Mahasiswa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan demonstrasi dalam KKBI berarti penyataan protes yang dikemukakan secara massa, jadi dapat disimpulkan bahwa demonstrasi mahasiswa adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massa oleh orang yang belajar di perguruan tinggi.

Sejak dasawarsa 60-an mahasiswa sudah lekat dengan peran sebagai penyambung lidah rakyat lewat kegiatan demonstrasi-demonstrasinya. Hal tersebut tak lepas dari keberhasilan mahasiswa (dengan tentunya bantuan dari ABRI (sekarang TNI)) menurunkan rezim Soekarno atau yang lebih kita kenal sebagai Orde Lama.

Dan tak berhenti disana, bahkan secara konsisten pada tiap dasawarsa mahasiswa selalu hadir menyuarakan suara rakyat. Meski zaman dan para pelakunya (mahasiswa) berganti dari mulai Soe Hok Gie, Ubedilah Badrun, hingga mahasiswa-mahasiswa yang hari ini ditahun 2017 sedang mengenyam bangku kuliah. Mahasiswa selalu hadir menjadi garda terdepan dalam menyuarakan keadaan masyarakat.

Dalam kegiatan-kegiatan orientasi mahasiswa baru (Ospek/MPA/Masa Pengenalan) kita sering diperdengarkan 3 fungsi mahasiswa oleh senior-senior kampus yaitu : Agent of Change, Social Control, dan Iron Stock. Bahkan belakangan ini bertambah menjadi 4 dengan Moral Force hingga kemudian diartikan secara umum menjadi alasan utama turunnya mahasiswa ke jalan (red: demonstrasi). Sampai saat ini penulis tidak pernah tau dari mana asal fungsi ini tersebut, penulis hanya tau alasan mahasiswa turun ke jalan lewat tulisan dalam catatan harian Soe Hok Gie yang kemudian dibukukan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran” yang berbunyi “Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.”

3 +1 fungsi mahasiswa tersebut mempunyai makna yang luas, komprehensif, dan butuh pemahaman yang mendalam. Sedangkan dalam kutipan Hok Gie sendiri secara simpel dapat penulis tarik kesimpulan sederhana bahwa mahasiswa hari ini turun berdemonstrasi murni untuk menyuarakan suara rakyat. Dan perlu dicatat bahwa angkatan Gie dikemudian hari menjadi awal mitos “mahasiswa penyambung suara rakyat”.

Tulisan ini bertujuan untuk mempertanyakan demonstrasi mahasiswa hari ini, bukan menyalahkan. Hal ini berawal dari keresahan pribadi penulis dan beberapa rekan diskusi. Isu yang akan penulis bahas berkaitan dengan 2 demonstrasi terpisah mahasiswa yang menggagas tema sama pada tanggal 12 Januari 2017 dan 12 April 2017 yaitu #mahasiswabersamarakyat.

Berikut kronologi yang penulis dapat sampaikan:
1. Pemerintah RI Bapak Ir. Joko Widodo menaikan harga Tarif Dasar Listrik (TDL) golongan mampu dengan daya 900 VA secara bertahap, BBM Non subsidi sebesar Rp 300, kenaikan harga administrasi STNK sebesar 200% serta BPKP 300% (sumber : https://kumparan.com/angga-sukmawijaya/ramai-ramai-harga-naik-di-awal-tahun-2017) serta naiknya hargai cabai yang bervariasi di berbagai daerah di Indonesia.
2. Menanggapi keputusan tersebut, maka Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar demonstrasi serempak di 19 titik di Indonesia dengan mengusung “Aksi Bela Rakyat” dengan tagar #reformasijilid2 dan #mahasiswabersamarakyat, dengan tuntutan: Pemerintah mencabut PP No. 60 Tahun 2016 tentang Kenaikan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tuntutan kedua adalah menolak kenaikan tarif dasar listrik golongan 900 VA dan mendesak agar subsidi kembali diadakan untuk tarif dasar listrik golongan 900 VA. Sedangkan poin ketiga yaitu mengembalikan peran pemerintah dalam mengatur penetapan harga BBM. (sumber : http://www.antaranews.com/berita/605683/bem-jabodetabek-akan-gelar-aksi-bela-rakyat dan rilis BEM SI)
3. Demonstrasi berujung dengan penyampaian nota (yang ditulis dengan tangan) kesepemahaman yang diajukan mahasiswa dengan 4 tuntutan dan tanda terima Kepala Staff Kepresidenan Indonesia bapak Teten Masduki. Dalam surat tersebut tercantumkan konsekuensi jika dalam jangka waktu 90 hari ditemukan pelanggaran dalam tuntutan tersebut maka mahasiswa akan menegur dan mengingatkan pemerintah. (Sumber : Nota kesepemahaman BEM SI)

