Tempo lalu, ketika saya iseng buka Facebook, sempat tenar status dari akun milik Reni TerataiAir. Isinya tentang penjiplakan karya tulis oleh NDA. Yang memiriskan, bukan cuma satu saja, tapi beberapa–yang itu artinya kasus tersebut terjadi berulang.
Status Mbak Renny itu menyulut orang untuk ramai berkomentar. Kebanyakan isinya menyayangkan, dan sebagian memberikan hujatan. NDA sendiri sempat menerbitkan permintaan maaf, tapi tampaknya telah dihapus. Sebab, saat saya ubek akunnya, akun itu sudah ‘bersih’ dan status yang ada di linimasanya hanya sebatas foto-foto dengan kutipan pendek.
Mungkinkah NDA merasa terintimidasi oleh banyak komentar negatif?
Bisa jadi.
Tapi menurutmu, kalu ada orang lain mengklaim tulisanmu sebagai miliknya, bagaimana?
Bingung? Greget? Pingin cibir sampai bibir dower? Wajar saja.
Maka, respon dari masyarakat maya di status Mbak Reni bisa dinalar.
Penjiplakan atau pengambilan suatu gagasan dan menyatakannya sebagai hasil pikiran sendiri lebih tenar dikenal dengan istilah plagiat. Tindakan plagiat ini bisa dilakukan siapa saja–buktinya, Mbak NDK tadi, yang mana terdaftar sebagai mahasiswi aktif sebuah universitas di Sumatera Utara. Berarti, mahasiswa/i juga dekat dengan probabilitas plagiat? Banget!
Tidak kita sadari, saat mengerjakan tugas, kita pasti mencari sumber literatur sebagai bahan. Mencantumkan sebaris kalimat dari suatu buku tanpa diubah sama sekali pun terhitung plagiasi. Dan mahasiswa sering mengabaikan fakta itu asal tugasnya bisa rampung. Padahal kita sudah mahasiswa; siswa yang bertitel “maha”. Semestinya, kita bisa mempertanggungjawabkan semua yang kita katakan, terbitkan, dan bagikan pada orang lain. Utamanya tugas-tugas kita.
Coba ingat-ingat lagi, dari beberapa semester kamu berkuliah, berapa banyak tugas yang kamu buat dengan usaha sendiri? Atau lebih banyak yang menyalin, kah? Hayo, kalau tugasnya saja sudah hasil copy-paste, gimana mau disebut “maha”?
Ah, asalkan nggak ketahuan ini, ya nggak masalah. Siapa peduli, toh ujungnya dapat nilai sama rata. Maklum, namanya juga mahasiswa.
Bukan begitu, Kawan!
Dengan tambahan ‘maha’, mahasiswa harus sangat kritis serta berhati-hati dalam pengerjaan tugasnya. Baca, baca, baca, lalu hasilkan sendiri. Pasti akrab dengan metode parafrase, kan? Plagiasi tentu berbeda dari parafrase. Tema yang disinggung boleh serupa tapi jika plagiasi menggunakan ide secara plek-plek tanpa edit, parafrase adalah hasil bacaan yang telah tercampur hasil pikiran kita sendiri. Belum lagi, parafrase menonjolkan gaya bahasa dan model tulisan orang yang punya ciri masing-masing.
Lagipula, kalau terus menggunakan alasan “namanya juga mahasiswa”, mau sampai kapan kebiasaan jiplak ini terus menjamur di dunia akademik? Biar jadi budaya? Lebih bermanfaat budayakan Tari Saman saja, deh. Sudah tradisi yang sekolah sih, jadi apa salahnya diteruskan lagi? Hmm, pantas saja kalau Indonesia dari hari ke hari mentok segini-gini saja kalau mahasiswanya juga masih berpikir begini. Kebiasaan yang dipupuk dari muda, biasanya bakal terbawa sampai dewasa. Apakah nanti saat kita ‘reshuffle’ dan giliran kita diganti, kamu puas dengan melihat generasi bangsa semakin ‘tumpul’ dan mengandalkan buku imporan?
Era digital jaman sekarang memungkinkan mahasiswa mengakses sumber informasi dengan mudah. Banyak blog, laman baca, bahkan situs-situs pendidikan dapat dicapai hanya lewat satu klik. Tinggal ketik kata kunci, dan Mbah Google akan beraksi! Buka tab, klik kiri, scroll sampai ujung, klik kanan/ctrl+v, jadi! Tahu? Wah, patut dicurigai nih.
Ya, selain memudahkan, dampak negatif dari makin gampangnya informasi didapat ialah kemungkinan plagiasi terjadi juga dapat meningkat. Terus, cara mencegahnya bagaimana?
Sederhana. Cukup percaya pada diri sendiri. Maksudnya? Biarpun godaan copy-paste memberi teror bagi mental para mahasiswa, mahasiswa dengan prinsip tidak akan ikut melakukannya. Lebih bangga dengan hasil tulisan sendiri daripada menyalin, berefek sangat besar dengan penurunan kemungkinan plagiasi.
Dapat dipahami bahwa manusia belajar dengan meniru; tapi bukan dengan begitu kita bisa bebas mengaku-aku hasil pikiran orang seenak udelmu! Pernahkah kamu sedikit merenung, apa saja yang dibutuhkan pengarang/penulis demi menelurkan satu karyanya. Boleh jadi mereka butuh berbulan bahkan bertahun-tahun. Belum lagi soal uang, keringat, bahkan mimpi yang diselipkan di dalam tiap kalimat di dalam karya bersangkutan. Sementara itu, ketika kita memasukkan isi buku mereka ke dalam buku kita, tak perlu lebih dari beberapa menit. Timpangnyaaaa…. Jika memang harus mengutip, pastikan untuk turut menulis kredit. Selain untuk penghargaan, itu membuktikan kesadaran kita tentang daya cipta suatu karya. Juga, untuk membuktikan eksistensi kita sebagai mahasiswa yang punya ‘rasa’.
Cubit diri sendiri, supaya tahu rasanya dicubit. Kalau tidak ingin dicubit, ya jangan cubit. Simpelnya: jangan plagiat kalau tidak mau diplagiasi. Punya tugas? Jangan lagi menyalin tanpa menaruh sumber. Malu doong, katanya sudah mahasiswa?
Terakhir tapi tidak sedikit, saya sepaham dengan kutipan yang dikirim ke situs baca dengan nama alias Holic — dia menyatakan jika setiap orang sama-sama diberi otak, tapi kenapa yang mendayagunakannya hanya segelintir; ini yang harus dipertanyakan. Bukan soal bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau. Tidak perlu kita memulai dari skala besar, yang kecil-kecil saja dulu. Katanya, kan, dikit-dikit lama-lama jadi bukit! Kali-kali saja, dimulai dari tugas, besoknya kita bisa punya buku untuk dijadikan bahan literasi. Who knows?
So, masih kokoh jiplak buat tugas sendiri, Mbak/Mas?
Oleh: Adinda Septiyarani (FIP)