Suatu hari, dalam episode shalat kita, sang imam tengah mengumandangkan surat Al-Fatihah. Para jamaah begitu khusyu, meskipun udara panas dan masjid agaknya tak lagi mampu menanggung semua.
Tepat, ketika Al-Fatihah diselesaikan, dan para jamaah mengucap “Aamiin”, alangkah terkejutnya kami, dari kejauhan terdengar sorak sorai. Ada pertandingan bola.
Dalam episode shalat yang lain, bacaan imam dalam lagu rast, bayyati, nahawand… Mesti beradu dengan suara musik yang entah dari mana asalnya. Semoga bukan dari mahasiswa UNJ, yang begitu perkasa mengklaim bertuhan, mengklaim paling kiri, dan mengklaim paling saleh se jagad pergerakan ini.
Saya mengenal orang-orang yang mengatakan, bahwa Tuhan tak perlu diseru dengan speaker, karena Tuhan itu dekat, lebih dekat dari urat leher kita. Akan tetapi, sebagaimana kata Nabi Muhammad, “Mereka hanya belum mengerti…”
Para muadzin kita tidak sedang memanggil Allah. Mereka sedang memanggilmu. Mereka tidak sedang menyebut namamu, tetapi mereka-yang bahkan tidak mengenalmu-mengingatkanmu untuk shalat.
Allah tidak butuh dipanggil untuk mengerti kebutuhan dan keinginan kita. Tetapi, Allah mendengar apapun yang kita katakan.
Sebagaimana puisi, semasa kecil kita diajarkan berdiam diri: menundukkan kepala, dan mendengarkan sampai azan selesai. ketika tidak shalat adalah aib, dan azan adalah panggilan sayang yang paling dirindukan.
Beberapa di antara kita, teman, kini mengumpat-umpat seperti kaum Quraisy semasa belum islam, ketika azan dikumandangkan. Beberapa yang lain tanpa merasa malu dan berdosa berkata, “Titip saja”.
Yang paling membuat kita terpaksa mengelus dada, teman, adalah sorak-sorai, panggung musik, dan selebrasi ketika waktu shalat, atas nama kebebasan dan ekspresi, dan atas nama kebebasan berpendapat.
Mereka mengaku intelek hanya karena berstatus mahasiswa. Di fakultas saya, ada matakuliah wajib, Estetika. Ilmu-ilmu tentang keindahan. Bahwa, keindahan pasti berkaitan dengan moral.
Dan bahwa, seusai matakuliah itu, kami mempelajari, bahwa semakin indah, maka peradaban akan semakin bermoral dan semakin menghormati hak keberagamaan orang lain.
Termasuk, hak kawannya sesama mahasiswa untuk shalat tanpa gangguan, untuk shalat tanpa kebisingan.
Kita sering mengeluh tidak khusyuk. Masjid tercinta kita begitu panas, begitu sempit, begitu tidak aman, dan duajuta satu alasan lain yang membenarkan kita shalat tidak secara baik.
Teman, kenapa kau menambah alasan-alasan itu?
Belum cukupkah kebencian dan sinismu pada anak mushola, belum cukupkah penundaanmu pada shalat, dan belum cukupkah Allah masih memanggilmu dengan kasih sayang lima kali sehari, dan kenapa kita masih sengaja menantang-Nya, dengan bersorak-sorai, bermusik-musik, ketika waktu shalat tiba?
Teman, yang bicara padamu bukan anak eksak, atau bukan aktifis bem. Yang bicara padamu, adalah yang pernah tenggelam dalam kafe-kafe dan menghafal kunci-kunci alat musik yang asing. Bukan orang yang mengharamkan musik hanya karena nash dan ‘urf mengatakan begitu.
Yang bicara padamu, adalah orang yang tidak punya alasan mengacuhkan azan demi satu dua gol, atau satu-dua lagu tanggung yang begitu sumbang dan dipaksakan. Yang dulu juga berkata lantang pada anak mushola, hormati hak kami berkesenian!
Tetapi akhirnya dia sadar, bahwa kesenian tanpa moral, olahraga tanpa moral, adalah kebusukan nalar pikiran dibungkus kebebasan berekspresi.
Belum cukupkah kita menentang penggunaan jilbab ketika MPA, belum cukupkah kita memusuhi kakak mentor yang demikian ikhlas membimbing para mahasiswa generasi baru, dan kini membuat kebisingan ketika waktu shalat tiba?
Kami kangen dengan suasana desa, di pinggiran kota. Ketika kebebasan dan kedewasaan berarti saling menghormati. Ketika kesenian berarti tingginya moralitas. Ketika pesta-pesta berarti bertambahnya solidaritas. Ketika seusai pesta adalah gotong royong dan sedekah.
Temanku, maukah engkau berhenti ketika azan memanggilmu, dan shalat bersama-sama? Sebentar saja. Lima menit saja.
Barangkali sebagai mahasiswa di kampus kecil namun mengaku besar ini, kita masih bisa menemukan Tuhan, jika mau. Ketika azan mengetuk, diam dan jawablah. Ketika shalat dilaksanakan, bersegeralah dan hentikan segala kerja-segala usaha.
Sebentar saja, teman. Lima menit saja.
Oleh : Amar Ar-Risalah (Mahasiswa FBS UNJ 2011)