4. Selang 3 bulan, BEM SI merasa pemerintah dalam jangka waktu 90 hari telah melanggar nota kesepemahaman maka diputuskan lah diadakan demonstrasi dengan isu follow up Aksi Bela Rakyat, penolakan aksi represif aparat dalam kegiatan penyampaian aspirasi, dan menuntut keseriusan KPK dalam pengusutan korupsi mega proyek @-KTP pada 12 April 2017 di 11 titik di Indonesia (sumber : bit.ly/evaluasi90hari dan rilis BEM SI)

5. Aksi 12 April berlangsung damai dan berakhir dengan pihak Istana menolak pertemuan dan menyarankan penjadwalan ulang pertemuan dihari esok. Perwakilan Presma (Presiden Mahasiswa) pun menolak dan melakukan konferensi pers di lokasi aksi dengan pernyataan sikap. (Sumber : Dokumentasi pribadi penulis)

Dan disini penulis tertarik menulis tentang tema kedua demonstrasi. Ada pun tema yang dimaksud adalah Mahasiswa bersama rakyat. Jika makna mahasiswa sudah dibahas di atas, makna rakyat dalam KKBI adalah penduduk suatu negara. Menjadi hal yang menarik jika mahasiswa hari ini secara tidak sadar (atau bahkan sadar) membedakan diri mereka dengan rakyat.

Muncul lah sebuah pertanyaan “Apakah hari ini mahluk bernama mahasiswa ini sudah menjadi golongan baru dalam strata sosial di Republik ini ?” Bukankah mahasiswa juga adalah rakyat Indonesia, apakah dengan jargon mahasiswa bersama rakyat menjadi bukti ego tersendiri dari mahasiswa yang acap kali dibilang “manusia menara gading” ?. Bukan kah ditahun 80-an mahasiswa melepas almamater dan bersatu bersama buruh dan petani dalam mengganyang Jendral besar kita (Soe Hok Gie Sekali Lagi, 2009).

Hal tersebut bahkan dicerminkan secara nyata dalam beberapa demonstrasi mahasiswa lewat perkataan orator demo :

“Coba lihat kiri kanan depan belakang kalian, adakah yang tidak memakai almamater ? Jika ada tendang dia….!!! Patah kan lehernya…!!!”.

Penulis sadar dan mengetahui bahwa perkataan ini bertujuan untuk mengantisipasi adanya prokator-provokator demo yang punya niat membuat kerusuhan dalam demonstrasi. Namun bagaimana jika rakyat lain yang tidak memiliki kesempatan mengenyam bangku perkuliahan ingin ikut dalam barisan penyampaian aspirasi tersebut? Atau juga bagaimana dengan sesama mahasiswa yang ingin ikut menyampaikan aspirasinya tetapi saat itu tidak membawa dan juga tidak mendapatkan jaket almamater dengan meminjam ke sesama mahasiswa? Apakah golongan dari kedua jenis tadi haram hukumnya untuk mengikuti kegiatan demonstrasi mahasiswa? Mungkin jawabannya hanya rekan-rekan pengurus BEM SI yang dapat menjawab.

