Golongan putih atau yang biasa disingkat Golput ialah sikap politik yang tidak memilih salah satu partai-pun dalam Pemilihan Umum. Golput sendiri dewasa ini selalu diidentikan dengan pengertian negatif seperti pandangan Asma Nadia dalam artikelnya yang terbit di salah satu media online pada medio 2014. Beliau memplesetkan Golput menjadi 2 nama, Golmal yang berarti Golongan Malas dan Golau yang berarti Golongan Galau.
Menurutnya, Golput hadir dikarenakan sikap apatis dari masing-masing individu menghadapi hajatan pesta demokrasi. Ke”anti”an pada politik menjadi alasan lainnya lahir sikap golput menurutnya.
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan Golput dewasa ini , mari kita melihat Golput dalam perspektif sejarah.
Golongan Putih muncul pada tahun 1971 pada Pemilihan Legislatif (Pileg) ke-dua Republik Indonesia. Gerakan ini lahir sebagai gerakan moral melawan dominasi partai Golongan Karya (Golkar) yang dikomandoi sang ahli intelejen Ali Moertopo. Dari penamaan sendiri, Golput ialah plesetan dari Golkar dimana istilah putih disini berasal dari teknis gerakan ini yaitu pencoblosan bagian putih pada kertas suara. Pencoblosan ini dilakukan dengan tujuan untuk menyebabkan surat suara tidak menajadi sah.
Gerakan ini dikomandoi tiga nama aktivis beken lintas latar belakang, Adnan Buyung Nasution, Arief Budiman (Soe Hok Djin), dan Asmara Nababan. Sedangkan untuk pencetus nama Golput sendiri berasal dari Imam Waluyo.
Gerakan tersebut tercetus saat itu karena para mahasiswa berpendapat bahwa dengan atau tidaknya Pemilu, kalangan ABRI (TNI) akan tetap berkuasa dibawah sosok besar Soeharto. Dalam pelaksanaannya sendiri, pada Pemilu ini terjadi peleburan besar-besaran partai-partai penanding Golkar dengan alasan “penyederhanaan pengawasan pada partai politik”. Sehingga saat itu jumlah partai yang berlaga hanya terbatas berjumlah 3 partai (PPP, Golkar, dan PDIP). Sehingga dalam pernyataannya dalam harian Kompas terbitan 28 Maret 2004, Arif Rahman menuturkan
“Apa gunanya pemilu kalau orang tak bebas berserikat dan berpolitik? Partai yang bisa dipilih hanyalah partai yang “disediakan” pemerintah.”
Dan hal tersebut diperparah dengan kondisi Golkar yang merupakan partai pemerintah. Dimana dalam pengoprasiannya, keuangan partai ini disokong langsung oleh pemerintah. Bahkan yang lebih parah lagi adalah keanggotaan partai yang diisi oleh para Pegawai Negeri Sipil (beserta keluarganya). Jika PNS menolak masuk Golkar, maka kemungkinan besar akan segera dirumahkan dengan alasan “tidak loyal”. Dengan melakukan Golput, maka sorang warga negara akan terhindar dari ancaman tersebut karena mereka akan tetap terhitung datang ke TPS dan surat suara yang mereka coblos di bagian putih kelak akan tercampur dengan ratusan/ribuan kertas suara dalam satu kotak suara. Sehingga keamanan mereka pemboikot pemilu yang kala itu pemilu hanya menjadi formalitas dan legalitas atas nama rakyat agar kekuasaan Soeharto langgeng di bumi Nusantara.
Sekian pembahasan sejarah dari Golput, mari kembali kita menuju kembali menuju milenial 2000.
Dalam tulisannya dalam harian Kompas terbitan 28 Maret 2004. Arif Budiman berpendapat bahwa Golput pada pemilu 2004 terjadi karena kegagalan partai politik menberikan alternatif pemimpin yang berbobot.
“Pada 2004, Golput adalah protes kita terhadap calon-calon yang ditawarkan, kebanyakan tidak bermutu Pada 1970 Golput lahir karena kegagalan pemerintah untuk memberikan demokrasi. Pada 2004, Golput tumbuh karena kegagalan masyarakat politik (baca: partai) untuk memberikan alternatif pemimpin yang berbobot.”
Hal tersebut pun secara tidak langsung diiyakan oleh Asvi Warman Adam, pria yang kini aktif sebagai peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam bukunya “Menguak Misteri Sejarah” ia berpendapat bahwa kultur masyarakat Indonesia dalam pemilu adalah memilih sosok dari calon pemimpin. Bukan dari ideologi yang ia bawa atau bahkan partai yang mendukungnya.
Kemudian kita coba mengingat kembali bagaimana Pilkada DKI Jakarta di tahun awal tahun 2017 lalu. Hegemoni hajatan pemilihan kepala daerah begitu terasa bahkan hingga pasca terpilihnya Anies sebagai Gubernur Jakarta periode 5 tahun mendatang. Dalam Pilkada tersebut, kekuatan kharisma dari ketiga (kemudian manjadi hanya 2) calon terbilang sangat berpengaruh. Satu petahana yang popoler (dalam arti positif dan juga negatif) dikalangan warga Jakarta hingga Indonesia, satu lagi anak mantan presiden, dan yang terakhir mantan Mentri. Angka Golput berada pada besaran 22,9, atau turun sekitar 10 persen dibanding Pilkada DKI 2012, di mana angka golput mencapai 32 persen (Liputan 6). Hal tersebut secara tidak langsung menjadi pembenaran dari kedua pernyataan dari Arif dan Asvi.
Tentu kita kembali harus memandang Golput dalam perspektif lain, seperti kata Arif. Golput hadir karena gagalnya partai politik dalam menunjukan kebolehan-kebolehan kader-kadernya dalam kancah perpolitikan baik daerah maupun nasional. Akibat gagalnya partai membina kader, jalan pintas sering diambil partai dengan mengusung public figur diluar partai yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi. Seperti dalam Pilkada Jakarta yang sebelumnya penulis sebutkan dimana kedua calon gubernur bukan lah kader partai pengusung.
Dengan demikian, ada bijaksananya kita melihat problematika Golput dengan tidak hanya menyalahkan si pemilik suara saja dengan menlabelkan pada mereka sebagai golongan malas nan galau seperti yang disebutkan Asma Nadia sebelumnya. Mari kita juga melihat dengan pandagan lain bahwa partai politik juga gagal dalam mengkader tokoh-tokohnya. Karena hak untuk memilih/tidak memilih dijamin oleh UU No 39/1999 tentang HAM Pasal 43. Lalu juga UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik yaitu di Pasal 25 dan dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu disebutkan di Pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Dimana dalam redaksi kata yang dipergunakan adalah HAK, bukan KEWAJIBAN. Yang berarti dapat dilakukan dan tidak dilakukan, kembali lagi dengan pribadi masing-masing pemilik suara.