Para penglaju memiliki beragam kisah yang seru dalam petualangannya menaklukan Jakarta

Pagi hari, Yositha Noor Fadillah merasa kesal karena usahanya untuk berangkat ke kampus sangat pagi terasa sia-sia karena dosen yang mengajar kelas pagi mendadak tidak bisa hadir dan pesannya baru disampaikan ketika dirinya sudah di angkutan umum Bus Patas AC 52 Jurusan Cileungsi-Tj Priok. Teman sekelasnya, Rizka Febriani Putri juga mengalami kejadian serupa. “Untung Bus-nya belum masuk tol. Jadinya pas tau dosen gak masuk langsung buru-buru minta turun sama sopirnya”. Kedua wanita itu merupakan potret dari kehidupan mahasiswi yang harus berjibaku dengan jalanan Jakarta demi mendapat gelar sarjana.

Jakarta merupakan kota metropolitan yang serba ada. Mulai dari perkantoran, tempat hiburan sampai beragam jenis institusi pendidikan semuanya tersedia lengkap disana. Tak ayal itu membuat Jakarta selalu menjadi magnet masyarakat dari daerah lain untuk berpetualang disana. Mereka yang tinggal di Depok, Bogor, Bekasi dan Tanggerang setiap pagi rela berdesak-desakan di angkutan umum demi sampai ke tempat tujuan. Menurut Badan Pusat Statistik(BPS) DKI Jakarta di tahun 2014, pada malam hari penduduk DKI Jakarta berjumlah sekitar 10 juta orang. Sedangkan pada siang hari penduduk bertambah menjadi 11,2 Juta orang.

Dari sekitar 1,2 juta penduduk yang masuk ke Jakarta ada Yositha Noor Fadillah dan Rizka Febriani Putri. Mereka yang berstatus mahasiswa sosiologi Universitas Negeri Jakarta ini tinggal di Kabupaten Bogor Jawa Barat tepatnya Gunung Putri dan Cibinong. Sebagai mahasiswi penglaju mereka harus menempuh waktu berjam-jam untuk sampai ke kampus mereka yang berada di Rawamangun, Jakarta Timur. “Waktu tempuh dari rumah ke kampus sekitaran 1-2 jam” ujar Yositha. Yositha tinggal di kawasan Gunung Putri, Bogor Jawa Barat. Untuk ke kampus dirinya menaiki angkutan umum seperti Bus. “Dari rumah naik mobil angkutan untuk keluar komplek. Terus naik Bus Mayasari Bakti Patas AC 42 Jurusan Pulogadung – Cileungsi dan turun di Utan Kayu. Kemudian lanjut naik metromini dan turun di jalan depan kampus”. Dalam sehari Yositha harus mengeluarkan biaya 60 ribu rupiah untuk ongkos angkutan umum pulang pergi.

“Dari rumah naik motor terus lanjut naik Bus Kowanbisata 512 jurusan Pulogadung-Cibinong dan turun di Utan Kayu”. Ujar Rizka. Mahasiswi ini tinggal di Cibinong, Bogor Jawa Barat. Sama seperti Yositha, dirinya juga harus menempuh waktu lama untuk sampai ke kampus.”Biasanya 1 sampai 2 jam tetapi kalo macet parah bisa sampe 3 jam di jalan”. Selama 2 tahun “merantau” ke Jakarta dirinya pernah berangkat dari rumah pada pukul setengah 4 pagi. Rizka berangkat sangat pagi karena menjadi panitia Masa Pengenalan Akademik(MPA) tingkat Fakultas. “Disuruh panitia harus sudah sampai kampus jam 5 pagi”. Sedangkan untuk waktu pulang paling larut Rizka tidak pernah mengalaminya karena jadwal operasional Bus Kowanbisata hanya sampai jam 9 malam. “Makanya paling sore jam 6 udah harus pulang”

Kemacetan

Terjebak Kemacetan Rutinitas Para Penglaju

Kemacetan selalu menjadi kawan perjalan kedua mahasiswi tersebut. Karena bersama-sama dari Bogor,Jawa Barat Rizka dan Yosita selalu merasakan kemacetan di Tol Jagorawi. “Kalo senin pagi itu macet banget di jalan Tol”. Itu yang membuat kadang mereka terlambat jika ada jadwal kuliah pagi. Perjalanan yang jauh dan lama ditambah dengan kemacetan Jakarta yang tak berkesudahan membuat mereka bisa menjadi bosan bahkan stress di jalan. Yositha memiliki beragam cara untuk menghilangkan kebosanan tersebut ”Kalo di bus biar gak bosan enakan dengerin lagu,tidur atau cari teman ngobrol di jalan” hampir mirip dengan Rizka.”Pokoknya yang penting ada headset buat dengerin lagu biar gak bosen dijalan”