Hal tersebut berangkat dari pengalaman penulis saat meliput demonstrasi mahasiswa kawal KPK pada 23 Maret 2017. Saat itu penulis tanpa sengaja berpapasan dengan senior yang menjadi petinggi BEM Universitas di tempat penulis berkuliah, melihat penulis datang tanpa mengenakan jaket almamater ia pun bertanya “De, pakai almetnya de? Kalau engga make gak bisa masuk ke dalam barisan.” Lantas, penulis pun hanya bisa menggelengkan kepala karena memang hari itu penulis tidak membawa jaket almamater kampus.

Tentu hal ini menjadi sebuah anomali sendiri, jangankan rakyat. Teman sesama mahasiswa yang ia kenal pada saat itu tidak memakai almamater kemudian tidak diperboleh kan ikut menyuarakan pendapatnya.

Lalu apakah jika saya nekat masuk ke dalam barisan, saya akan dipukuli massa mahasiswa hingga leher saya patah meski pun saya adalah teman mereka?

Apakah kaum intelektual sudah sesadis ini?

Penulis berpesan pada pembaca yang barang kali hari ini menjadi massa demonstrasi mahasiswa agar tidak menjadikan jaket almamater sebagai bukti ke”ekslusif”an status sosial mahasiswa hingga secara sadar atau tidak, pembaca tidak membeda-bedakan diri dengan rakyat dalam hal menyampaikan aspirasi.

Runtuhkan lah “menara gading” bukan sebaliknya meninggikannya.

Kita menuju pada demonstrasi mahasiswa 17 April 2017 yang kemudian menjadi bahasan kedua penulis. Selang beberapa meter dari lokasi demonstrasi mahasiswa, terdapat beberapa masyarakat yang juga melakukan penyampaian aspirasi. Ada pun masyarakat yang dimaksud penulis berasal dari Rembang, Ambon, dan partisipan demo yang bukan dari kedua daerah tersebut. Mereka berkumpul menuntut keadilan dari pemerintah terkait pembangunan pabrik semen di daerah pegunungan Kendeng oleh BUMN Semen Indonesia yang menyalahi aturan lingkungan dan penangkapan aktivis oleh aparat pemerintahan.

Hal yang menarik bukan lah kejadian-kejadian spektakuler seperti kerusuhan massa, penembakan oleh aparat pemerintahan, atau pun datangnya bapak “kita” Joko Widodo menemui demonstran. Tapi selentingan-selentingan yang jarang mau diperdengarkan orang, seorang demonstran dari demosntrasi Kendeng, dkk berinisial D mengungkapkan kekecewaannya dengan aksi mahasiswa. Ia melihat demonstran mahasiswa sekarang kurang intelektual, kurang data, dan demonya hanya mengandalkan emosi saja. (Sumber : Dokumentasi wawancara penulis, tidak disebar luaskan. Jika ingin mendengar langsung dapat menghubungi penulis)

Bagaimana bapak D ini bisa berpendapat demikian ?

Berikut saya coba hadir kan kronologi versi junior penulis (jika dari perspektif penulis,penulis mengkhawatirkan tulisan ini berlanjut dengan sudut pandang yang terlalu subjektif) :

“Jadi tadi ada dua aksi (demo), mahasiswa sama Kendeng. Akhirnya tadi dalam satu tempat yang berdekatan ada dua aksi. Tapi aksinya pisah, setelah nego-nego karena suara mobil sound (mahasiswa) buat suara mereka (demonstran Kendeng) gak kedengeran. Akhirnya setelah nego-nego, mobil soundnya dimatiin, tapi toanya tetap nyala. Jadi itu kesannya kita arogan banget.

Lalu mengapa kita (mahasiswa) memisahkan diri ? Seorang massa aksi coba bertanya kepada Korlap (kordinator lapangan) akhwat (perempuan) :

“Kak, kenapa kita ga gabung sama massa aksi yang disana ?”

Dan jawaban Korlapnya :

“Karena kita beda isu.”

Padahal kita selalu meneriakan mahasiswa bersama rakyat, tapi ketika tadi ada rakyat yang lagi teriak-teriak (soal) haknya dirampas, kita malah buat forum sendiri bukan gabung sama mereka yang katanya kita bela. Teriakin hidup rakyat Indonesia, kok masih ada rakyat yang aksi, rakyat mana yang kita suarakan ?

Bahkan tadi bapa D dari sana bilang “Kalian ngapain teriak-teriak gitu pake amarah bilang mau bela rakyat, tapi mana rakyatnya ? Tadi rakyat teriak-teriak kalian gak ada empatinya. Kalau rakyat pantes dinaikin listrik langsung marah-marah, kalau mahasiswa ? Harusnya punya argument logis. Bego boleh, tapi jangan bego-bego banget. Gak usah pinter gak papa yang penting punya empati. Daripada pinter tapi engga punya empati” kata si bapak, malah pas orasi juga isunya kemana-mana”

Untuk bagian di atas rasanya tak perlu penulis ulas lagi karena hal tersebut sudah cukup menggambarkan judul dari tulisan ini.

Rasanya tentu kita perlu me-review kata-kata bapak D “Kalau rakyat pantes dinaikin listrik langsung marah-marah, kalau mahasiswa ? Harusnya punya argument pakai data-data, jangan mengandalkan emosi aja”.

Sampai saat ini penulis belum menemukan satu pun data (selain empiris) yang menjadikan penulis harus turun berpartisipasi dalam demonstrasi. Penulis sendiri mengikuti dua kajian dalam kampus yang diselenggarakan oleh tim aksi salah satu Fakultas yang menghadirkan saudara Bagus Tito Wibisono Kordinator Pusat BEM SI periode lalu yang juga pengagas Mahasiswa Bersama Rakyat pada demonstrasi Aksi Bela Rakyat sebagai pembicara.

Namun bukan data dan fakta kekinian bangsa yang dihadirkan saudara Bagus. Justru penulis mendapatkan kisah-kisah nostalgia pergerakan mahasiswa dari angkatan 80-an hingga aksi 121 kemarin yang penulis sudah hafal mengetahuinya selama 3 tahun berkecimpung di ranah pergerakan mahasiswa. Dipenghujung kajian, pembicara pun memaparkan data alasan mengapa kala itu BEM SI menggalang Aksi Bela Rakyat. Barang kali ia lupa bahwa saat itu eskalasi gerakannya berakhir anti klimaks dan saat kajian itu para peserta (termasuk penulis ) menginginkan alasan (lewat data dan fakta, bukan motivasi) kuat mengapa kita di esok hari harus melakukan demonstrasi.

Tak puas dengan hasil kajian tersebut penulis pun coba mengikuti kajian via online lewat aplikasi Whatsapp yang diselenggarakan oleh Tim Aksi tingkat Universitas yang diisi oleh saudara Risky Fajrianto (Kadept Sospol BEM UNJ periode Bagus Tito), dan kembali penulis mendapat hasil yang sama.

Tak patah arang penulis pun mencoba mencari data hingga harus mencari data ke sumber dari seruan aksi tersebut yaitu BEM UNS yang tahun ini diamanahkan menjadi kordinator pusat BEM SI.

Dan penulis pun mendapatkan hasil kajian evaluasi 90 hari versi BEM UNS (bit.ly/evaluasi90hari), sekilas terlihat secerca harapan dari adanya data kajian yang update. Namun sekali lagi penulis kecewa dengan paparannya, tidak ada kondisi riil lapangan. Dimana dalam kajian menurut senior penulis (note : penulis mahasiswa pendidikan, jadi rasanya tidak patut mengomentari kajian ekonomi)
yang seorang akuntan profesional menurutnya :

“Kajian yang dipaparkan masih cukup mentah, banyak komparasi data yang disajikan cukup jauh dan tidak apple to apple antara satu dan lainnya. Sebagai contoh mahasiswa mengambil komparasi harga WTI dan Crude Oil dengan kenaikan harga BBM (non Subsidi). Padahal harga BBM bersubsidi bersifat tetap (fixed price). Seharusnya rekan-rekan mahasiswa bisa fokus kepada penghapusan premium yang kini sudah hilang ditelan bumi di berbagai titik SPBU di Indonesia. Lalu belum lagi soal kenaikan biaya administrasi BPKB dan STNK itu not impactful untuk perekonomian Indonesia, kecuali pajaknya yang dinaikkan signifikan.”

Ujar Ferly Ferdyant, seorang Akuntan dan Praktisi Keuangan BUMN yang juga aktif dalam kegiatan demonstrasi semasa kuliah.

Dalam seruan propagandanya sendiri (dalam demonstrasi 12 April 2107) terdapat kalimat-kalimat : Indonesia berduka, Indonesia besedih, Indonesia gawat darurat. Bagaimana sang penulis mengajak mahasiswa untuk melakukan demonstrasi tanpa adanya data-data akurat tentang kesalahan pemerintah. Apakah hari ini mahasiswa datang dan melakukan demonstrasi dengan perspektif “Pemerintah salah dan kami lah pembawa kebenaran.” Lalu dengan gagahnya berseru kesalahan pemerintah dengan data minim dan berbekal semangat khas pemuda sedangkan dalam orasi-orasi ilmiahnya yang nyatanya kurang memiliki keilmiahannya ?

Menurut teman saya yang masih rutin mengikuti demonstrasi mahasiswa, sekarang demo rutin 1 minggu sekali. Dan dalam setiap demonstrasi itu mahasiswa harus menyewa 1 mobil sound dengan harga Rp. 2.000.000. Jika kita hitung dalam sebulan mahasiswa bisa melakukan 4 kali demo, maka minimal mereka harus merogoh kocek Rp. 8.000.000 sebulan. Jika memang mahasiswa hari ini ingin membersamai rakyat mengapa tidak dialihkan uang 8 juta tersebut ke kegiatan-kegiatan amal atau pun dengan dana tersebut mahasiswa bisa melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat mengingat saat ini kegiatan pengabdian masyarakat di kampus (Kuliah Kerja Nyata) sudah tidak diwajibkan lagi sesuai Permenristek No. 39 tahun 2016. Bahkan yang lebih spektakuler lagi, lewat dana 8 juta yang dihimpun 1 semester (6 bulan) bisa terkumpul 48 juta. Dan dana tersebut bisa disalurkan untuk beasiswa mahasiswa/calon mahasiswa. Dengan dana 48 juta tersebut dapat membiayai 48 mahasiswa golongan UKT (Uang Kuliah Tunggal) 2 (Rp. 1.000.000) dan 96 mahasiswa golongan 1 (Rp. 500.000).

Tentu ada banyak hal yang harusnya menjadi refleksi dan menjadi bahan muasabah bagi kita (termasuk penulis) yang menyandang gelar “Happy selected few”. Dan hal ini bukan lah hal baru bagi pergerakan mahasiswa, penulis ingat saat demonstrasi 1 tahun Jokowi hal serupa juga terjadi (dengan demonstrasi 21 April 2017).

Namun kondisi saat itu berbanding terbalik, mahasiswa lah yang kalah suara karena saat itu “lawan” yang harus dihadapi adalah buruh. Dengan mobil sound yang lebih nyaring dibanding mahasiswa, saat itu suara-suara mahasiswa dihajar habis-habisan oleh buruh, sungguh aneh sekali apa yang terjadi saat itu. Untuk apa buruh berlaku demikian jika mahasiswa memang melakukan demonstrasi untuk rakat ? Maka saya pun mempunyai pertanyaan besar pada pembaca-pembaca sentosa yang menggelorakan Aksi Bersama Rakyat:

“Rakyat mana yang kau bersamai ?”

Sebagai penutup, penulis hadir kan penggalan awal lirik lagu Buruh Tani sebagai pengingat kita semua akan semangat bersama menyuarakan keadilan di negeri kaya ini :

“Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia”

Panjang umur pergekan…!!!
Hidup Rakyat Indonesia…!!!

Achmad Fauzi Novianto
Mahasiswa Biasa

Categorized in: