Rasanya, agak janggal memang bagi saya untuk menyandingkan terminologi “intelektual” dengan “kesadaran palsu” secara bersamaan. Argumentasinya, saya percaya dengan apa yang Antonio Gramsci katakan, bahwa puncak dari kesadaran manusia adalah ketika dirinya menjadi seorang “intelektual”. Agen yang berpikir dalam struktur masyarakat. Intelektual adalah mereka yang sadar akan posisi dan statusnya dalam masyarakat. Intelektual adalah mereka yang sepenuhnya sadar. Lalu, mentransfer semangat itu ke dalam diri masyarakat.
Tapi, setelah berpikir cukup lama, saya rasa sepertinya gejala kesadaran palsu dengan intelektual menjadi layak untuk diperbincangkan dalam situasi sosial masyarakat kita hari ini.
Titik tolak situasi masyarakat yang berada dalam kesadaran palsu ini berawal dari pemikiran Marx yang melihat sistem ekonomi abad modern sebagai pijakan untuk menentukan posisi mereka dalam masyarakat. Marx menjelaskan, sejak dulu, hanya ada dua kelas dalam masyarakat, yaitu masyarakat kelas borjuis dan kelas proletar. Dalam dikotomi kelas ini, Marx seolah ingin menjelaskan bahwa determinasi ekonomi terjadi antara orang yang punya segalanya (kekuasaan, alat produksi, dan lain-lain) dan masyarakat biasa yang tidak memiliki apa-apa.
Marx merujuk kesadaran manusia menjadi dua macam, yaitu “kesadaran palsu” dan “kesadaran kelas”. Kesadaran kelas merujuk pada sistem kepercayaan yang dimiliki bersama oleh mereka yang menempati posisi kelas dalam masyarakat. Kesadaran kelas tidak merujuk pada satu individu. Tetapi dia menjadi milik sekelompok orang yang berada dalam tempat serupa, situasi yang serupa, dalam suatu sistem produksi. Konsep kesadaran kelas menyiratkan adanya, paling tidak dalam kondisi yang mendahului, yaitu kesadaran palsu.
Ketika seseorang menyadari dirinya sebagai subjek yang berpikir, ketika dia menyadari kondisinya berdasarkan basis rasionalitas dan posisinya dalam masyarakat, ketika itulah seseorang memiliki kesadaran kelas. Secara bersamaan, kesadaran dirinya yang membentuk keadaan dan keadaan dirinya jugalah yang kemudian membentuk kesadaran. Ketika seseorang berada dalam kondisi yang tertindas, namun kehilangan kesadaran diri terhadap posisi dan statusnya di dalam masyarakat dan merasa situasi di sekitar itu baik-baik saja padahal sebetulnya tidak, disitulah kondisi ketika seseorang terjebak dalam kondisi kesadaran palsu.
Seiring berjalannya waktu, banyak para pemikir modern yang mencoba mendefinisikan ulang “kesadaran”, dan sedikit menyesuaikannya dengan semangat dan situasi zaman yang berlaku. Salah satu di antaranya adalah Antonio Gramsci. Gramsci melihat titik pandang “kesadaran” tidak hanya bisa difokuskan pada kapitalisme, tetapi juga bisa diterapkan dalam kondisi kehidupan yang lain.
Gramsci mengakui bahwa ada sejumlah keteraturan sejarah, namun ia menolak gagasan perkembangan sejarah yang otomatis dan tak dapat terhindarkan. Jadi, katanya, massa harus bertindak untuk mewujudkan revolusi sosial. Namun untuk bertindak, masyarakat perlu menyadari situasi mereka dan hakikat serta sifat sistem yang mereka jalani. Gramsci menggunakan konsepsi yang agak “elitis”, dimana kesadaran perlu dibangun oleh para intelektual dan selanjutnya diperluas ke masyarakat dan kemudian hal itu dipraktikkan oleh mereka. (Ritzer, 2012)
Massa (-atau, masyarakat), tidak mampu membangun gagasan-gagasan yang revolutif. Dan kalaupun ada, mereka hanya bisa mengalaminya pada tahap keyakinan. Massa tidak bisa sadar dengan sendirinya. Itulah sebabnya bahwa mereka perlu dibantu oleh elit sosial. (Ritzer, 2012)
Namun titik buntunya kemudian adalah bagaimana jika dalam suatu kondisi masyarakat yang menjunjung tinggi intelektual-akademik, kampus misalnya, justru kaum elit intelektual itulah yang sedang berada dalam kondisi kesadaran palsu?
