Dari Abdullah, ia berkata: Nabi Muhammad saw. bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya. Maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggung jawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” HR. Bukhari no 4789.
Pemimpin erat kaitannya dengan tanggung jawab. Jika seseorang menjadi pemimpin tanpa disisipi rasa tanggung jawab dalam diri itu ibarat tubuh tak berkepala. Mengapa? Karena sejatinya seorang pemimpin adalah kepala dari setiap anggota. Kepala yang memiliki kewajiban merangkul dan mengayomi untuk mencapai visi. Absennya tanggung jawab dalam jiwa pemimpin akan membuat konsep dan tujuan yang sedang digenggamnya menjadi terbengkalai dan terpecah belah.
Namun melubernya kasus korupsi di Indonesia seakan menjadi hal yang lumrah. Bahkan mirisnya seolah menjadi kebiasaan buruk para petinggi negeri. Dengan piciknya mereka menggantungkan amanah tanggung jawab hanya demi tuan dunia yang biasa disebut rupiah. Nafsu-nafsu duniawi merajalela pada setiap diri pejabat bangsa. Hak-hak rakyat diuruknya rakus tak bersisa dengan berdalih untuk kesejahteraan bersama.
SADIS. Satu kata itu layak terlontar meski yang mereka mainkan bukanlah pertumpahan darah. Ketamakan yang dibungkus rasa pura-pura peduli, kemunafikan yang bertopeng empati, serta menelantarkan janji-janji manis di muka yang dibiarkan berserakan begitu saja tanpa bukti. Semua fakta tersebut membuat mereka layak disebut pembual dusta.
Jika menilik pemimpin era sekarang memanglah jauh berbeda dengan para pemimpin tempo dulu. Tepatnya pada zaman Sang Baginda. Di mana beliau rela hidup sangat sederhana demi umatnya merasakan kesejahteraan. Mengorbankan semua harta yang dimiliki demi kepentingan umat. Hal tersebut seolah mustahil kita temukan pada para pemimpin masa kini. Kedua hal yang saling bertolak belakang. Yang berhidupkan mewah dimanjakan harta. Seolah menunjukkan perbedaan kasta antara pejabat dengan rakyat. Padahal rumah, pakaian, dan makanan mereka diperoleh dari uang rakyat. Dari pajak-pajak yang dibebankan kepada rakyat. Lalu masih pantaskah tanggung jawab hilang dari diri mereka? Penulis yakin bahwa pembaca dapat menjawab sendiri dengan tepat. Bahwasannya jawaban tersebut adalah TIDAK.
Hal yang harus diperbaiki di sini adalah akhlak kepemimpinan dalam diri pemimpin tersebut. Sebagai seorang pemimpin memiliki rasa kepemimpinan adalah suatu kewajiban. Jika pemimpin tanpa kepemimpinan, maka bukan pemimpin namanya. Lalu bagaimana pandangan Islam tentang kepemimpinan?
Kepemimpinan adalah suatu unsur kemampuan yang dimiliki untuk mempengaruhi, mengajak, dan memimpin orang-orang untuk mencapai tujuan. Dalam perspektif Islam, pemimpin biasa disebut khalifah atau imam, yaitu wakil umat. Khalifah berkonsep dari Al-Qur’an dan hadits yang mencakup kehidupan manusia demi terlaksananya ajaran Islam untuk bekal kehidupan di dunia dan akhirat.
Hal ini membuat peran kepemimpinan atau imamah menjadi penting dalam Islam, khususnya untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia. Karena agama tidak akan berdiri tegak dan kokoh tanpa kepemimpinan. Alasan lain yang membuat kepemimpinan memiliki arti yang penting dalam perspektif Islam ialah karena kepemimpinan dapat menyelesaikan masalah, menangkal perpecahan, menghindari fitnah, serta mampu membawa para pengikut ke jalan yang telah Allah Swt ridhoi.
Seorang pemimpin atau khalifah sudah seharusnya memiliki akhlak kepemimpinan. Rasa itu sepatutnya tertanam dalam diri setiap khalifah. Siapa saja khalifah itu? Adalah manusia yang di dalamnya masih berdiam ruh. Artinya setiap raga yang hidup adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri. Karena orang lain tidak mungkin mewakili untuk memimpin dirinya. Dan bukankah Allah Swt telah berfirman dengan mengamanahi setiap manusia di muka bumi ini sebagai seorang khalifah?
Fakta tersebut tertera dalam Q.S. Al-Baqarah: 30, Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Namun sering kali muncul kendala dalam hal ini, terkhusus manajemen akhlaqul karimah yang masih terlihat langka dalam diri pemimpin masa kini. Sering kali khalifah zaman sekarang melalaikan tanggung jawabnya kepada umat, dan parahnya itu pun akan ia pertanggung jawabkan nanti di hadapan Allah Swt. Seperti yang telah dibahas di awal.
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena lumpuhnya action dari pemimpin itu sendiri. Maksudnya, kebanyakan pemimpin memang cerdas bahkan bisa dibilang jenius dalam ilmu. Namun ilmu tersebut hanya sekedar teori tanpa diiringi realisasi yang baik. Kurangnya ilmu yang dibarengi dengan iman membuat para khalifah era sekarang mengalami keboborokan moral. Baik moral yang sifatnya vertikal, maupun moral yang bersifat horizontal. Seperti yang dikatakan dalam kutipan berikut, “Ilmu tanpa iman akan buta, dan iman tanpa ilmu akan lumpuh.”
Maksudnya adalah seorang khalifah yang berilmu tetapi tidak melaksanakan tanggung jawabnya dengan iman, ia akan semena-mena. Pun begitu sebaliknya. Seorang khalifah yang beriman akan tetapi dia tidak berilmu, itu sama saja menghancurkan negerinya sendiri dengan kebodohan. Hal tersebut adalah hal yang konyol.
Lalu pertanyaannya, BAGAIMANA CARA KITA MENYIKAPINYA?
Langkah pertama adalah memanajemen akhlak Sang Khalifah. Kenapa harus pemimpin yang terlebih dahulu dibenahi akhlaknya? Karena pemimpin adalah faktor utamanya. Baik buruknya pemimpin akan berdampak pada negeri yang dipimpin. Pemimpin yang baik akan membawa negerinya menjadi baik pula. Sebab dari akhlak yang baik dapat dipetik hasil yang berkualitas. Takwanya seorang khalifah kepada Rabbnya juga akan memengaruhi kesuksesan yang mendominasi. Karena sejatinya khalifah yang baik adalah yang berkiblat dan berkaca pada cara kekhalifahan Sang Baginda.
Seperti yang telah kita ketahui, khalifah terbaik yang pernah ada di muka bumi ini adalah Nabi Muhammad SAW. Atas izin Allah Swt beliau telah mengubah Islam yang sebelumnya dicaci menjadi dipuji. Seorang khalifah dapat meneladani akhlak kepemimpinan Rasulullah dengan mencontoh cara beliau yang hanya dalam waktu kurang lebih 23 tahun, namun risalahnya telah menembus batas-batas akal manusia. Dan dalam waktu sesingkat itu, sejarah telah mengabadikan bahwa ajaran Islam yang beliau bawa telah meluas dari jazirah kecil tak bernama menjadi sepertiga dunia yang berjaya.
Adapun cara-caranya, yaitu:
Kekuatan spiritualitas
Sudah menjadi hal yang mutlak bahwa seorang pemimpin berkewajiban untuk bertakwa kepada Rabbnya. Bahkan itu menjadi kewajiban individual bagi setiap hamba, bukan hanya untuk para khalifah saja. Interaksi antara hamba dengan Sang Khalik harus terjalin dengan baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa relasi vertikal dan horizontal haruslah seimbang. “Hablumminallaah dan hablumminannas.”
Merangkul semua elemen kerja
Tugas seorang pemimpin memanglah tidak ringan dan sedikit. Tapi di situlah titik tantangan ditemukan. Seorang khalifah yang hebat ialah yang mampu menaklukkan tantangan dan menjinakkannya menjadi teman. Salah satu tugas pemimpin ialah adil atau tidak memihak. Merangkul semua elemen dan menempatkannya dengan proporsional. Di sini pemimpin wajib mengepalai setiap elemen kerjanya sembari mentransfer manfaat dan meninggalkan mudhorat guna mencapai tujuan dengan waktu yang tepat. Seorang khalifah sudah sepatutnya bermanjakan kesabaran dan keikhlasan demi terwujudnya keberhasilan dan kesuksesan. Sebab sudah jelas bahwasannya pemimpin bukanlah pemimpi. Keduanya hanya berbeda di huruf “N”. Maksudnya, yakni di niat. Seorang pemimpi cendrung mengutamakan visi dan misi individual saja, sedangkan pemimpin lebih mengutamakan visi dan misi kelompok. Karena sejatinya bagi seorang pemimpin yang utama itu bukan jabatan, melainkan tindakan.
Pembuktian atas setiap yang dijanjikan
Semua itu dapat dijalani oleh Sang Khalifah beriringan dengan keempat sifat mulia Sang Baginda, yakni shiddiq (benar), amanah (dapat dipercaya), fathonah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan). Karena dengan hanya keempat akhlak tersebut saja, Nabi Muhammad SAW telah sukses memimpin umatnya ke arah jalan Allah Swt yang lurus. Keempat kriteria tersebut sepatutnya merajai diri Sang Khalifah.
Agar apa yang diharapkan selama ini dalam segala teori dapat direalisasikan dengan baik oleh para khalifah muka bumi. Sementara esensi dari manajemen akhlak Sang Khalifah adalah terciptanya kedamaian dan kemakmuran negeri di bawah lindungan keberkahan Sang Illahi. Karena menjadikan bumi pertiwi sebagai negeri nirwana (baladi jannati) adalah tugas kita bersama.
Oleh : Nurkhalifah Tri Septiyani
Daftar Pustaka
www.kuliahnyata.blogspot.co.id
www.ceramahmotivasi.com/hadits/mutiara-hadits-setiap-kalian-adalah-pemimpin-2/