Dr. Ali Syariati memiliki sebuah pandangan tentang kaum intelektual, ia menyebut itu dengan sebutan “raushanfikr”. Rausyanfikr adalah, seorang pemikir tercerahkan yang mengikuti ideologi yang dipilihnya secara sadar. Ideologi akan membimbingnya kepada pewujudan tujuan ideologi tersebut, ia akan memimpin gerakan progresif dalam sejarah dan menyadarkan masyarakat terhadap kenyataan kehidupan. Ia akan memprakarsai gerakan revolusioner untuk merombak kejumudan. Sebagaimana rasul-rasul selalu muncul untuk mengubah sejarah dan menciptakan sejarah baru. Memulai gerakan dan menciptakan revolusi sistematik.
Kaum intelektual, bukan hanya orang yang telah mendapatkan gelar sarjana, atau sekadar ilmuwan yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Tapi kaum intelektual adalah kelompok yang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi negatif masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskanya dalam bahasa yang dapat di pahami setiap orang, menawarkan solusi atas pemecahan masalah dalam kehidupan bermasyarakat.
Sejarah negeri ini mencatat, dalam proses untuk meraih kemeredekaan Indonesia, tidak lepas dari peran para pemuda yang merasa terpanggil atas kondisi bangsanya.
Sebut saja organisasi yang berlatar belakang pemuda terpelajar, Budi Utomo, Serikat Islam yang dipimpin oleh seorang pemuda berusia 25 tahun, ialah Omar Said Tjokroaminoto, atau tokoh muda Chaerul Saleh, Wikana dan Sukarni yang mendesak golongan tua untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Mayoritas perjuangan pada masa itu di prakarsai oleh kelompok pemuda dan pelajar, yang tersadarkan dengan kondisi bangsanya.
Itulah romantisme sejarah panjang dari kemerdekaan Indonesia yang tidak lepas dari kaum terpelajar dan pemudanya. Bila kita berkaca pada sejarah, apakah kita hari ini sebagai pemuda khususnya mahasiswa (kaum yang terpelajar), sudah berkontribusi untuk membenahi kondisi masyarakat? Atau kita hanya ‘sibuk’ dengan urusan pribadi?
Sangat disayangkan bila hari ini mahasiswa yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pembenahan kondisi sosial masyarakat, malah ‘tertidur’ pulas didalam ruang kelas ber-AC. Dan perlahan-lahan mulai menanggalkan perannya sebagai mahasiswa.
Mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi dibanding masyarakat lain, tentunya di anggap memiliki basis keilmuan tertinggi daripada lulusan jenjang pendidikan SD, SLTP, SLTA. Dari segi kuantitas, jumlah individu yang mampu mencapai jenjang pendidikan di perguruan tinggi tidaklah banyak, dilansir dari laman BPS (bps.go.id) jumlah mahasiswa pada tahun 2014/2015 tercatat hanya sekitar 5 juta dari sekian ratus juta jumlah penduduk Indonesia, hal inilah yang menjadikan mahasiswa sebagai kelompok yang padanya diletakan harapan atas bangsa. Maka tidaklah berlebihan bila mahasiswa dijuluki sebagai kaum intelektual.
Namun, dewasa ini makna kaum intelektual mengalami penyempitan. Kaum intelektual hari ini ialah sebatas orang yang cerdas dalam hal akademik, pandai berdialektika, dan tiap perkataannya adalah gagasan.
Padahal, makna kaum intelektual sejati, seperti yang sudah penulis sampaikan pada awal paragraf, adalah mereka yang tidak hanya menelurkan gagasan tetapi juga berupaya untuk mengubah wacana menjadi realita. Dalam artian, bahwa tiap diri yang menyandang status mahasiswa harus melakukan aksi nyata untuk membenahi keadaan masyarakat, bukan yang hanya berdiam diri pada menara gading intelektual.
Kemudian, bila kita melihat kondisi riil masyarakat hari ini, banyak hal yang akhirnya menuntut mahasiswa untuk bergerak dan berkontribusi nyata dalam membangun kesejahteraan masyarakat. Mulai dari kondisi sosial, politik, kesenjangan pendidikan, kesejahteraan rakyat miskin, dll. Kondisi ini lah yang melahirkan tanggung jawab sosial bagi mahasiswa, bahwa bagi tiap mahasiswa tidak hanya dituntut tanggung jawab pribadi untuk mendapat IPK tinggi, kemudian lulus dan memperoleh pekerjaan mapan, namun juga mengemban tugas sosial dalam membangun kesejahteraan rakyat miskin, membantu pemerataan pendidikan, serta melakukan kontrol atas segala kebijakan pemerintah.
Maka, jika amanah sebagai mahasiswa telah di bebankan pada diri, dan kondisi riil masyarakat menuntut kita untuk berkontribusi dengan aksi nyata, akan menjadi aib bila hari ini kita sebagai mahasiswa malah disibukan dengan urusan-urusan pribadi, kepala selalu menunduk menghadap gawai, seolah-olah menghamba pada gawai, atau lebih parah lagi, bersembunyi di balik akun-akun media sosial untuk memberi komentar buruk terhadap mahasiswa lain yang mencoba untuk berkontribusi lebih terhadap masyarakat.
Marilah kawan, sudah tidak ada lagi alasan untuk kita tidak memberikan aksi nyata dalam membenahi kondisi masyarakat. Ketahuilah, bahwa Mahasiswa dan aksi nyata, adalah sebuah keniscayaan. Akan terus beriringan. Jangan coba-coba untuk memisahkan mahasiswa dengan aksi nyata, berat, kau tidak akan mampu.
~ Wallahu’alam bishowab ~
Anas Abi Anzah
Mahasiswa Fakultas Ilmus Sosial UNJ
Referensi :
– Sudarsono, Amin. 2010. Ijtihad Membangun Basis Gerakan. Jakarta: Muda Cendekia
– https://www.pcimlibya.wordpress.com/2009/10/31/peranan-pemuda-indonesia-dalam-pergerakan-kemerdekaan/amp/
– https://www.bps.go.id/statictable/2015/09/14/1839/jumlah-perguruan-tinggi-mahasiswa-dan-tenaga-edukatif-negeri-dan-swasta-di-bawah-kementrian-pendidikan-dan-kebudayaan-menurut-provinsi-2013-2014-2014-2015.html
– http://marjanbanemo.blogspot.co.id/2015/01/marjanbanemo.html?m=1
– https://nasional.sindonews.com/read/665756/19/peran-pemuda-dalam-kemerdekaan-ri-1344944432