagi sebagian orang. Pasalnya, semenjak semenjak nomor urut pemilihan presiden (pilres) ditetapkan pengangkatan jari saat bersua foto tak ayal menjadi sorotan. Terutama bagi orang-orang yang memiliki pengaruh di lingkungan masyarakat.
Sabtu, (15/12/18), Gubernur DKI Jakarta bapak Anies Baswedan menyambut kedatangan suporter klub sepakbola Persija Jakarta yang sedang melakukan konvoi penyerahan Piala Gojek Traveloka Liga I di depan balaik kota DKI Jakarta.
Sekilas tidak ada yang aneh dari kedatangan bapak Anies sebagai gunernur setempat, namun menjadi sorotan ketika beliau mengakat jari jempol dan telunjuknya kala itu. Aksi beliau saat mengangkat kedua jari tersebut sontak menjadi sorotan publik. Bahkan Bawaslu sampai memeriksa dengan detail terkait hubungan pengangkatan kedua jari tersebut dengan pemilihan pilpres yang akan datang. Namun pihak partai Gerinda mengakatan bahwa tidak ada yang salah dengan pose bapak Gubernur DKI Jakarta ini. Jari yang diangkat memang jari jempol dan telunjuk, namun bukan dua tetapi empat karena jari yang diangkat tidak hanya di satu sisi tamgan melainkan di kedua sisi.
Contoh kecil lainnya, mahasiswa yang ditanyai terkait kesiapannya menghadapi ujian akhir oleh dosennya ia mengangkat jari “jempolnya”, namun sang dosen justru mengatakan “Bagus, nomor satu memang yang terbaik”. Ada juga remaja yang saat berswafoto dengan temannya mengangkat kedua jarinya “telunjuk dan jari tengah” kemudian tersenyum dihujat oleh keluarganya yang menganggap bahwa anaknya berbeda haluan dengan keluarganya yang merupakan pendukung nomor urut satu.
Lucunya negeri ini, uniknya masyarakat ini, segala hal dapat dijadikan polemik. Hal kecil jadi besar, hal besar justru diperkecil.
Bagai “gajah dipeluk mata tidak kelihatan, tapi semut diujung jalan justru terlihat”.
Dari ketiga situasi di atas jika kita lihat dari sisi yang lebih sederhana, situasi pertama jari “jempol dan telunjuk” merupakan ikon klub sepakbola Persija sejak dulu, dan tidak ada salahnya seorang gubernur setempat mengekspresikan euforia dengan menggunakan ikon tersebut.
Situasi kedua jari “jempol” yang diangkat oleh mahasiswa tersebut bisa saja menandakan “ya pak” atau “saya siap pak” atas pertanyaan kesediaannya. Dan situasi terakhir remaja mengangkat jari “telunjuk dan jari tengah” saat bersua foto hanyalah sebagai salah satu ekspresinya kala itu, karna foto yang diambil banyak maka posenya pun berubah-ubah secara refleknya.
Durratur Ramdhani
Mahasiswi Konsentrasi Komunikasi Penyiaran Islam, Prodi Pendidikan Agama Islam, Universitas Negeri Jakarta 2016
Comments