Kita, -termasuk saya di dalamnya, memang tidak harus sepakat dengan Marx, ataupun Gramsci. Tetapi, menggunakan basis pemikiran mereka, saat ini, terlihat lebih relevan untuk menggambarkan bagaimana kondisi kampus kita hari ini. “Intelektual” yang saya maksud, adalah, merujuk kepada semua civitas akademika di dalamnya. Mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, karyawan, hingga office boy. Saya katakan dengan tegas secara mayoritas pihak-pihak itu sedang terjebak dalam kondisi kesadaran palsu. Kita semua sedang merasa baik-baik saja, pada situasi yang sebetulnya tidak layak disebut baik-baik saja.
Dalam konteks mahasiswa, misalnya, kita tak pernah mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap kampus kita sendiri. Kita tak pernah lagi menanyakan kemana uang UKT kita dipergunakan. Mengapa dana kemahasiswaan sulit sekali turunnya? Mengapa gerakan mahasiswa cenderung terlihat dilemahkan secara sistematis? Mengapa kita juga dulu terkesan diam ketika Masa Pengenalan Akademik itu diambil alih oleh penguasa kampus?
Mengapa kita tak pernah lagi menanyakan itu semua? Mengapa kita semua mudah sekali tercerai-berai, tidak dewasa dalam bergerak, dan saling sindir satu sama lain? Sebab ketika kita mengajukan semua pertanyaan itu, akhirnya semua akan melempem oleh argumentum ad hominem yang bertebaran: “kita adalah anak dan bapak”, “masalah kesopanan terhadap orangtua”, “tidak mungkin seorang ayah akan jahat terhadap anak-anaknya”. Mengapa kita mudah sekali termakan dengan argumentasi omong kosong semacam itu?
Kita masih bisa senyum-senyum riang, ketika secara bersamaan puluhan, atau bahkan ratusan mahasiswa setiap semesternya harus putus kuliah karena tak mampu membayar. Kita masih bisa tenang, ketika fasilitas penunjang akademik, kelas, perpustakaan, menjadi tempat yang begitu tak layak bagi mahasiswa. Kita diam. Kita terninabobokan. Kita bahkan menikmati penindasan ini.
Mengapa opmawa-ormawa yang seharusnya merasakan langsung dampak ini juga terdiam? Bukankah dalam agama kita pun juga diajarkan bahwa, mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zhalim adalah bagian dari jihad itu sendiri? Mengapa kita kembali membungkam, hai rekan-rekan seperjuangan?
Kepada dosen dan pengajar di kampus ini, mengapa bapak-ibu tak segarang, tak sekharismatik ketika menyampaikan materi perkuliahan di kelas-kelas kita? Mengapa merasa baik-baik saja dengan dosen yang seolah-olah dipekerjakan sebagai buruh pabrik? Mengapa tak sedikitpun bapak/ibu bergeming, ketika dengan mudahnya orang-orang terdekat penguasa kampus ini menjadi bagian dari birokrasi, sementara rekan-rekan seperjuangan bapak/ibu dengan mudahnya diberhentikan? Mengapa juga diam, ketika ada kawan-kawan seperjuangan bapak/ibu yang berusaha mengkritik kampus ini malah dikriminalisasi?
Bapak, ibu, apakah idealisme yang diajarkan di kelas-kelas tatap muka kita, itu juga merupakan bagian dari omong kosong? Mengapa kita begitu takut miskin, takut anak isteri kita tidak bisa makan, sedangkan kita memiliki Rabb Yang Maha Kaya dan Maha Memberi Rezeki?
Kepada karyawan, office boy, dan tenaga kependidikan, mengapa tenang-tenang saja, ketika diupah secara tidak layak, bahkan jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP)? Mengapa diam saja, ketika harus bekerja ekstra dengan tanpa tambahan insentif?
Sepertinya kita terlalu jauh berbicara tentang kesadaran masyarakat. Sementara, kita sendiri masih berada dalam kesadaran palsu. Karena ternyata, kaum intelektual yang seharusnya menjadi agen kesadaran dalam masyarakat, menjadi pihak pertama yang lebih dahulu harus tersadarkan. Akhir kata, kita perlu malu terhadap sejarah. Kampus ini terlahir dengan semangat perlawanan. Namun hari ini, kita justru tak malu dengan kata “perlawanan” itu sendiri.
Semoga jiwa-jiwa penggerak di kampus ini masih tersisa. Atau, jika tidak, cukuplah aku kan berkata pada diriku sendiri; “jadilah penggerak itu!”
Wallahu a’lam...
Oleh: Ahmad Firdaus (Mahasiswa FIS UNJ)