Indonesia sedang dihebohkan oleh potongan video yang menyebar dan viral di sosial media. Potongan video di aksi Kamisan tersebut berisi nyanyian ABRI yang dinyanyikan oleh Robertus Robet. Lirik yang kemudian dinyanyikan oleh Robertus Robet ialah lirik nyanyian ABRI pada masa ORBA yang dinyanyikan oleh mahasiswa pada saat itu. Saya memakai diksi potongan karena memang video yang viral ialah hanya sebatas potongan saja, bukan video full. Yang terjadi selanjutnya ialah Robertus Robet ditangkap oleh Polisi pada dini hari tanggal 7 Maret 2019.
Penangkapan tersebut menurut hemat saya ialah sebuah bentuk kemunduran demokrasi kita. Bagaimana mungkin seseorang bisa ditangkap hanya karena ia orasi. Padahal kita sudah melewati fase-fase sulit di Orde Baru. Peajaran pertama yang dapat kita ambil pada kasus ini ialah bahwa kita harus melihat sesuatu dengan komprehensif. Tidak melihat sesuatu yang hanya sebagian apalagi hanya sepotong-potong. Ini penting guna melihat sesuatu dengan objektif. Karena yang terjadi pada kasus ini ialah, banyak orang yang hanya melihat potongan video, bukan video full dari orasi Robertus Robet.
Potongan video yang tersebar hanya berisi nyanyian ABRI saja, tidak ada isi yang lainnya. Tentu kita tidak bisa menilai atau bahkan menghukum seseorang hanya karena potongan video saja. Ia harus melihat video fullnya. Maka ketika melihat video fullnya yang akan didapatkan ialah kritik terhadap pemerintah hari ini dengan polemik Dwi-Fungsi TNI.
Kedua, pelajaran yang juga dapat kita ambil dari kasus penangkapan Robertus Robet ialah bahwa ketika melihat sesuatu juga harus melihat konteksnya. Karena tak mungkin sesuatu lepas dari konteksnya, ia harus selalu dieratkan dengan konteksnya. Konteks orasi pada Aksi Kamisan pada saat itu ialah mengkritik pemerintah hari ini dengan polemik kembalinya Dwi-Fungsi TNI. Aksi kamisan pada hari itu mengkritik hal tersebut dan mengusung hastag #TolakDwiFungsiTNI. Konteksnya ialah kritik, bukan ajang penghinaan terhadap institusi tertentu. Robertus Robet pada konteks itu juga sedang menggunakan haknya untuk berpendapat di muka umum. Itu konteksnya, jangan menilai sesuatu tanpa melihat konteksnya.
Ketiga, pelajaran yang juga dapat kita ambil dari kasus ini ialah kasus ini menjadi pengingat bagi kita bahwa kebebasan berpendapat tidak dapat dipidanakan, bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mutlak yang dimiliki setiap warga negara. Kebebasan berpendapat tersebut tidak boleh dikekang oleh apapun. Bahkan negara harus melindungi kebebasan berpendapat.
Kasus penangkapan ini bukan akhir dari problem demokrasi yang ada di Indonesia. Agenda perjuangan #BebaskanRobet menjadi pengingat untuk kita bahwa Indonesia harus lebih baik lagi kedepan dan tidak anti terhadap kritik. Kedepannya, bisa jadi akan banyak kasus-kasus serupa seperti kasus ini. Maka, yang selanjutnya harus diperjuangkan ialah penghapusan Peraturan-peraturan yang dianggap dapat menjadi pengekang dari kebebasan berpendapat di Indonesia. Jangan sampai demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.
Panjang umur perjuangan!
Aulia Daie Nichen
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial
Comments