Duka Di Jalan

Perjalanan mereka untuk sampai ke kampus memiliki beragam cerita. Mulai dari suka dan duka. Bahkan mereka harus mengalami “hukum alam”. Dengan jarak tempuh yang jauh dan memakan waktu lama membuat fisik mereka berevolusi. Pada awal mereka menjadi mahasiswa, keduanya tumbang. “Kalau capek sih pasti, soalnya perjalanan jauh banget” Ujar Yositha. Memang sejak sekolah jarak antara rumah dan sekolah selalu jauh tetapi pada saat sekolah Yositha selalu diantar oleh ibunya ketika berangkat sekolah.”Kebetulan Ibu tempat kerjanya tidak jauh dari SMA saya ketika itu”. Walau sudah terbiasa tetap saja perjalanannya dari rumah ke kampus ataupun sebaliknya sangat melelahkan. Bahkan kelelahan yang sering dialami oleh Yositha pernah mencapai puncaknya yang mengakibatkan hidungnya mimisan.“Waktu semester 2, saya pernah mimisan di kelas karena kelelahan”. Ceritanya saat itu dirinya sangat lelah dan ketika masuk kelas kemudian darah mulai menetes dari hidungnya.”Pas tahu kalo mimisan, langsung pergi ke kamar mandi”. Beruntung saat itu mimisannya tidak terlalu lama. Darahnya lambat laun tidak menetes lagi.

Cerita yang sama juga dialami oleh Rizka Febriani. Lama perjalanan yang memakan waktu sampai 2 jam dan kegiatan kampus yang sangat padat membuat rasa lelah yang amat sangat tidak dapat terhindarkan dan sampai pada akhirnya dirinya tumbang. Pada 3 minggu awal dirinya menjadi mahasiswa UNJ, Rizka pernah dirawat selama seminggu karena mengidap penyakit tifus. “Waktu itu kena tifus karena kecapean bolak balik Jakarta-Cibinong dan kurang asupan makanan”. Setelah peristiwa itu setiap pulang kerumah, Rizka selalu mengkonsumsi vitamin untuk menjaga kesehatannya.

Mereka sudah semester 5. Sudah hampir 2,5 tahun mereka melakukan sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Karena sudah sering melakukan perjalanan lambat laun mereka mulai beradaptasi. Rasa lelah yang dahulu teramat sangat bahkan sampai membuat keduanya sampai sakit, perlahan mulai berkurang bahkan tidak ada. Mereka mulai menyesuaikan diri.”Biasanya kalau badan udah capek banget, saya langsung turun dari Bus dan langsung mencari warung untuk membeli minum” Ujar Yositha.

Selain kelelahan, pengalaman tentang keselamatan di jalan juga memiliki ceritanya sendiri. Jalanan menjadi tempat yang cukup berbahaya. Banyak tindakan kriminal dan pelecahan seksual disana. Khusus tentang pelecahan, lagi-lagi perempuan yang selalu dirugikan. Dirugikan karena selalu menjadi korban pelecehan tetapi juga harus menahan kesal karena sering disalahkan karena memakai pakaian yang dianggap mengundang kejahatan. Menurut Polda Metro Jaya kasus pemerkosaan di Jakarta pada tahun 2014 ini mengalami kenaikan sebesar 10,52 persen. Dari total 57 kasus perkosaan di tahun 2013 meningkat menjadi 63 kasus di 2014 .

Bicara tentang kondisi jalanan yang tidak aman bagi masyarakat khususnya perempuan Rizka dan Yositha memiliki ceritanya sendiri mengenai pengalamannya tentang tindak kejahatan dan pelecahan. “Ada pria yang berusaha pegang paha saya” Rizka tidak ingat betul kapan waktu kejadiannya. Yang dia ingat saat itu dirinya sedang berada di Bus dan ingin pulang. “Pria itu duduk di pinggir, dekat dengan saya yang sedang berdiri saat itu”. Awalnya pria itu memegang betis, kemudian lambat laun mulai menuju paha. “Langsung saya injek aja kakinya. Lalu pria itu pergi dan turun dari bus tersebut”. Cerita yang lebih mengerikan dialami oleh Yositha. “Baru naik dari Bus, terus ada orang yang mulai mendekat gitu”. Yositha hampir mengalami tindakan kriminal pencopetan ketika berada di Bus untuk pulang ke rumahnya. Dirinya baru menaiki Bus dan ada beberapa orang yang mendekatinya. “Saya sadar kalau mau dicopet untuk itu saya langsung turun dari Bus tersebut”. Untungnya Yositha selamat dan tidak ada yang hilang ataupun terluka.

Pengalaman membuat mereka menjadi lebih waspada ketika berada di jalan atau angkutan umum. Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut telah berhasil membuat mereka belajar agar tidak mengalami hal tersebut untuk kedua kalinya. Dari pengalaman juga mereka menjadi punya banyak cara agar terhindar dari kejahatan ataupun pelecehan. “Pakaian jangan terlalu mencolok dan jangan sering mainin gadget di bus” saran Yositha. “Jangan terlihat seperti orang bingung” pesan Rizka. Demikian kedua kisah mahasiswi penglaju. Cerita dan pengalaman tersebut hanyalah potret kecil dari banyak cerita dan pengalaman lain yang di miliki oleh mereka para penglaju.

Oleh: Naufal Mamduh
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ

Categorized in: