Pada awalnya saya tidak begitu berpikir menuliskan tulisan ini, dengan hanya mengamati kegiatan politik kampus yang saya lakukan tanpa ikut masuk dalam kegiatan tersebut. Tetapi pada saat hari Rabu sore tanggal 17 mei 2017 bertempat di plaza/tugu UNJ, terdapat konsolidasi besar disana yang membuat saya tergugah dalam membuat tulisan ini. Pada sore hari itu banyak civitas akademika dari seluruh fakultas, tidak hanya dari mahasiswa, tetapi juga dari dosen dan karyawan juga ikut dalam konsolidasi tersebut. Semuanya memiliki satu visi yang sama, yaitu membahas isu dan kedzaliman yang dilakukan oleh segelintir pemimpin kampus perjuangan ini.

Awal dari timbulnya pembahasan isu ini yaitu karena berbagai kedzaliman yang dirasakan sejauh ini. Dimulai dengan dikurungnya ruang menyampaikan pendapat yang ada di kampus seperti kejadian penghentian mobil sound saat agitasi massa aksi 2 Mei, hingga pelaporan ke kepolisian dosen sosiologi, yaitu pak ubedillah yang menulis tentang “wajah kampus mulai bopeng?” Yang didalam tulisannya mengkritik demokrasi dan hal yang terjadi di kampus. Pada sore itu aliansi yang terdiri dari mahasiswa,dosen dan karyawan yang menamakan diri FMI UNJ (Forum Militan dan Independen UNJ), membahas segala isu yang ada di kampus ini.

Kembali mengingat kebelakang saat tahun 2015, kedzaliman yang dilakukan segelintir orang di rektorat sudah dimulai. Pada saat itu ketua BEM UNJ 2015, Ronny Setiawan, di-DO oleh pihak rektorat karena terlalu viral dalam mengkritik pihak rektorat. Kabar tersebut pun viral bahkan se nasional, walaupun akhirnya DO tersebut akhirnya dicabut oleh pihak rektorat karena desakan mahasiswa.

Maju lagi pada tahun 2016, pada saat bulan Mei terjadi aksi yang besar yang dilakukan di dalam kampus UNJ sendiri, dengan tuntutan mengenai biaya UKT dan Uang pangkal untuk ujian mandiri. Aksi yang dilakukan di depan kantor rektorat hingga pintu kantor rektorat tersebut rusak akhirnya dimenangkan oleh para mahasiswa, yang imbasnya bahwa akhirnya ditiadakan uang pangkal untuk yang masuk UNJ melalui tes PENMABA. Ternyata kedzaliman tersebut tidak berhenti sampai disana, bisa dikatakan bahwa saat ini UKT yang ada di UNJ masih tinggi dan tidak diimbangi dengan fasilitas sarana prasarana yang mendukung. Ada mahasiswa yang harus cuti karena tidak bisa membayar UKT, bahkan harus keluar karena tidak sanggup menahan beban UKT tersebut.

Kedzaliman mengenai UKT selalu menghampiri setiap semesternya oleh mahasiswa. Seperti dirasa bahwa pendidikan ini dikomersialisasikan oleh pihak atas tersebut. Bahkan juga terdapat mahasiswa baru yang tidak bisa masuk ke UNJ karena UKT yang katanya dalam seleksi siukat tersebut sesuai kemampuan orang tua. Tetapi pada sistem tersebut banyak sekali yang tidak sama dengan kemampuan orang tua tersebut dalam membiayai anaknya kuliah. Bayangkan juga apabila sudah bayar kuliah jutaan tetapi tidak dibarengi dengan fasilitas sapras yang baik, bahkan sering terdapat pungli/uang lain dalam membeli seperti buku/seragam. Hampir disetiap fakultas memiliki keluhan mengenai fasilitas, tidak ada yang luput dari itu.

Yang terbaru adalah terungkapnya melalu data BPK RI, bahwa dari laporan keuangan dengan yang berdasarkan di lapangan berbeda. Hingga segeranya di bangun hotel yang berada sekitaran kampus, dan perubahan status UNJ menjadi PTN-BH atau perguruan tinggi negeri berbadan hukum, atau bisa dijelaskan bahwa yang mengambil keputusan tertinggi ada di tangan rektor. Dengan masih kurangnya transparansi yang ada di UNJ dimulai uang UKT alurnya kemana, sistem penentuan UKT bagaimana, hingga penggunaan dan proyek besar pembangunan UNJ untuk apa, masih minim informasi.

Selain itu kasus baru lainnya adalah pemfitnahan terhadap mahasiswa FIO yang saat melakukan agitasi massa pada aksi 2 Mei kemarin, dia diancam akan dikeluarkan dari kampus dengan alasan yang tidak jelas syar’inya. Pada saat penghalangan mobil sound memang sudah melanggar peraturan pasal 28 dalam kebebasan berpendapat di muka umum. Walaupun mereka berdalih dengan alasan mengganggu perkuliahan. Tetapi apakah acara-acara TV atau event yang diadakan oleh pihak luar kampus yang berlangsung di kampus tidak dihentikan karena mengganggu perkuliahan?, belum lagi dengan pemanfaatan gedung-gedung Kampus yang bahkan dipakai untuk acara resepsi pernikahan/acara lainnya yang bersifat privat untuk kelompok tertentu.

Hingga dilaporkannya Pak Ubedilah, dosen yang mengkritik atas wajah kampus saat ini ke pihak berwajib atas dalih pencemaran nama baik. Tapi apakah mengeluarkan pendapat dilarang? Padahal sudah sangat jelas dalam pasal 28 UUD 1945. Selain itu juga ketidakadilannya dalam kesejahteraan karyawan seperti cleaning service, yang mereka rela kerja pagi ke sore tetapi hanya mendapat gaji yang minim, bahkan janji kenaikan gaji hanya surat resmi semata tanpa fakta.

Sungguh sangat memprihatinkan kondisi kampus perjuangan ini, dikala banyak kedzaliman yang berada di kampus yang sekarang berusia 53 tahun. Apakah kita hanya akan diam dan tetap menikmati sistem dzalim ini? Apakah kita sudah terlalu nyaman dengan sistem dzalim ini sehingga kita tidak peduli dengan semua ini, janganlah hanya mengeluh, karena mengeluh tanpa berusaha merubah sistem seperti hanya bermulut besar atau hanya omongan belaka. Karena perubahan tidak akan terjadi jika hanya dari tempat tidur saja, tanpa tindakan berarti atau hanya mengucap hate speech mengenai kampus.

Oleh karena itu, jika memang kita adalah orang-orang yang mencari haq atau kebenaran, jika tidak mau berada dalam sistem yang dzalim, yang tidak mau penerus kita merasakan hal yang sama, maka jika pemimpin suatu kaum banyak melakukan kedzaliman, hanya satu kata yang diucap yaitu LAWAN. Tinggal kita memilih apakah tetap menjadi penonton dan menikmati sistem yang dzalim hingga ke adik tingkat kita, atau kita yang mencari perubahan dan mengharapkan kebenaran muncul dan mengharumkan nama baik kampus perjuangan kembali.

HIDUP MAHASISWA!!!
HIDUP RAKYAT UNJ!!!

Oleh: Fahrul A. (Mahasiswa UNJ)

Categorized in: