Tepat hari ini selasa, 16 mei 2017 lagi-lagi beredar sebuah berita duka di kampus UNJ. Beredarnya berita terkait surat pemanggilan salah seorang dosen sosiologi UNJ (Pak Ubedilah Badrun) oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangan perkara tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik. Kejadian ini seketika membuat resah masyarakat kampus, bagaimana tidak ? Surat pemanggilan ini hadir dua pekan setelah Pak Ubed mengeluarkan tulisan berjudul “Wajah Kampus Mulai Bopeng?”, sebuah tulisan yang di dalamnya berisikan beberapa fakta mengenai kejadian yang terjadi di UNJ saat ini.

Menyikapi kejadian atas surat pemanggilan Pak Ubed, sangat disayangkan jika kejadian seperti ini harus terjadi di kampus yang kental dengan pergerakannya ini. Kampus merupakan tempat berkumpulnya orang-orang pintar, para intelektual, dan bahkan para filsuf.

“Tidak heran jika kampus selalu dipercaya menjadi pusat persemaian intelektualitas yang berkontribusi pada dunia kehidupan”.

(Listiyono Santoso, Kampus dan Tanggung Jawab Intelektualitas).

Kejadian yang terjadi di kampus hari ini seolah-seolah memaksa masyarakat kampus untuk kembali mengingat luka lama yang pernah terjadi dalam sejarah kampus, terkait di Drop Out nya Ketua BEM UNJ 2015 (Ronny Setiawan) yang hanya karena mengkritisi penguasa kampus dan juga adanya pelarangan mobil sound mengelilingi kampus oleh pihak birokrat kampus padahal mobil sound hanya sekedar ingin melakukan agitasi masa aksi.

Anehnya, kritik yang ditujukan kepada petinggi kampus hari ini dianggap sebagai salah satu pencemaran nama baik. Padahal semestinya, pejabat sekelas rektor dan jajarannya seharusnya paham secara moral-politik bahwa kritik sekeras apapun dari pihak mahasiswa dan dosen harus dipandang sebagai kontrol terhadap kekuasaan. Bukankah seorang pemimpin itu besar karena kritikan ?

Bertambah panjangnya daftar pembungkaman kebebasan berpendapat di kampus menandakan bahwa penguasa kampus juga seperti gagal paham membaca zaman. Di era demokrasi ini, para penguasa kampus yang memiliki deretan gelar akademis panjang layaknya gerbong kereta api malah mempertontonkan sikap anti kritiknya. Padahal jelas, kebebasan berpendapat ini dilindungi oleh konstitusi tertinggi negara yang diatur dalam Pasal 28e Ayat 3 UUD 1945 dan diperkuat oleh UU No. 9 Tahun 1998.

Melihat beberapa kejadian yang terjadi di kampus ternyata benar pernyataan Robertus Robet dalam artikelnya yang berjudul “Anti Intelektualisme di Indonesia”, bahwa negara kita sedang terjangkit gejala penyakit anti intelektualisme. Menurutnya, anti intelektualisme adalah gejala penolakan atau setidaknya perendahan terhadap segala upaya manusia untuk mengambil sikap reflektif, berpegang konsep, ide, atau pemikiran. Anti intelektualisme pada dasarnya adalah anti pikiran dan anti kritik.

Wahai seluruh elemen kampus UNJ, mari sama-sama kita membuka mata dan akal pikiran kita untuk memahami bahwasanya kejadian yang terjadi di kampus hari ini menandakan bahwa kampus kita sedang tidak baik-baik saja. Adanya sikap anti kritik oleh penguasa kampus akan membuat kampus semakin sulit untuk kita harapkan menjadi lokomotif moral dan intelektual bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa.

Pergerakan mahasiswa hari ini berhasil membuat panik rezim penguasa kampus. Oleh karena itu mari sama-sama terus kita gelorakan suara-suara kebenaran, katakan hitam jika hitam dan katakan putih jika itu putih. Karena sejatinya gerakan kita tidak akan lemah hanya karena pembungkaman dan pelemahan. Justru hal inilah yang akan menjadi batu loncatan dan pemacu semangat dalam melanjutkan estafet perjuangan.

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subeversif dan menggangu keamanan. Maka hanya ada satu kata : LAWAN !!!”

(Wiji Thukul).

Hidup Mahasiswa !!!
Bidup Rakyat UNJ !!!

Sulaiman
Mahasiswa UNJ

Categorized in: